TEORI BEHAVIORISTIK DAN TEORI KOGNITIF SERTA PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN
A.
Latar Belakang
Sejalan
dengan mulai berkembangnya disiplin psikologi pada awal abad ke-20 berkembang
pula berbagai pemikiran tentang belajar yang digali dari berbagai penelitian
empiris, pada zaman itu mulai berkembang dua kutub teori belajar, yakni teori behaviorisme dan teori gestalt.
Kunci dari teori behaviorisme yang digali dari penelitian Ivan Pavlov pemenang
hadiah Nobel tahun 1904, dan V.M. Bechtereve serta A.B. Watson adalah proses
relasi antara stimulus dan respon (S-R), sedang teori gestalt adalah relasi
antara bagian dengan totalitas pengalaman.
Beberapa
teori belajar secara signifikan banyak mempengaruhi pemikiran tentang proses
pendidikan, termasuk pendidikan jarak jauh. Teori Operant Conditioning atau
Pengkondisian Operant dari B.F.
Skinner yang menekankan pada konsep reinforcement
atau penguatan (Bell-Gredler, 1986).
Semua konsep belajar yang dibangun dalam
masing-masing teori tersebut melukiskan bagaimana proses
psikologis-internal-individual atau psikososial atau psikokontekstual yang
relatif bebas dari konteks pedagogik yang sengaja dibangun untuk
menumbuhkembangkan potensi belajar individu.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, pemakalah akan membahas yaitu:
1. Apa
yang dimaksud dengan teori behavioristik.?
2. Apa
yang dimaksud dengan teori kognitif.?
3. Bagaimana
penerapan teori behavioristik dan kognitif dalam pembelajaran.?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori Behavioristik
Teori
behavioristik merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada perubahan
tingkah laku serta sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon,
koneksionisme (connectionism),
merupakan rumpun yang paling awal dari teori behavioristic, menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain
dari suatu hubungan stimulus‐respons,
siapa yang menguasai stimulus‐respons
sebanyak‐banyaknya ialah orang
yang pandai dan berhasil dalam belajar.
Pembentukan
hubungan stimulus respons dilakukan melalui ulangan‐ulangan, tokoh yang terkenal mengembangkan teori
ini adalah Thorndike dengan eksperimentnya belajar pada binatang yang juga
berlaku bagi manusia yang disebut Thorndike dengan trial and error,
Thorndike menghasilkan belajar connectionism karena belajar merupakan
proses pembentukan koneksi‐koneksi
atara stimulus dan respons, stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang
terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal‐hal lain yang dapat ditangkap melalui alat
indra.
Sedangkan
respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar yang juga
dapat berupa pikiran, perasaan atua gerakan/tindakan, Thorndike mengemukakan
tiga prinsip atau hukum dalam belajar yaitu:
1.
Law of readiness/hukum kesiapan,
belajar akan berhasil apabila peserta didik memiliki kesiapan untuk melakukan
kegiatan tersebut karena individu yang siap untuk merespon serta merespon akan
menghasilkan respon yang memuaskan
2. Law of exercise/hukum latihan, belajar akan berhasil apabila banyak
latihan serta selalu mengulang apa yang telah didapat.
3. Law of effect/hukum akibat, belajar
akan menjadi bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik.
Pengkondisian
(conditioning), merupakan perkembangan lanjut dari koneksionisme, teori
ini didasari percobaan Ivan Pavlov menggunakan obyek yaitu anjing. Teori Ivan Pavlov dikenal sebagai
pengkondisian klasik (classical
conditioning), pengkondisian klasik terjadi secara otomatis dengan
melibatkan alam bawah sadar (Abdurakhman & Rusli, 2017).
Pada
penelitiannya, Pavlov menggunakan anjing sebagai percobaannya, Ivan Pavlon
melihat bahwa anjing akan mengeluarkan air liur ketika diberikan makanan, namun
anjing tidak akan mengeluarkan air liur ketika dibunyikan lonceng, Pavlov
kemudian membunyikan lonceng bebarengan dengan makanan dalam waktu penelitian,
apabila perbuatan ini dilakukan secara berulang-ulang maka dalam suatu ketika
hanya dengan membunyikan lonceng tanpa memberikan makanan, maka air liur anjing
akan keluar.
Dalam hal
ini makanan dan lonceng disebut ransangan, makanan disebut dengan ransangan
tanpa dikondisikan atau disebut juga dengan ransangan wajar, sedangkan lonceng
disebut sebagai ransangan buatan, Proses ini kemudian disebut sebagai
pengkodisian klasik, dengan mengamati penelitian ini, maka dapat disimpulkan
bahwa suatu rangsangan buatan akan menghasilkan respon yang sama apabila pada
awalnya ransangan tersebut diberikan bersamaan dengan ransangan wajar
(Rohmasari, 2019).
