QIRADH DAN HIWALAH
A.
Latar belakang
Qiradh ialah memberikan modal dari seseorang kepada
orang lain untuk modal usaha, sedangkan keuntungan untuk keduanya menurut
perdamaian (perjanjian) antara keduanya sewaktu akad di bagi dua atau di bagi
tiga seumpamanya.
Menurut bahasa, Hiwalah artinya “mengalihkan”.
Sedangkan menurut syara’ ialah memindahkan hak dari tanggungannya orang yang
mengalihkan kepada orang yang di limpahi tanggungan. Hiwalah ialah memindahkan
utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan orang lain.
Akan tetapi masih banyak diantara
kaum muslimin yang tidak mengetahui apakah qirqdh dan hiwalah itu?
Atau syarat-syarat terjadinya qirqdh dan hiwalah? Pada kesempatan
kali ini akan membahas masalah tentang kedua hal tersebut.
B.
Rumusan Masalah :
1.
Apa pengerian, hukum, rukun, syarat, dan cara pelaksanaan qiradh?
2.
Apa pengertian, hukum, rukun, syarat, dan cara pelaksanaan hiwalah?
C.
Tujuan :
1.
Agar mengetaui pengertian, hukum, syarat, rukun, serta cara pelaksanaan dari
qiradh.
2.
Agar mengetahui pengertian, hukum, rukun, syarat, serta cara pelaksanaan
hiwalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Qiradh
1.
Pengertian Qiradh
Qiradh ialah
memberikan modal dari seseorang kepada orang lain untuk modal usaha, sedangkan
keuntungan untuk keduanya menurut perdamaian (perjanjian) antara keduanya di
bagi dua atau di bagi tiga seumpamanya. Qiradh memang telah ada di masa
jahiliyah (sebelum islam) kemudian di tetapkan (di perbolehkan) oleh agama
islam. Peraturan qiradh ini di adakan karena benar-benar di butuhkan oleh
sebagian umat manusia. Betapa tidak ada orang yang mempunyai modal tetapi tidak
pandai berdagang, atau tidak berkesempatan, sedangkan yang lain pandai dan
cakap lagi mempunyai waktu yang cukup, tetpi tidak mempunyai modal, qiradh
berarti juga untuk pengajuan bersama perdagangan juga mengandung arti tolong
menolong.
Lafazh
“Qiradl” menurut bahasa adalah berasal dari lafazh “Qardlu” artinya Ialah
“memutus”. Sedangkan menurut syara’ ialah satu penyerahan harta yang dilakukan
oleh pemiliknya kepada seseorang supaya memperdagangkan harta tersebut dan
keuntungannya dibagi berdua.
Qiradh
berasal dari kata qaradha yang berarti “memutuskan atau memastikan”. Di
namakan qiradh karena pemilik uang memutuskan atau memastikan untuk menyerahkan
sebagian uangnya kepada orang lain untuk di perdagangkan, dan juga memutuskan
untuk membagi labanya.
2.
Hukum Qiradh
Dasar hukum
qiradh di perbolehkan, kerena qiradh adalah apa yang di lakukan oleh rosulullah
saw ketika beliau berakad qiradh dengan siti khadijah (sebelum nikah) untuk
memperdagangkan hartanya ke negara syam dan lain-lain. Para sahabat juga telah
sepakat menetapkan sah nya perdagangan seperti itu.
Akad qiradh
itu sesuai dengan hadist riwayat Ibnu Majah, bahwa Rasulullah SAW pernah
bersabda:
ﺛَﻼَﺛَﺔٌﻓِﻴْﻬِﻦََّاﻟْﺒَﺮَﻛَﺔُ:اَﻟْﺒَﻴْﻊُﺈِِﱃَأَﺟَﻞٍﻮَاﻟْﻤُﻘَﺎﺿَﺔُ،ﻮَاﺧْﺘِﻼﻃُ
اﻟْﺒُﺮَّﺑِﺎاﻟﺸَّﻌِﻴْﺮِ،ﻻَﻟِﻠْﺒَﻴْﻊِ
Artinya: “Ada tiga hal yang
mengandung berkah, yaitu jual-beli, yang diberi tempo (masa khiar), penyerahan
(pinjaman) uang untuk diperdagangkan, dan campuran gandum dengan terigu bukan
untuk di jual-belikan.(H.R Ibnu Majah)”.
