TEORI BELAJAR KOGNITIVISME DAN DESAIN INSTRUKSIONAL

 

A.    Latar Belakang Masalah

Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa mempelajari sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Lingkungan yang dipelajari oleh siswa berupa keadaan alam, benda-benda atau hal-hal yang dijadikan bahan belajar. Tindakan belajar dari suatu hal tersebut nampak sebagai perilaku belajar yang nampak dari luar. Pengertian dari belajar sangat beragam, banyak dari para ahli yang mengartikan secara berbeda-beda definisi dari belajar. Sebagaimana kita ketahui bahwa belajar merupakan hal yang penting dalam bidang pendidikan. Tentu saja dalam proses belajar terdapat teori yang memunculkan adanya belajar (Orbyt, 2012).

Proses pembelajaran adalah merupakan suatu sistem. Oleh sebab itu, untuk mencapai standar proses pendidikan, sebaiknya dimulai dengan menganalisis komponen guru, salah satunya dengan peningkatan profesional guru serta mengoptimalkan peran guru dalam proses pembelajaran. Pembelajaran bukan hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi suatu proses mengubah perilaku siswa sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka diadakan pengembangan di bidang pendidikan. Kurikulum terus berubah karena potensi siswa, kondisi pendidikan, persaingan global, persaingan pada kemampuan SDM dan persaingan terjadi pada lembaga pendidikan. Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman. Perubahan yang dimaksud harus relatif permanen dan tetap ada untuk waktu yang cukup lama. Oleh karena itu sangat dibutuhkan teori-teori belajar. Dengan bermunculnya teori-teori yang baru akan menyempurnakan teori-teori yang sebelumnya. Berbagai teori belajar dapat dikaji dan diambil manfaat dengan adanya teori tersebut. tentunya setiap teori belajar memiliki keistimewaan tersendiri. Bahkan, tak jarang dalam setiap teori belajar juga terdapat kritikan-kritikan untuk penyempurnaan teori tersebut. Teori adalah sekumpulan dalil yang berkaitan secara sistematis yang menetapkan kaitan sebab akibat diantara variable yang saling bergantung. Salah satu teori yang akan dikaji adalah teori kognitivisme. Teori ini biasa disebut teori pemprosesan informasi, teori ini adalah salah satu teori perkembangan teori pendidikan modern.

 

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang sudah penulis uraikan tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1.      Apakah pengertian dari teori belajar kognitivisme?

2.      Siapa saja yang menjadi tokoh dalam teori belajar kognitivisme?

3.      Bagaimana implikasi teori belajar kognitivisme?

 

C.    Batasan Masalah

Dalam hal ini penulis membatasi masalah pada kajian teori belajar kognitivisme dan desain instruksional serta tokoh-tokoh yang terkait dalam perkembangan teorinya.

 

D.    Tujuan Penulisan

1.      Memahami pengertian dari teori belajar kognitivisme

2.      Memahami tokoh-tokoh dalam teori belajar kognitivisme

3.      Memahami implikasi teori belajar kognitivisme.


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian dari Teori Belajar Kognitivisme

Pada kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Teori pembelajaran, fokus diarahkan kepada bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi proses belajar.