Dari hasil percobaan yang dilakukan dengan
anjing itu Pavlov mendapat kesimpulan bahwa gerakan‐gerakan reflek itu dapat dipelajari, dapat
berubah karena mendapat latihan latihan, sehingga dari hasil ini ia membedakan
dua macam refleks, yaitu refleks bawaan dan refleks hasil belajar. Sebenarnya
hasil‐hasil percobaan Pavlov dalam hubungannya dengan belajar
yang kita perlukan sekarang ini adalah tidak begitu penting (Abdurakhman &
Rusli, 2017).
Mungkin beberapa hal yang ada sangkut pautnya
dengan belajar yang perlu diperhatikan antara lain ialah bahwa dalam belajar
perlu adanya latihan‐latihan dan kebiasaan‐kebiasaan yang telah melekat pada diri dapat
mempengaruhi dan bahkan mengganggu proses belajar yang bersifat skill, penguatan (reinforcement),
merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori pengkondisian.
Jika pada teori pengkondisian (conditioning) yang diberi kondisi adalah
perangsangnya (stimulus), maka pada
teori penguatan (reinforcement) yang
dikondisikan atau diperkuat adalah responsnya. contohnya soerang anak yang
belajar dengan giat dan dia dapat menjawab semua pertanyaan dalam ulangan atau
ujian, maka guru memberikan penghargaan pada anak itu misal dengan nilai yang
tinggi, pujian, atau hadiah
Berkat pemberian penghargaan ini, maka anak
itu akan belajar lebih rajin dan lebih bersemangat lagi untuk mengulang agar
mendapat penghargaan lagi, Operant conditioning, tokoh utamanya adalah
Skinner, Skinner memandang bahwa teori Pavlov tentang reflek berhasrat hanya
tempat untuk menyatakan tingkah laku respon, tingkah laku respon yang terjadi
dari suatu rangsangan.
Seperti Pavlov, Thorndike, dan Watson,
Skinner juga menyakini adanya pola hubungan stimulus‐respons, Tetapi berbeda dengan para
pendahulunya teori skinner lebih menekankan pada perubahan prilaku yang dapat
diamati dengan mengabaikan kemungkinan yang terjadi dalam proses berfikir pada
otak seseorang (Abdurakhman & Rusli, 2017: 2).
Aristoteles
berpendapat bahwa pada watu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, seperti
sebuah meja lilin yang siap dilukis oleh pengalaman. Menurut John Locke salah
satu tokoh empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai “warna mental”,
warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satusatunya jalan ke
pemilikan pengetahuan.
Idea
dan pengetahuan adalah produk dari pengalaman, secara psikologis seluruh
perilaku manusia, kepribadian, dan tempramen ditentukan oleh pengalaman
inderawi (sensory experience). Pikiran dan perasaan disebabkan oleh
perilaku masa lalu (Abdurakhman & Rusli, 2017)
Kesulitan
empirisme dalam menjelaskan gejala psikologi timbul ketika orang membicarakan
apa yang mendorong manusia berperilaku tertentu, hedonisme memandang manusia
sebagai makhluk yang bergerak untuk memenuhi kepentingan dirinya mencari
kesenangan, dan menghindari penderitaan.
Menurut
Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi‐asosiasi anatara peristiwa yang disebut
stimulus dan respon, teori belajar ini disebut teori “connectionism”, eksperimen yang dilakukan adalah dengan kucing yang
dimasukkan pada sangkar tertutup yang apabila pintunya dapat dibuka secara
otomatis bila knop di dalam sangkar disentuh.
Percobaan tersebut menghasilkan teori Trial
dan Error Ciri‐ciri belajar dengan Trial
dan Error Yaitu: adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap berbagai
situasi, adal eliminasai terhadap berbagai respon yang salah, ada kemajuan
reaksi‐reaksi mencapai tujuan. Thorndike menemukan hukum‐hukum:
Hukum
kesiapan (Law of Readiness) Jika suatu organisme didukung oleh kesiapan
yang kuat untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan
menimbulkan kepuasan individu sehingga asosaiasi cenderung diperkuat, semakin
sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin
kuat, hukum akibat hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat
menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibanya tidak memuaskan.
Menurut
Ivan Petrovich Pavlo teori pelaziman klasik adalah memasangkan stimuli yang netral
atau stimuli yang terkondisi dengan stimuli tertentu yang tidak terkondisikan,
yang melahirkan perilaku tertentu, setelah pemasangan ini terjadi berulang‐ulang, stimuli yang netral melahirkan respons
terkondisikan, Pavlo mengadakan percobaan laboratories terhadap anjing.
Dalam
percobaan ini anjing di respon yang diinginkan sementara individu tidak sadar
dikendalikan oleh stimulus dari luar, belajar menurut teori ini adalah suatu
proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat‐syarat yang menimbulkan reaksi, yang
terpenting dalam belajar menurut teori ini adalah adanya latihan dan
pengulangan, kelemahan teori ini adalah belajar hanyalah terjadi secara
otomatis keaktifan dan penentuan pribadi dihiraukan, beri stimulus bersarat
sehingga terjadi reaksi bersarat pada anjing.