Hukum qiradh terbagi dua, yaitu qiradh
sahih dan qiradh fasid. Kedua jenis qiradh ini akan menjelaskan di
bawah ini.
a.
Hukum Qiradh
Fasid
Qiradh fasid yang mengharuskan pemilik modal
memberikan upah kepada pengusaha, antara lain:
1)
Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual,
member, atau mengambil barang.
2)
Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga pengusaha
tidak bekerja, kecuali atas seizinnya.
3)
Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan harta modal
tersebut dengan harta orang lain atau barang lain miliknya.
b.
Hukum qiradh
sahih
Hukum Qiradh sahih yang tergolong sahih cukup banyak, diantaranya
berikut ini.
1) Tanggung
jawab pengusaha
Ulama’ fiqih
telah sepakat bahwa pengusaha bertanggung jawab atas modal yang ada di
tangnnya, yakni sebagai titipan. Hal ini karena kepemilikan modal tersebut atas
izin pemilinya. Apabila pengusaha beruntung, ia memiliki hak atas laba secara
bersama-sama dengan pemilik modal.
2)
Tasyarruf Pengusaha
Hukum
tentang tasharruf pengusaha berbeda-beda
bergantung pada qiradh mutlak atau terikat.
a) Qiradh
mutlak
Dalam qiradh
mutlak, menurut ulama’ Hanafiyah, pengusaha di perbolehkan menyerahkan modal
tersebut kepada pengusaha lainnya atas seizing pemilik modal. Namun demikian,
harta tersebut tetap berada di bawah tanggung jawabnya (pengusaha pertama).
Jika mendapatkan laba, laba tersebut dibagikan kepada pemilik modal dan
pengusaha pertama sesuai kesepakatan. Adapun bagian dari laba yang di terima
oleh pengusaha pertama di bagi lagi dengan pengusaha kedua sesuai
kesepakatan di antara keduanya. Menurut ulama’ Hanafiyah, pengusaha bertanggung
jawab atas modal jika ia memberikan modal kepada orang lain tanpa seizinnya,
tetapi laba di bagi atas pengusaha kedua dan pemilik modal. Pengusaha pertana
tidak berhak mendapatkan laba sebab laba di berikan kepada mereka yang berusaha
secara sempurna.
b)
Pada qiradh terikat
Secara umum,
hukum yang terdapat dalam qiradh terikat sama dengan ketetaan yang ada pada
qiradh mutlak. Namun ada beberapa pengecualian, anatara lain berikut ini.
(1)
Penentuan tempat
Jika pemilik
modal menentukan tampar, seperti ucapan, “Gunakan modal ini untuk qiradh,
dengan syarat harus di daerah tasikmalaya.” Pengusaha harus
mengusahakan di daerah Tasikmalaya, sebab syarat tempat termasuk persyaratan
yang di bolehkan. Apabila pengusaha mengusahakannya bukan di daerah
Tasikmalaya, ia bertanggung jawab atas modal tersebut berserta kerugiannya.
(2)
Penentuan orang
Ulama’ Hanafiyah dan Hanabilah
membolehnkan pemilik modal untuk menentukan orang yang harus di beli barangnya
oleh pengusaha atau kepada siapa ia harus menjual barang, sebab hal ini
termasuk syarat yang berfaedah. Adapun ulama’ Syafi;iyah dan Malikiyah melarang
persyaratan tersebut sebab hal itu mencegah pengusaha untuk mencari pasar yang
tasharruf-kan kepada pakaian,
yang di terima adalah ucapan pemilik modal sebab pengusaha harus mengusahakan
hartanya atas seizin pemilik harta.