Pada teori belajar abad ke-20, dibagi menjadi dua macam, yaitu teori belajar perilaku (behavioristik) dan teori belajar Gestalt-field. Teori belajar perilaku (behavioristik), berlandaskan kepada stimulus-respons sedangkan teori belajar Gestalt-field, berlandaskan pada segi kognitif. Dalam hal ini yang akan dibahas adalah mengenai teori belajar kognitivisme. Tidak seperti halnya belajar menurut perspektif behaviorisme dimana perilaku manusia tunduk pada peneguhan dan hukuman. Pandangan behaviorisme yang mengatakan bahwa seorang siswa dari segala umur akan giat belajar, kalau diberikan suatu hadiah (rangsangan/stimulus), yang berwujud materi kepadanya atau diterapkan suatu hukuman, harus dikatakan mempunyai pandangan yang terlalu simplistis. Memang, harapan akan mendapat hadiah dapat mendorong siswa untuk belajar tetapi belum tentu siswa itu akan bermotivasi tepat dalam belajar, yaitu belajar demi perkembangan dirinya sendiri, bahkan ada kemungkinan siswa itu akan mengurangi usaha belajarnya, kalau hadiah yang berwujud materi itu sudah tidak berarti lagi baginya. Demikian pula, siswa yang telah beberapa kali kena hukuman karena kurang rajin, belum tentu akan meningkatkan usahanya, bahkan dapat terjadi yang sebaliknya. Siswa itu mungkin belajar sesuatu yang tidak diharapkan, yaitu membenci guru dan sekaligus materi pelajaran. Oleh sebab itu menggunakan hadiah yang berwujud materi dan memberikan hukuman secara tepat, menuntut pertimbangan tentang efek yang positif dan negatif. Perspektif kognitif menguraikan pandangan kognitivisme yang menonjolkan peranan dari keyakinan, tujuan, penafsiran, harapan, minat, kemampuan dan lain sebagainya. Pandangan ini menggarisbawahi apa yang berlangsung dalam diri subyek yang berhadapan dengan berbagai kejadian dan pengalaman. Orang tidak bereaksi terhadap rangsangan secara otomatis seolah-olah mereka sebuah mesin, tetapi bereaksi atas interpretasi mereka terhadap rangsangan itu. Di dalam interpretasi itu terkandung unsur kognitif seperti penafsiran, keyakinan, penentuan tujuan, perkiraan tentang kemungkinan mencapai sukses, serta penilaian tentang kemampuan sendiri untuk mengejar suatu sasaran. Misalnya seorang mahasiswa yang sedang berkonsentrasi penuh pada suatu proyek studi tidak harus segera mencari makanan sebegitu mulai merasa lapar tetapi dapat menunda saat makan sampai proyek itu selesai. Misalnya lagi, seorang siswa SMA tidak harus memulai membaca suatu buku setelah diberi tugas oleh guru, tetapi dia dapat mempelajarinya atas inisiatif sendiri, karena beranggapan bahwa mata pelajaran tertentu patut diperdalam dan dia mampu untuk itu. Oleh sebab itu pada dasarnya isi interpretasi yang diberikan terhadap rangsangan dari luar atau dari dalam itulah yang mengandung daya motivasional. Sesuai dengan pandangan kognitivisme, orang terutama dilihat sebagai sumber motivasinya sendiri berdasarkan kegiatan mental dalam alam pikirannya, sehingga tergerak untuk memulai aktivitas tertentu, bertahan dalam aktivitas itu dan mengarahkannya untuk mencapai suatu tujuan. Ternyata hal itu ditemui tiap individu justru merencanakan respons perilakunya, menggunakan berbagai cara yang bisa membantu dia mengingat serta mengelola pengetahuan secara unik dan lebih berarti. Teori belajar yang berasal dari aliran psikologi kognitif ini menelaah bagaimana orang berpikir, mempelajari konsep dan menyelesaikan masalah. Hal yang menjadi pembahasan sehubungan dengan teori belajar ini adalah tentang jenis pengetahuan dan memori.

Kerangka kerja atau dasar pemikiran dari teori pendidikan kognitivisme adalah dasarnya rasional. Pengetahuan seseorang diperoleh berdasarkan pemikiran. Inilah yang disebut dengan filosofi Rasionalism. Menurut aliran ini, kita belajar disebabkan oleh kemampuan kita dalam menafsirkan peristiwa/kejadian yang terjadi di dalam lingkungan. Teori kognitivisme berusaha menjelaskan dalam belajar bagaimana orang-orang berfikir. Aliran ini menjelaskan bagaimana belajar terjadi dan menjelaskan secara alami kegiatan mental internal dalam diri kita. Oleh karena itu, dalam aliran kognitivisme lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Karena menurut teori ini bahwa belajar melibatkan proses berfikir kompleks. Teori belajar pemrosesan informasi mendeskripsikan tindakan belajar merupakan proses internal yang mencakup beberapa tahapan. Sembilan tahapan dalam peristiwa pembelajaran sebagai cara-cara eksternal yang berpotensi mendukung proses-proses internal dalam kegiatan belajar sebagai berikut:

1.      Menarik perhatian

2.      Memberitahukan tujuan pembelajaran kepada siswa

3.      Merangsang ingatan pada pra syarat belajar

4.      Menyajikan bahan perangsang

5.      Memberikan bimbingan belajar

6.      Mendorong untuk kerja

7.      Memberikan balikan informatif

8.      Menilai unjuk kerja

9.      Meningkatkan retensi dan ahli belajar.

 

B.     Tokoh-Tokoh Aliran Kognitivisme

1.      Jean Piaget

Menurut Jean Piaget proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahap yakni asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi (penyambungan). Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke dalam struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif kedalam situasi yang baru. Equilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dengan akomodasi. Suatu contoh, seorang siswa yang sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dibenak siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru) disebut proses asimilasi, jika siswa diberi sebuah soal perkalian, maka situasi ini disebut akomodasi, ini berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut terjadi dalam situasi yang baru dan spesifik. Agar siswa tersebut dapat berkembang dan menambah ilmunya, harus tetap menjaga stabilitas mental dalam dirinya diperlukan proses penyeimbangan, proses inilah yang disebut equilibrasi. Proses penyeimbangan antara “dunia luar” dengan “dunia dalam” tanpa proses ini perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tidak teratur (Dis Organizet).

Terkait dengan penelitiannya, Jean Piaget pernah mengatakan bahwa sejak usia balita seseorang telah memiliki kemampuan tertentu untuk menghadapi objek-objek yang ada disekitarnya. Kemampuan ini memang sangat sederhana, yakni dalam bentuk kemampuan sensor motorik, namun dengan kemampuan inilah balita tadi akan mengeksplorasi lingkungannya dan menjadikannya dasar bagi pengetahuan tentang dunia yang akan dia peroleh kemudian serta akan berubah menjadi kemampuan-kemampuan yang lebih maju dan rumit. Kemampuan-kemampuan ini disebut Piaget sebagai skema. Terkait dengan penjelasan ini Piaget menjelaskan dengan contoh berikut. Tentu seorang anak tahu bagaimana cara memegang mainannya dan membawa mainannya itu kemulutnya. Dia dengan mudah dapat membawakan skema ini. Kemudian, ketika bertemu dengan benda lain katakanlah jam tangan ayahnya yang mahal. Dia dengan mudah dapat menerapkan skema “ambil dan bawa ke mulut” terhadap benda lain tersebut. Inilah yang disebut oleh Piaget asimilasi, yakni pengasimilasian objek baru kepada skema lama. Ketika anak tadi bertemu lagi dengan benda lain, misalnya sebuah bola dia tetap akan menerapkan skema “ambil dan bawa ke mulut”. Tentu skema ini tidak akan berlangsung dengan baik karena bendanya sudah jauh berbeda. Oleh karena itu, skema pun harus menyesuaikan dengan objek yang baru. Dalam contoh ini mungkin meniup atau mendorong adalah skema yang lebih cocok untuk objek yang baru. Inilah yang disebut akomodasi, yakni pengakomodasian skema lama terhadap objek baru. Asimilasi adalah dua bentuk adaptasi, istilah Piaget yang barangkali mirip dengan apa yang disebut dengan pembelajaran. Akan tetapi, Piaget mengartikan asimilasi dan adaptasi lebih luas dibandingkan pembelajaran. Dia melihatnya sebagai sebuah sebuah proses benar-benar bersifat biologis. Setiap makhluk hidup mesti beradaptasi, termasuk yang tidak memiliki sistem saraf. Cara kerja asimilasi dan akomodasi sama seperti gerak bolak-balik pendulum dalam memperluas pemahaman dan kemampuan kita mengolah dunia sekitar. Keduanya bertugas menyeimbangkan struktur pikiran dengan lingkungan, menciptakan porsi yang sama antara keduanya. Kalau keseimbangan ini terjadi, Anda mengetahui bahwa Anda sampai pada taraf gambaran dunia yang baik. Tahap ini disebut Piaget sebagai ekuilibrium.