Contoh
situasi percobaan tersebut pada manusia adalah bunyi bel di kelas untuk penanda
waktu tanpa disadari menyebabkan proses penandaan sesuatu terhadap bunyi‐bunyian yang berbeda dari pedagang makan, bel
masuk, dan antri di bank. Dari contoh tersebut diterapkan strategi Pavlo
ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami
dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan
Skinner
menganggap reward dan reinrforcement merupakan faktor penting
dalam belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal
mengontrol tingkah laku, pada teori ini guru memberi penghargaan hadiah atau
nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin, teori ini juga disebut dengan operant
conditioning. Operans conditioning adalah suatu proses penguatan
perilaku operans yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang
kembali atau menghilang sesuai keinginan.
Operant conditioning menjamin respon terhadap stimuli bila tidak menunjukkan stimuli maka
guru tidak dapat membimbing siswa untuk mengarahkan tingkah lakunya, guru memiliki
peran dalam mengontrol dan mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga
tercapai tujuan yang diinginkan (Abdurakhman & Rusli, 2017). Adapun prinsip
belajar menurut Skinners, yaitu:
1.
Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah
dibetulkan jika benar diberi penguat.
2.
Proses belajar harus mengikuti
irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
3.
Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak
digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.
4.
Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah
diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforce dalam pembelajaran digunakan shapping.
B.
Teori Kognitif
Istilah "Cognitive" berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian mengerti. Pengertian yang
luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan
penggunaan pengetahuan, dalam pekembangan selanjutnya kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai
salah satu wilayah psikologi manusia/satu konsep umum yang mencakup semua
bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan
masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan,
pengolahan informasi, pemecahan masalah, pertimbangan, membayangkan,
memperkirakan, berpikir dan keyakinan.
Termasuk kejiwaan yang berpusat di otak ini
juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan
rasa, menurut para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku seseorang itu
senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan
situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
Teori kognitif adalah teori yang umumnya dikaitkan
dengan proses belajar, kognisi adalah kemampuan psikis atau mental manusia yang
berupa mengamati, melihat, menyangka, memperhatikan, menduga dan menilai, dengan
kata lain kognisi menunjuk pada konsep tentang pengenalan. Teori kognitif
menyatakan bahwa proses belajar terjadi karena ada variabel penghalang pada
aspek‐aspek kognisi seseorang.
Teori belajar kognitif lebih mementingkan
proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar
melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar
melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan
persepsi dan pemahaman, Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk
perubahan tingkah laku yang bisa diamati.
Dari beberapa teori belajar kognitif diatas
(khusunya tiga di penjelasan awal) dapat pemakalah ambil sebuah sintesis bahwa
masing masing teori memiliki kelebihan dan kelemahan jika diterapkan dalam dunia
pendidikan juga pembelajaran, Jika keseluruhan teori diatas memiliki kesamaan
yang sama‐sama dalam ranah psikologi kognitif, maka disisi lain juga memiliki perbedaan jika
diaplikasikan dalam
proses pendidikan.
Sebagai misal teori bermakna Ausubel dan discovery
Learningnya Bruner memiliki sisi pembeda, dari sudut pandang Teori
belajar bermakna Ausubel memandang bahwa justru ada bahaya jika siswa yang
kurang mahir dalam suatu hal mendapat penanganan dengan teori belajar
discoveri, karena siswa cenderung diberi kebebasan untuk mengkonstruksi sendiri
pemahaman tentang segala sesuatu
Oleh karenanya menurut teori belajar bermakna
guru tetap berfungsi sentral sebatas membantu mengkoordinasikan pengalaman‐pengalaman yang hendak diterima oleh siswa
namun tetap dengan koridor pembelajaran yang bermakna, dari poin diatas dapat
pemakalah ambil garis tengah bahwa beberapa teori belajar kognitif diatas,
meskipun sama‐sama mengedepankan proses berpikir, tidak serta merta
dapat diaplikasikan pada konteks pembelajaran secara menyeluruh.
Terlebih untuk menyesuaikan teori belajar
kognitif ini dengan kompleksitas proses dan sistem pembelajaran sekarang maka
harus benar-benar diperhatikan antara karakter masing-masing teori dan kemudian
disesuakan dengan tingkatan pendidikan maupun karakteristik peserta didiknya.
Ciri‐ciri Aliran Kognitivisme adalah: 1. Mementingkan apa yang ada dalam diri
manusia, 2. Mementingkan keseluruhan dari pada bagian‐bagian, 3. Mementingkan peranan kognitif, 4.
Mementingkan kondisi waktu sekarang, 5. Mementingkan pembentukan struktur kognitif
Belajar kognitif ciri khasnya terletak dalam belajar
memperoleh dan mempergunakan bentuk‐bentuk reppresentatif yang mewakili obyek‐obyek itu di representasikan atau dihadirkan
dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang semuanya
merupakan sesuatu yang bersifat mental, misalnya seseorang menceritakan pengalamannya
selama mengadakan perjalanan keluar negeri, setelah kembali kenegerinya
sendiri.