3.
Syarat Qiradh
a.
Akad qiradl itu ada 4 macam syaratnya, yaitu:
1)
Qiradl itu sendiri harus berupa uang (dirham dan dinar) yang murni, karena itu
tidak sah akad Qiradl dengan emas murni, emas perhiasan, emas yang campuran dan
juga tidak sah dengan harta, seperti uang emas atau perak yang tercetak.
2)
Harus ada janji dari pemilik modal kepada orang yang mengerjakan berupa bagian
keuntungan yang dapat diketahui, seperti separo dari keuntungannya, atau
sepertigannya. Jika pemilik modal berkata kepad orang yang mengerjakan : “aku
mengqiradlkan kepadamu modl ini dengan janji, bahwa kamu akan bersama-sama
mendapatkan keuntungan dalam kaitannya dengan modal ini atau bagian dari
padanya”, maka akad qiradl ini hukumnya rusak (tidak sah). Atau pemilik modal berkata
: “keuntungannya milik kita berdua”, maka hukumnya sah. Dan keuntungan tersebut
dibagi dua.
3)
Pihak pemilik modal tidak memperkirakan akan Qiradl dalam suatu masa yang telah
maklum, seperti ucapan pemilik modal : “aku mengqiradlkan kepadamu dalam masa
satu tahun saja”. Dan pihak orang yang mengakadkan tidak mengantungkan dengan
suatu syarat, seperti seperti ucapan pemilik modal : “Bila nanti telah datang
awal bulan, maka aku menqiradlkan kepadamu.
b.
Adapun menurut para ulama’ syarat qiradh adalah:
1)
Para ulama’ menentukan syarat qiradh berupa uang dirham dan dinar (atau mata
uang yang lainnya-Pen). Tidak boleh melakukan akad qiradh dengan penyerahan
barang-barang perhiasan dari emas, emas lempengan (lantakan), atau berupa komoditi
(barang dagangan).
2)
Orang yang memperdagangkan uang di dalam akad qiradh tidak boleh di batasi
usahanya. Pembatasan usaha tersebut kadang-kadang berupa pencegahan
pembelanjaan secara mutlak, misalnya pemberi modal berkata, “janganlah engkau membeli
sesuatau sebelum bermusyawarah lebih dahulu denganku!” atau, “janganlah engkau
menjual sesuatu sebelum mendapat izinku!”.
3)
Keuntungan akad qiradh tersebut harus sama-sama di rasakan oleh pemilik
modal dan orang yang memperdagangkan modal. Pemilik modal mendapat keuntungan
sebab modal yang di berikan, dan orang yang menjalankan modal itu mendapat
keuntungan sebab tenaganya. Demikian ini bisa menghilangkan tujuan akad qiradh
yaitu laba, yakni mengakibatkan hilangnya laba, karena dalam menjual dan
membeli sesuatu harus konsultasi terlebih dahulu dengan pemilik modal, maka
akan memakan waktu lam sehingga konsumennya tidak sabar lalu beralih ke
pengusaha lain.
4.
Cara Pelaksanaan Qiradh
Karena orang
yang bekerja wajib ikhlas dalam segala urusan yang bersangkutan dengan qiradl,
hendaklah ia dibenarkan dengan semua sumpahnya apabila ia mengatakan tidak
mendapat keuntungan atau hanya memperoleh sedikit keuntungan. Begitu juga
banyak dan sedikitnya modal, atau dia mengatakan bahwa modalnya hilang, semua
pengakuan tersebut hendaklah diperkuat dengan sumpahnya.
Kalau orang
yang bekerja dan yang punya modal berselisih tentang pembagian keuntungan, umpamanya
orang yang bekerja mengatakan untuk dia seperdua, sedangkan yang punya modal
sepertiga, kedua-duanya hendaklah besumpah, dan orang yang bekerja itu di beri
keuntungan menurut kebiasaan yang berlaku di tempat dan waktu itu.