Dalam penelitiannya terhadap anak-anak, Piaget mencatat adanya periode dimana asimilasi lebih dominan periode dimana akomodasi lebih dominan dan periode dimana keduanya mengalami keseimbangan. Periode-periode ini relatif sama dengan dalam diri setiap anak yang ia selidiki. Barulah ia kemudian memperoleh ide tentang tahap-tahap perkembangan kognitif yang diakui dunia sebagai sumbangan terbesar Piaget dalam bidang psikologi (Sukardo dan Komarudin, 2009: 50-53). Dua orang yang mempunyai jumlah informasi yang sama di otaknya mungkin mempunyai kemampuan equilibrasi yang baik yang berbeda. Seseorang dengan kemampuan equilibrasi dan baik akan mampu menata informasi dalam urutan yang baik, jernih, dan logis. Sedangkan rekannya yang tidak memiliki kemampuan equilibrasi sebaik itu cenderung menyimpan semua informasi yang ada secara kurang teratur, karena itu orang ini cendrung mempunyai alur berfikir ruwet, tidak logis, dan berbelit-belit. Menurut Piaget proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dialami siswa. Dalam hal ini Piaget membagi empat tahap yaitu tahap sensoris motor ketika anak berumur 1,5–2 tahun, tahap pra operasional 2/3–7/8 tahun, tahap operasi konkrit 7/8–12/14 tahun dan tahap operasi formal 14 tahun ke atas. Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensoris motor tentu lain yang dialami seorang anak yang sudah tahap kedua, begitu juga pada tahap-tahap berikutnya. Oleh karena itu semakin tinggi tingkat kognitif semakin teratur cara berpikirnya, maka guru seyogyanya memahami tahap-tahap perkembangan anak didiknya serta memberikan materi pelajaran dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut. Guru yang mengajar tetapi tidak menghiraukan tahapan-tahapan perkembangan anak didiknya ini akan cenderung menyulitkan para siswa.

2.      Jerome Bruner

Bruner mengusulkan teorinya disebut Free Discovery Learning. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi, dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya. Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum, untuk memahami konsep “kejujuran” misalnya siswa tidak pertama-tama menghafal definisi kata itu, tetapi mempelajari contoh-contoh konkrit tentang kejujuran, dan dari contoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata kejujuran. Lawan pendekatan ini disebut “belajar ekspositori” (belajar dengan cara menjelaskan), dalam hal ini, siswa di sodori sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan informasi ini melalui contoh-contoh konkrit. Dalam contoh-contoh di atas maka siswa pertama-tama diberi definisi tentang kejujuran dan dari definisi itulah siswa diminta untuk mencari contoh-contoh konkrit yang dapat mengambarkan makna kata tersebut, proses belajar ini berjalan secara deduktif. Seperti halnya John Dewey, Bruner menggambarkan orang yang berpengetahuan itu sebagai seseorang yang terampil dalam memecahkan masalah. Artinya, orang yang berpengetahuan itu mampu berinteraksi dengan lingkungan dalam menguji hipotesis dan menarik generalisasi. Oleh karena itu, tujuan pendidikan seharusnya mengembangkan intelek. Adapun kurikulum semestinya mendidik pengembangan dan penyelidikan (inquiry) dan penemuan (discovery).