Tempat‐tempat yang dikunjuginya selama berada di
lain negara tidak dapat diabawa pulang, orangnya sendiri juga tidak hadir di
tempat‐tempat itu. Pada waktu itu sedang bercerita, tetapi semulanya
tanggapan‐tanggapan, gagasan dan tanggapan itu di tuangkan dalam
kata-kata yang disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya.
Tokoh‐Tokoh Teori Kognitivisme, Jean Piaget,
teorinya disebut "Cognitive Developmental" Dalam teorinya Piaget memandang bahwa proses
berpikir sebagai aktivitas gradual dan fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak.
Dalam teorinya Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual
dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli
psikolog developmentat karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan
pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu.
Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental
memberikan kemampuan‐kemapuan mental yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan
intelektual adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif, dengan kata lain
daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula
secara kualitatif, menurut Suhaidi Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan
kognitif anak menjadi empat tahap:
Tahap sensory‐motor, yakni perkembangan ranah kognitif yang
terjadi pada usia 0‐2 tahun, Tahap ini diidentikkandengan kegiatan motorik
dan persepsi yang masih sederhana. Tahap pre‐operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang
terjadi pada usia 2‐7 tahun, tahap ini diidentikkan dengan mulai digunakannya
symbol atau bahasa tanda, dan telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan
pada kesan yang agak abstrak.
Tahap concrete‐operational, yang terjadi pada usia 7‐11 tahun, tahap ini dicirikan dengan anak
sudah mulai menggunakan aturan‐aturan yang jelas dan logis, Anak sudah tidak memusatkan
diri pada karakteristik perseptual pasif. Tahap formal‐operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang
terjadi pada usia 11‐15 tahun. Ciri pokok tahap yang terahir ini adalah anak
sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola pikir
"kemungkinan".
Dalam pandangan Piaget proses adaptasi
seseorang dengan lingkungannya terjadi secara simultan melalui dua bentuk proses
asimilasi dan akomodasi, asimilasi terjadi jika pengetahuan baru yang diterima
seseorang cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang
tersebut. Sebaliknya akomodasi terjadi jika struktur kognitif yang telah
dimiliki seseorang harus direkonstruksi/ dikode ulang disesuaikan dengan
informasi yang baru diterima.
Dalam teori perkembangan kognitif ini Piaget
juga menekankan pentingnya penyeimbangan (equilibrasi) agar seseorang dapat
terus mengembangkan dan menambah pengetahuan sekaligus menjaga stabilitas
mentalnya. Equilibrasi ini dapat
dimaknai sebagai sebuah keseimbangan antara asimilasi
dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur
dalamya. Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju
equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.
Teori Kognitif Bruner berbeda dengan Piaget Burner melihat
perkembangan kognitif manusia berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Bruner perkembangan kognitif seseorang sangat
dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan, terutama bahasa yang biasanya
digunakan, menurut Bruner untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu sampai
anak mancapai tahap perkembangan tertentu, yang penting bahan pelajaran harus
ditata dengan baik maka dapat diberikan padanya.
Dengan
lain perkataan perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan
mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya,
penerapan teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah kurikulum
spiral dimana materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari Sekolah
Dasar sampai Perguruan tinggi disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif
mereka.
Cara
belajar yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, arti dan
hubungan melalui proses intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu kesimpulan. (discovery
learning).
Teori Kognitif Ausebel,
yang memandang
bahwa Proses belajar terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang
dimilikinya dengan pengetahuan baru yang dimana Proses belajar terjadi melaui
tahap‐tahap: 1). Memperhatikan stimulus yang diberikan. 2).
Memahami makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah
dipahami.
Menurut
Ausubel siswa akan belajar dengan baik jika isi pelajarannya didefinisikan dan
kemudian dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa
(advanced
organizer), dengan demikian akan mempengaruhi pengaturan kemampuan belajar
siswa. Advanced organizer adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi
seluruh isi pelajaran yang akan dipelajari oleh siswa.
Advanced organizer memberikan
tiga manfaat yaitu : Menyediakan suatu
kerangka
konseptual untuk materi yang akan dipelajari. Berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan antara yang sedang dipelajari dan yang akan dipelajari. Dapat
membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.
1.
Pandangan Kognitivisme terhadap belajar
Teori
kognitif adalah teori yang umumnya dikaitkan dengan proses belajar. Kognisi
adalah kemampuan psikis atau mental manusia yang berupa mengamati, melihat,
menyangka, memperhatikan, menduga dan menilai. Dengan kata lain, kognisi
menunjuk pada konsep tentang pengenalan. Teori kognitif menyatakan bahwa proses
belajar terjadi karena ada variabel penghalang pada
aspek‐aspek kognisi seseorang.
Teori
belajar kognitive lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu
sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon,
lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks, belajar
adalah perubahan persepsi dan pemahaman, perubahan persepsi dan pemahaman tidak
selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.