Akad qirad
adalah akad saling percaya. Maka apabila ada barang yang hilang, yang bekerja
tidak wajib mengganti, kecuali jika karena kelalaiannya. Kerugian hendaklah
ditutupi (diganti) dengan keuntungan. Kalau masih juga rugi, kerugian itu
hendaklah dipikul oleh yang punyamodal sendiri, berarti yang bekerja tidak
dituntut mengganti kerugian.
B. Hiwalah
1.
Pengertian Hiwalah
Kata hawalah
dengan dibaca fathah huruf ha’ dan dibaca kasrah, menurut bahasa arinya
mengalihkan. Sedangkan menurut syara’ ialah memindahkan hak dari tanggungannya
orang yang mengalihkan kepada oarang yang dilimpahi tanggungan.
Kata Hiwalah
menurut bahasa berarti pindah/beralih. Menurut istilah, artinya adalah
pengalihan utang-piutang dari tanggungan seseorang menjadi tanggungan orang
lain.
Sebenarnya
Hiwalah itu merupakan penukaran suatu piutang dengan piutang yang lain,
menurut kaul yang ashah. Namun, tidak di kategorikan dalam masalah jual beli
karena kebutuhan masyarakat sangat mendesak.
Dasar di
pebolehkannya Hiwalah adalah ijmak ulama dan hadist nabi Muhammad SAW yang di
riwayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
ﻣَﻄْﻞُاﻟْﻐَﻨِﻲَّﻇُﻟْﻢٌ٬وَاِذَاأُﺗْﺒِﻊَأَﺣَﺪُﻛُﻢْﻋَﻠﻰَﻣَﻠِﻲْءٍﻓَﻠْﻴَﺘْﺒَﻊْ(رواﻩاﻟﺸﻴﺨﺎن)
Artinya: “Penundaan pembayaran oleh orang kaya
adalah suatu kedzaliman (penganiayaan), apabila utang seseorang terhadap orang
kaya di alihkan menjadi tanggunganmu, maka turutlah!” (H.R. bukhori dan
Muslim)
Dalam riwayat lain, hadist tersebut
berbunyi sebagai berikut:
ﻮَإِذَأُﺣِﻴْﻞَأَﺣَﺪُﻛُﻢْﻋَﻠﻰَﻣَﻠِﻲءٍﻓَﻟْﻴَﺤْﺘَﻞْ(رواﻩأﺣﻤﺪواﻟﺒﻴﻬﻘﻲ)
Artinya: “... apabila utang seseorang terhadap
orang kaya dialihkan menjadi tanggunganmu, maka terimalah pengalihan utang
itu.” (H.R. Ahmad dan Baihaqi).
Menurut bahasa, Hiwalah artinya
“mengalihkan”. Sedangkan menurut syara’ ialah memindahkan hak dari
tanggungannya orang yang mengalihkan kepada orang yang di limpahi tanggungan.
Hiwalah ialah memindahkan utang dari
tanggungan seseorang kepada tanggungan orang lain. Hiwalah ini merupakan system
yang unik yang sesuai untuk di adaptasikan kepda manusia. Hal ini karena
hiwalah sangat erat hubungan nya dengan kehidupan manusia. Hiwalah sering
berlaku dalam permasalahan hutang piutang. Maka salah satu cara untuk
menyelesaikan masalah hutang piutang dalam muamalah adalah hiwalah.
Hiwalah
dapat menjadi sah dengan adanya shighat; Yaitu ijab dari Muhil (pemindah
tanggungan utang), misalnya: “Utangku kepadamu kupindahkan tanggungannya kepada
si fulan,” “Hak mu pada ku ku pidahkan kepada si fulan. Atau “Hartaku pada si
fulan ku jadikan untuk mu”, dan qabul (pihak yang piutangnya dipindahkan),
dimana ada ijab qabul tidak dita’liq: misalnya qabul yang sah “pindahkanlah
hakku”.