Menurut Bruner, derajat perkembangan kognitif itu ada 3 (tiga) tahap. Tahap pertama, enaktif merupakan representasi pengetahuan dalam melakukan tindakan. Contohnya, seorang anak yang mengatur keseimbangan di palang timbangan dengan jalan menyesuaikan kedudukan badannya, meskipun anak itu mungkin tidak dapat menjelaskan prosedurnya. Tahap kedua, ikonik yakni perangkuman bayangan secara visual. Anak pada tahap ini dapat mewujudkan palang keseimbangan dalam gambar atau diagram. Tahap ketiga dan yang paling maju adalah representasi simbolik. Pada bagian ini digunakan kata-kata dan lambang-lambang lain untuk melukiskan pengalaman. Pembelajar pada tahap ini dapat menerangkan bekerjanya dengan neraca, menggunakan konsep tentang titik tumpu, panjangnya palang lengan, dan pemberat yang harus diseimbangkan. Oleh karena itu, mata ajaran harus dinyatakan menurut cara bagaimana anak melihat dunianya enaktif, ikonik, atau simbolik. Demikianlah kurikulum itu dirancang sehingga penguasaan keterampilan menuju ke penguasaan keterampilan-keterampilan yang lebih kuat lagi. Implikasi Teori Bruner dalam proses pembelajaran, contohnya: menghadapkan anak pada suatu situasi yang membingungkan atau suatu masalah; anak akan berusaha membandingkan realita di luar dirinya dengan model mental yang telah dimilikinya; dan dengan pengalamannya anak akan mencoba menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali struktur-struktur idenya dalam rangka untuk mencapai keseimbangan di dadalam benaknya.

3.      Ausubel

Menurut Ausubel siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “pengatur kemajuan belajar” (Advance Organizeis), didefenisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa, pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. Ausubel percaya bahwa “advance Organizers” dapat memberikan tiga macam manfaat yaitu, dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa, dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari olah siswa “saat itu” dengan apa yang “akan” dipelajari siswa sedemikian rupa, sehingga mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah. Untuk itu pengetahuan guru terhadap isi pelajaran harus sangat baik, hanya dengan demikian sorang guru akan mampu menemukan informasi, yang menurut Ausubel sangat abstrak, umum dan inklusif yang mewadahi apa yang akan diajarkan itu. Selain itu logika berpikir guru juga dituntut sebaik mungkin, tenpat memiliki logika berfikir yang baik, maka guru akan kesulitan memilah-milah materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat, serta mengurutkan materi demi materi itu kedalam struktur urutan logis serta mudah dipahami.

 

C.    Implikasi Teori Belajar Kognitif Dalam Pembelajaran

Pendidik harus memahami bahwa peserta didik bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra-sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda konkrit, keaktifan peserta didik sangat dipentingkan, pendidik menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks, pendidik menciptakan pembelajaran yang bermakna, dan memperhatikan perbedaan individual peserta didik untuk mencapai keberhasilan peserta didik. Piaget menjabarkan implikasi teori kognitif pada pendidikan, yaitu:

1.      Memusatkan perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya.

2.      Mengutamakan peran peserta didik dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar.

3.      Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh peserta didik tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan berbeda. Oleh karena itu pendidik harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu-individu ke dalam kelompok-kelompok kecil peserta didik dari aktivitas dalam bentuk klasik.

4.      Mengutamakan peran peserta didik untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan-gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Meskipun penalaran tidak dapat diajarkan, perkembangannya dapat disimulasi.

Di bawah ini akan dijelaskan mengenai prinsip dasar dan prinsip instruksional teori belajar kognitif, yaitu:

a.       Prinsip-prinsip dasar teori belajar kognitif

1)      Belajar merupakan peristiwa mental yang berhubungan dengan berpikir, perhatian, persepsi, pemecahan masalah, dan kesadaran

2)      Sehubungan dengan pembelajaran, teori belajar perilaku dan kognitif pada akhirnya sepakat bahwa pendidik harus memperhatikan perilaku peserta didik yang tampak, seperti solusi tugas rumah, hasil tes, disamping itu juga harus memperhatikan faktor manusia dan lingkungan psikologisnya.