Dari
beberapa teori belajar kognitif diatas (khusunya tiga di penjelasan awal) dapat
pemakalah ambil sebuah sintesis bahwa masing masing teori memiliki kelebihan
dan kelemahan jika diterapkan dalam dunia pendidikan juga pembelajaran. Jika
keseluruhan teori diatas memiliki kesamaan yang sama‐sama dalam ranah psikologi kognitif, maka
disisi lain juga memiliki perbedaan jika diaplikasikan dalam proses pendidikan.
Sebagai
misal, Teori bermakna Ausubel dan discovery Learningnya Bruner memiliki
sisi pembeda. Dari sudut pandang Teori belajar Bermakna Ausubel memandang bahwa
justru ada bahaya jika siswa yang kurang mahir dalam suatu hal mendapat
penanganan dengan teori belajar discoveri, karena siswa cenderung diberi
kebebasan untuk mengkonstruksi sendiri pemahaman tentang segala sesuatu.
Oleh
karenanya menurut teori belajar bermakna guru tetap berfungsi sentral sebatas membantu
mengkoordinasikan pengalaman‐pengalaman yang hendak diterima oleh siswa namun tetap
dengan koridor pembelajaran yang bermakna. Dari poin diatas dapat pemakalah
ambil garis tengah bahwa beberapa teori belajar kognitif diatas, meskipun sama‐sama mengedepankan proses berpikir, tidak
serta merta dapat diaplikasikan pada konteks pembelajaran secara menyeluruh.
Terlebih
untuk menyesuaikan teori belajar kognitif ini dengan kompleksitas proses dan
system pembelajaran sekarang maka harus benar-benardiperhatikan antara karakter
masing-masing teori dan kemudian disesuakan dengan tingkatan pendidikan maupun
karakteristik peserta didiknya.
Teori kognitivistik dalam pendidikan, adapun Impilikasi Teori Kognitivisme dalam
dunia pendidikan yang lebih dispesifikasikan dalam Pembelajaran sesuai dengan
Teori yang telah dikemukan diatas sebagai berikut:
1.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah Bahasa
dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak; Anak‐anak akan belajar lebih baik apabila dapat
menghadapi lingkungan dengan baik.
Guru
harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik‐baiknya; Bahan yang harus dipelajari anak
hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing; Berikan peluang agar anak belajar
sesuai tahap perkembangannya. Di dalam kelas, anak‐anak hendaknya diberi peluang untuk saling
berbicara dan diskusi dengan temantemanya.
2.
Implikasi Teori Bruner dalam proses Pembelajaran yaitu menghadapkan anak pada
suatu situasi yang membingungkan atau suatu masalah; anak akan berusaha
membandingkan realita diluar dirinya dengan model mental yang telah
dimilikinya; dan dengan pengalamannya anak akan mencoba menyesuaikan atau
mengorganisasikan
kembali struktur-struktur idenya dalam rangka untuk mencapai keseimbangan di
dadalam benaknya.
3.
Impilkasi Teori Bermakna Ausubel adalah seorang pendidik, mereka harus dapat
memahami bagaimana cara belajar siswayang baik, sebab mereka para siswa tidak
akan dapat memahami bahasa bila mereka tidak mampu mencerna dari apa yang
mereka dengar ataupun mereka tangkap.
Dan
dari ketiga macam teori diatas jelas masing‐masing mempunya implikasi yang berbeda, namun
secara umum teori kognitivisme lebih mengarah pada bagaimana memahami struktur
kognitif siswa. Teori kognitif adalah teori yang umumnya dikaitkan dengan
proses belajar. Kognisi adalah kemampuan psikis atau mental manusia yang berupa
mengamati, melihat, menyangka, memperhatikan, menduga dan menilai.
Dengan
kata lain, kognisi menunjuk pada konsep tentang pengenalan. Adapun teori yang
tekenal antara lain: Jean Piaget, teorinya disebut "Cognitive
Developmental" yang Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses
berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju
abstrak, Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Bruner, yang dimana
Burner memandang perkembangan kognitif manusia berkaitan dengan kebudayaan.
Bagi
Bruner, perkembangan kognitif seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan
kebudayaan, terutama bahasa yang biasanya digunakan. Teori Perkembangan
Kognitif, dikembangkan oleh Ausebel, yang mengatakan bahwa siswa akan belajar
dengan baik jika isi pelajarannya didefinisikan dan kemudian dipresentasikan
dengan baik dan tepat kepada siswa (advanced organizer), dengan demikian
akan mempengaruhi pengaturan kemampuan belajar siswa.
C.
Penerapan Teori Behavioristik dan Kognitif Dalam Pembelajaran
1.
Penerapan Teori Behavioristik
Teori behaviorisktik
menekankan pada terbentuknya perilaku terlihat sebagai hasil belajar, dengan
model hubungan stimulus respons dan menekankan siswa untuk belajar sebagai
individu yang pasif. Teori ini berpengaruh besar terhadap masalah belajar,
sebab belajar di sini diartikan sebagai latihan untuk pembentukan hubungan
antara stimulus dan respon (Nahar, 2016).
Adapun untuk membentuk
hubungan tersebut maka perlu memberikan rangsangan pada siswa agar siswa dapat
bereaksi dan menanggapi rangsangan, sehingga hubungan stimulus-respon tersebut
dapat menimbulkan kebiasaan-kebiasaan otomatis belajar para siswa. Pada konteks
ini kebiasaan anak memiliki hubungan dengan respon terhadap stimulus-stimulus
tertentu.
Penerapan teori
behavioristik dalam proses pembelajaran tergantung dari beberapa komponen utama
seperti: tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, karakteristik siswa, media
pembelajaran, fasilitas pembelajaran, lingkungan, dan penguatan. Teori
behavioristik memiliki pandangan dalam proses pembentukan dengan artian membawa
siswa untuk mencapai target tertentu sehingga menjadikan siswa tidak bebas
berkreasi dan berimajinasi.
Pembelajaran yang
dirancang pada teori behavioristik memandang pengetahuan adalah objektif,
sehingga belajar merupakan perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan kepada siswa. Dengan demikian siswa diharapkan memiliki
pemahaman yang sama terhadap pengetahuan
yang diajarkan, sehingga apa yang diajarkan oleh guru itulah yang harus
dipahami oleh siswa.
Aplikasi teori
behavioristik dalam kegiatan pembelajraran juga dirancang dan berpijak pada pengetahuan
adalah objektif, pasti, tetap, dan tidak berubah, adapun belajar merupakan perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar merupakan pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge)
ke orang yang belajar. Fungsi pikiran adalah untuk menjiplak struktur
pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan
dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini dapat
ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut.
Adapun faktor lain yang
dianggap penting dalam aliran ini adalah faktor penguatan. Apabila penguatan
ditambahkan maka respon akan semakin kuat, sebaliknya jika respon dikurangi
atau dihilangkan maka repons malah semakin kuat juga (Rusli & Kholik, 2013).
Penerapan pendekatan
behavioristik dalam proses pengajaran di sekolah dapat diawali dengan
menganalisis kemampuan dan cara belajar siswa. Pada konteks behavioristik
sebenarnya seorang guru diminta untuk mampu melakukan analisis kemampuan awal
dan karakteristik siswa dengan maksud agar apa yang diajarkan sesuai dengan
kondisi siswa yang dihadapi.
Peran guru menurut
pendekatan ini yakni untuk membentuk tingkah laku pelajar melalui penguatan
secara posistif dan negatif penguatan dalam hal ini digunakan untuk
meningkatkan kemungkinan timbulnya tingkah laku yang spesifik dengan pemberian
rangsangan secara langsung dan memunculkan respon (Sokip, 2019).
2.
Penerapan dalam analisa
karakter siswa
Menurut Oemar Hamalik (2002:38-40) manfaat yang didapatkan oleh guru
dengan melakukan analisis terhadap kemampuan dan karakteristik siswa yaitu: (1)
Guru dapat memperoleh gambaran yang lengkap dan terperinci tentang kemampuan
awal para siswa yang berfungsi sebagai prasyarat bagi bahan baru yang akan
disampaikan, (2) Guru dapat memperoleh gambaran tentang luas dan
jenis pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa, sehingga guru dapat memberikan
bahan yang lebih relevan dan memberi contoh serta ilustrasi yang tidak asing
bagi siswa,
(3) Guru dapat
mengetahui latar belakang sosio-kultural para siswa termasuk latar belakang
keluarga, sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain, (4) Guru dapat mengetahui
tingkat pertumbuhan dan perkembangan siswa, baik jasmani maupun rohani, (5)
Guru dapat mengetahui aspirasi dan kebutuhan para siswa, (6) Guru dapat
mengetahui tingkat penguasaan bahasa siswa, (7) Guru dapat mengetahui tingkat
penguasaan pengetahuan yang telah diperoleh siswa sebelumnya, (8) Guru dapat
mengetahui sikap dan nilai yang menjiwai pribadi para siswa.
3.
Penerapan dalam
pengembangan media dan strategi belajar
Pendekatan behavioristik
dapat dijadikan sebagai pedoman pengembangan media pengajaran yang didasarkan
dengan kondisi peserta didik serta fasilitas yang memadai di sekolah yang
bersangkutan. keberadaan stimulus dan respon serta pengkodisian merupakan
istilah yang dilahirkan dari teori belajar behavioristik, dan penerapannya
sangatlah kuat dalam pengembangan multimedia pembelajaran.
Multimedia dalam ranah
ini memperhatikan pada pembelajaran desain grafis, penggunaan warna, animasi,
dan video. Pendekatan behavioristik memandang pengajaran harus ada suatu
perubahan pada tingkah dari para siswa, hal ini sangat penting sebagai hasil
dari penerapan strategi pengajaran.