3)      Anggota kognitif percaya bahwa kemampuan berpikir setiap orang tidak sama dan tidak tetap dari waktu ke waktu.

b.      Prinsip-Prinsip Instruksional

Meningkatkan kualitas instruksional dengan menggunakan teknologi instruksional tidaklah sederhana, tetapi tidak terlalu kompleks untuk dipelajari pengajar atau pengelola program pendidikan, manakala cukup keinginan untuk meningkatkan keprofesionalannya. Teknologi pembelajaran berkembang secara konsisten melalui serangkaian teori dan praktek. Konsistensi terjadi karena teori memberikan pengarahan bagi praktek, sebaliknya praktek dapat mendahului analisis teoritik. Teknologi instruksional dibangun atas dasar prinsip-prinsip yang ditarik dari teori psikologi terutama teori belajar dan hasil-hasil penelitian dalam kegiatan instruksional. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan instruksional menurut Filbeck dapat dikelompokkan menjadi enam macam, yaitu:

1)      Prinsip pertama

Respons-respons baru (new responses) diulang sebagai akibat dari respons tersebut. Bila respons itu berakibat menyenangkan, peserta didik cenderung untuk mengulang respons tersebut karena ingin memelihara akibat yang menyenangkan. Bila akibat respons itu kurang menyenangkan, peserta didik cenderung mencari jalan yang dapat mengurangi rasa tidak menyenangkan, peserta didik cenderung mencari jalan yang dapat mengurangi rasa tidak menyenangkan tersebut dengan cara menghindari respons yang sama atau melakukan perilaku lain. Salah satu impikasinya dalam kegiatan instruksional adalah perlunya pemberian umpan balik positif atau pujian dengan segera atas keberhasilan atau respons yang benar dari peserta didik. Pada babak permulaan umpan balik yang positif tersebut harus sering kali diberikan, tetapi tahap berikutnya dapat diberikan lebih jarang secara random. Dalam proses pengembangan instruksional, prinsi ini diterapkan pula dalam bentuk pemberian latihan (exercise) dan tes untuk dikerjakan peserta didik serta pemberian umpan balik segera terhadap hasilnya.

2)      Prinsip kedua.

Perilaku tidak hanya dikontrol oleh akibat dari respons, tetapi juga di bawah pengaruh kondisi atau tanda-tanda yang terdapat dalam lingkungan peserta didik. Kondisi atau tanda-tanda tersebut berbentuk tulisan, gambar, komunikasi verbal, keteladan guru, atau perilaku sesama peserta didik. Implikasinya prinsip kedua ini pada teknologi instruksional adalah perlunya menyatakan tujuan instruksional secara jelas kepada peserta didik sebelum pelajaran dimulai agar peserta didik bersedia belajar lebih giat. Tujuan instruksional itu berisi pengetahuan, keterampilan atau setiap perilaku yang akan dapat dilakukan peserta didik setelah menyelesaikan pelajaran. Implikasi lainnya adalah penggunaan berbagai metode dan media agar dapat mendorong keaktifan peserta didik dalam proses belajarnya.

3)      Prinsip ketiga.

Perilaku yang ditimbulkan oleh tanda-tanda tertentu akan hilang atau berkurang frekuensinya bila tidak diperkuat dengan pemberian akibat yang menyenangkan. Karena itu pengetahuan dan keterampilan baru yang telah dikuasai harus sering dimunculkan dan diberi akibat yang menyenangkan agar keterampilan baru itu selalu digunakan. Implikasinya adalah pemberian isi pelajaran yang berguna pada peserta didik dalam dunia kehidupan serta pemberian umpan balik berupa imbalan dan penghargaan terhadap keberhasilan peserta didik.

4)      Prinsip keempat.

Belajar yang berbentuk respons terhadap tanda-tanda yang terbatas akan ditransfer kepada situasi lain yang terbatas pula. implikasinya yaitu pemberian kegiatan belajar yang melibatkan tanda-tanda atau kondisi yang mirip dengan kondisi dunia nyata, yaitu lingkungan hidup peserta didik di luar ruangan kelas.

5)      Prinsip kelima.