Pandangan tentang
belajar menurut aliran tingkah laku, tidak lain adalah perubahan dalam tingkah
laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon.
Strategi-strategi tersebut sangat banyak, terutama yang mengarah pada
psikomotorik para siswa. Diantara strategi yang sering dipraktekkan harus
melibatkan respon dari peserta didik bahkan diharapkan terpusat pada para
siswa. Permainan dalam pengajaran juga merupakan salah satu bentuk penerapan
dari pendekatan behavioristik.
Penggunaan metode,
teknik, permainan edukatif dapat memberi rangsang pada para siswa untuk lebih
aktif dalam berpartisipasi di kelas dan menghindari bahan ajar yang temanya
tidak menarik bagi para siswa, karena tidak mungkin para siswa sepenuhnya
memperhatikan pada pelajaran sampai kelas berakhir. Dengan demikian dalam suatu lembaga pendidikan diharapkan
menyediakan fasilitas atau sarana elektronik terutamanya untuk menerapkan
pendekatan behavioristik dalam proses pembelajaran (Sokip, 2019).
4.
Penerapan dalam
menumbuhkan sikap percaya diri
Penerapan pendekatan
behavioristik tidak hanya pada akademik namun juga pada pembentukan sikap para
siswa yang lebih baik, salah satunya adalah pembentukan karakter percaya diri. Pada prakteknya seorang
siswa membutuhkan apresiasi dari lingkungannya agar dapat menumbuhkan sikap
percaya dirinya dimanapun tempatnya.
Sikap percaya diri ini
merupakan salah satu bentuk hasil pendekatan behavioristik secara positif atau
dapat dikatakan sebagai motivasi. Selain itu perasaan bahagia karena emosi yang
positif merupakan emosi yang mampu membangkitkan perasaan seseorang yang
mengalaminya antara lain perasaan cinta, kasih sayang, senang, kagum, dan lain
sebagainya.
Respon yang positif dari
pembelajaran adalah bentuk dari motivasi yang muncul dari dalam ataupun luar
siswa. Motivasi belajar sendiri secara istilah merupakan suatu usaha yang
didasari untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang agar ia tergerak untuk
bertindak melakukan sesuatu sehingga dapat mencapai hasil atau tujuan tertentu
(Purwanto, 2011). Sedangkan motivasi
ekstrinsik merupakan motivasi yang timbul karena rangsangan atau bantuan dari
orang lain.
Adapun keterlibatan
motivasi dalam pembelajaran sangatlah penting, karena dengan motivasi maka akan
mampu meningkatkan keseriusan proses belajar dan sebaliknya bagi mereka yang
kurang motivasi maka akan rendah keinginan untuk belajar yang diakibatkan oleh
rasa kebosanan dan cepat menyerah. Selain itu rasa percaya diri juga akan mampu
memberikan keyakinan kuat pada diri untuk berbuat atau melakukan suatu
tindakan.
Dengan memiliki
keyakinan yang kuat akan menjadi modal utama dalam mewujudkan segala potensi
yang dimiliki dan dengan rasa percaya diri juga akan berpengaruh terhadap
perkembangan mental dan karakter anak.
5.
Penerapan Teori Kognitif dalam Pembelajaran
Menurut Piaget, ada beberapa strategi
mengajar dalam pembelajaran teori kognitif, yaitu: Pertama, gunakan
pendekatan konstruktivis, Piaget menekankan bahwa anak akan belajar dengan
lebih baik jika mereka aktif dan mencari solusi sendiri. Kedua,
fasilitasi mereka untuk belajar. Guru yang efektif harus merancang situasi yang
membuat murid belajar dengan bertindak. Ketiga, pertimbangkan
pengetahuan dan tingkat pemikiran anak. Murid tidak dating ke sekolah dengan
kepala kosong.
Mereka punya banyak gagasan tentang dunia
fisik dan alam. Keempat, gunakan penilaian terus-menerus. Makna yang
disusun oleh individu tidak dapat diukur dengan tes standar. Penilaian
matematika dan bahasa (yang menilai kemajuan dan hasil akhir), pertemuan
individual dimana murid mendiskusikan stategi pemikiran mereka dan penjelasan
lisan dan tertulis oleh murid tentang penalaran mereka dapat dipakai sebagai
alat untuk mengevaluai kemajuan mereka.
Kelima, tingkatkan kemampuan intelektual murid.
Menurut Piaget tingkat perkembangan kemampuan intelektual murid berkembang
secara alamiah. Anak tidak boleh didesak dan ditekan untuk berprestasi terlalu
banyak di awal perkembangan mereka sebelum mereka siap. Keenam, jadikan
ruang kelas menjadi eksplorasi dan penemuan.
Guru menekankan agar murid melakukan
eksplorasi dan menemukan kesimpulan sendiri. Guru lebih banyak mengamati minat
murid dan partisipasi alamiah dalam aktivitas mereka untuk menentukan pelajaran
apa yang diberikan (Santrock, 2008). Penerapan teori kognitif menurut teori Gestalt
dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan beberapa prinsip, yaitu:
Pertama, aktivitas suatu cabang olahraga harus
dilaksanakan secara keseluruhan, bukan sebagai pelaksanaan gerak secara
terpisah-pisah. Pemecahan keseluruhan aktivitas menjadi bagian-bagian yang
terpisah menyebabkan peserta didik tidak mampu mengaitkan bagian-bagian
tersebut. Adapun untuk itu siswa harus mampu mempersatukan bagian menjadi
sebuah unit yang terpadu.
Kedua,
tugas guru adalah untuk memaksimalkan transfer dari latihan diantara berbagai
kegiatan. Pola umum atau konfigurasi perlu untuk mempermulus terjadinya
transfer diantara berbagai kegiatan. Penggunaan faktor insight untuk memecahkan
masalah. Pemberian contoh pada siswa akan membantu siswa dalam mengamati dan
memahami suatu masalah, sehingga dia mampu menyelesaikannya.
Ketiga, pemahaman tentang hubungan antara
bagian-bagian dengan suatu keseluruhan penting bagi peragaan keterampilan yang
efektif. Jadi peserta didik harus mampu memahami tiap-tiap bagian dan
keterkaitannya secara keseluruhan. Salah satu kelemahan dalam proses pengajaran
adalah soal kegagalan guru dalam menyampaikan informasi yang menuntut peserta
didik memperoleh pemahaman yang mendalam tentang kaitan antara bagian-bagian di
dalam konteks keseluruhan (Wisman, 2020).
Adapun kegiatan pembelajaran menggunakan
teori kognitif dapat mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama,
siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya. Siswa
mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu. Kedua,
anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik,
terutama jika menggunakan benda-benda konkrit.
Ketiga keterlibatan siswa secara aktif dalam
belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siswa, maka proses
asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik. Keempat,
untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengaitkan
pengalaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Kelima,
pemahaman dan retensi akan meningkatkan jika materi pelajaran disusun dengan
menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks.
Keenam, belajar memahami akan lebih bermakna dari
pada belajar menghafal. Agar bermakna maka informasi baru harus disesuaikan dan
dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa. Tugas guru
adalah menunjukkan hubungan antara yang sedang dipelajari dengan apa yang telah
diketahui siswa (Pahliwandari, 2016).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Teori
behavioristik merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada perubahan
tingkah laku serta sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon, tokoh
yang terkenal mengembangkan teori ini adalah Thorndike dengan eksperimentnya
disebut Thorndike dengan trial and error, seanjutnya pengkondisian
(conditioning), merupakan perkembangan lanjut dari koneksionisme.
Teori ini
didasari percobaan Ivan Pavlov menggunakan obyek yaitu anjing. Teori Ivan Pavlov dikenal sebagai
pengkondisian klasik (classical
conditioning). sangkut
pautnya dengan belajar yang perlu diperhatikan antara lain ialah bahwa dalam
belajar perlu adanya latihan‐latihan dan kebiasaan‐kebiasaan yang telah melekat pada diri
Teori
kognitif teori
yang umumnya dikaitkan dengan proses belajar, kognisi adalah kemampuan psikis
atau mental manusia yang berupa mengamati, melihat, menyangka, memperhatikan,
menduga dan menilai, dengan kata lain kognisi menunjuk pada konsep tentang
pengenalan. Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada
hasil belajar itu sendiri.
Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan
antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir
yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman,
Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku
yang bisa diamati.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurakhman, Omon.
Radif Khotamir Rusli. 2017. “Teori Belajar dan Pembelajaran”. Jurnal
Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Vol. 2. No. 1.
Hamalik, Oemar. 2002.
Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi
Aksara.
Nahar, Novi Irwan.
2016. “Penerapan Teori Belajar Behavioristik dalam Proses Pembelajaran”. Jurnal
Nusantara. Vol. 1.
Pahliwandari, Rovi.
2016. “Penerapan Teori Pembelajaran Kognitif dalam Pembelajaran Pendidikan
Jasmani dan Kesehatan”. Jurnal Pendidikan Olahraga. Vol. 5. No. 2.
Purwanto, M. Ngalim.
2011. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Rohmasari, Dewi Nuur.
"Penerapan Teori Belajar Behavior dalam Pembelajaran Matematika
Keuangan." (2019).
Rusli, RK. MA Kholik.
2013. “Teori Belajar dalam Psikologi Pendidikan”. Jurnal Sosial Humaniora.
Vol. 4. No. 2.
Santrock, John W.
2008. Psikologi Pendidikan. Pekanbaru: UR Press.
Sokip. 2019.
“Kontribusi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran”. Jurnal Pendidikan Islam.
Vol. 7. No. 1.
Winataputra, Udin S., R.
Delfi, P. Pannen, and D. Mustafa. "Hakikat Belajar dan
Pembelajaran." Hakikat Belajar dan Pembelajaran (2014):
1-46.
Komentar
Posting Komentar