Belajar menggeneralisasikan dan membedakan adalah dasar untuk belajar sesuatu yang kompleks seperti pemecahan masalah. Uraian materi pelajaran perlu diperjelas dengan contoh yang positif dan negatif. Untuk menjelaskan bilangan genap, misalnya, guru perlu memberikan contoh bilangan genap dan contoh bilangan ganjil.

6)      Prinsip keenam.

Status mental peserta didik untuk menghadapi pelajaran akan memengaruhi perhatian dan ketekunannya selama proses belajar. Implikasinya adalah pentingnya menarik perhatian peserta didik agar dapat mempelajari isi pelajaran dengan baik. Misalnya, memulai proses pembelajaran dengan memberi petunjuk tentang prosedur yang harus diikuti.

Dalam waktu dua puluh tahun terakhir ini, teknologi instruksional telah berkembang dengan pesat dengan mengambil empat ciri utama, yaitu:

a)      menerapkan pendekatan sistem

b)      menggunakan sumber belajar seluas mungkin

c)      bertujuan meningkatkan kualitas belajar manusia

d)      berorientasi kepada kegiatan kegiatan instruksional individual.


BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Manusia adalah mahluk rasional, demikian pandangan dasar para penganut teori kognitif ini. Berdasarkan rasionya manusia bebas memilih dan menentukan apa yang akan diperbuat, entah baik atau buruk. Tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh kemampuan berfikirnya. Semakin cerdas dan berpendidikan, otomatis seseorang akan semakin baik perbuatannya, dan secara sadar pula melakukan perbuatan-perbuatan yang memenuhi keinginan atau kebutuhan tersebut.

Menurut teori belajar Kognitivisme, tingkah laku tidak digerakkan oleh apa yang disebut motivasi, melainkan oleh rasio. Setiap perbuatan yang akan dilakukannya sudah dipikirkan alasan-alasannya. Oleh karena itu setiap orang sungguh-sungguh bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Di dalam teori ini juga diletakkan pentingnya fungsi kehendak, bahkan fungsi kehendak disejajarkan dengan fungsi berfikir dan fungsi perasaan, sejauh fungsi berfikir dapat dipertanggung jawabkan.

 

B.     Saran

Banyak kekurangan dari penulisan karya tulis yang kami lakukan maka kami berharap penulisan selanjutnya dapat memperbaiki penulisan ini dengan baik dan benar. Oleh karena itu kami membutuhkan banyak kritik dan saran dari pembaca untuk hasil karya penulis.


DAFTAR PUSTAKA

 

 

Barbara B. Seels, Rita C. Richey. Teknologi Pembelajaran (Definisi dan Kawasannya). Jakarta: LPTK UNJ.

Dahar, R. Wilis. (2011). Teori-Teori Belajar & Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.

Dimyati, dkk. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

http://purwaji.blogspot.com/2012/11/kajian-teori-belajar-kognitivismedan.html?zx=f73b4408eab09541

http://rosdianablog.blogspot.com/2009/06/analisis-teori-belajar-dengan.html

M. Atwi Suparman. (2012).  Desain Instruksional Modern. Jakarta: Erlangga.

Suparman, Atwi. (2009). Desain Intruksional. Jakarta: Universitas Terbuka.

Suparman, A. (2004). Desain Instruksional. Jakarta: Universitas Terbuka.

Toeti Soekamto. (2005). Perancangan dan Pengembangan Sistem Instruksional. Jakarta: Rineka Cipta.

W. Gulo. (2008). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo.

Warni Tune Sumar dan Intan Abdul Razak. Strategi Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Soft Skill. Yogyakarta: Deepublish.

Wina Sanjaya. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran (Teori dan Praktek KTSP). Bandung: Kencana.

Wina Sanjaya. (2015). Perencanaan dan Desain Sitem Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN "KEPRIBADIAN MENYIMPANG"

TEORI BELAJAR SOSIAL DAN TIRUAN

KESEHATAN MENTAL " TRAUMA"

Translate