2.
Hukum Hiwalah
a.
Hukum hiwalah yaitu sebagai berikut:
1)
Apabila akad hiwalah telah telah sempurna dengan adanya qobul, maka menurut
mayoritas ulama’ secara otomatis terbebas dari tanggungan utang yang ada dan
bentuk-bentuk jaminan tidak ikut berpindah, akan tetapi statusnya ikut berakhir
dan selesai.
2)
Tertetapkannya kewenangan penagihan bagi pihak al-muhalkepada pihak al-muhal
alaihi terhadap utang yang berada di dalam tanggungannya. Karena hiwalah
menghendaki adanya pemindahan ke dalam tanggung jawab pihak al-muhal alaihi
yaitu pemindahan utang dan penagihan sekaligus berdasarkan pendapat yang di
nilai lebih kuat.
b.
Rukun Hiwalah:
1)
Muhil (orang yang berhutang dan berpiutang).
2)
Muhtal (orang yang berpiutang).
3)
Muhal alaih (orang yang berutang).
4)
Utang muhil kapada muhtal.
5)
Utang muhal alaih kepada muhil.
6)
Sigat (lafaz akad).
3.
Syarat Hiwalah
Syarat sah hiwalah, namun sebenarnya hanya ada dua syarat. Karena syarat
pertama dan kedua yaitu kerelaan orang yang mengalihkan utang dan
kerelaan orang yang menerima pengalihan utang bisa di gabungkan menjadi satu
syarat.
1)
Harus ada kerelaan dari orang yang mengalihkan utang tersebut menjadi
tanggungan orang yang mengalihkan (sebelum di alihkan). Dan seandainya tidak
dialihkan maka orang tersebut bertanggung jawab untuk melunasi uang itu menurut
kemauannya. Di syaratkan pula harus ada kerelaan dari pihak penerima
pengalihan, kerena tanggungan untuk melunasi utang tersebut setelah di alihkan
akan dipikul oleh pihak pengalihan. Jadi, diperlukan adanya saling merelakan
sebagaimana dalam masalah tukar menukar barang juga di syaratkan kerelaan dari
kedua belah pihak.
2)
Sebagaiman yang di sebutkan adalah utang yang di alihkan itu telah pasti.
Kepastian adanya utang itu, seperti di sebutkan Imam Rafi’i adalah ketika
pembeli mengalihkan harga barang kepada penjual (maksudnya, pembeli mengalihkan
cara utang).
3)
Imam Rafi’i mengatakan, bahwa sahnya hiwalah itu tidak cukup hanya
dengan kepastian adanya piutang tersebut ada. Hal tersebut seperti yang berlaku
pada akad salam, menurut kaul yang ashah, piutang pada akad salam itu telah
pasti, namun apabila akad salam itu di alihkan ke hiwalah (hiwalah
dengan utang salam) maka hukumnya tidak sah. Tetapi dalam bab hiwalah
ini Imam Rafi’i mengatakan tentang syarat kedua: Pengalihan utang itu sah
apabila pihak pengalih dan pihak penerima utang sama-sama mengakui kepastian
adanya utang yang di alihkan itu.
4.
Cara Pelaksanaan Hiwalah
a.
Umpamanya A (muhil) berhutang kepada B (muhtal) dan ia (A) berpiutang kepada C
(muhal alaih). Jadi, A adalah orang yang berutang dan berpiutang, B hanya
berpiutang, dan C hanya berutang. Kemudian A dengan persetujuan B menyuruh C
membayar utangnya kepada B, tidak kepada (A); setelah terjadi akad hiwalah,
terlepaslah A dari utangnya kepada B dan C tidak berutng lagi kepada A, tetapi
utangnya kepada A telah berpindah kepada B; berarti C harus membayar utangnya
itu kepada B, tidak lagi kepada A.
Memindahkan utang dengan cara ini tidak ada
halangannya, dengan syarat “keadaan C mampu membayar utangnya, dan dengan ridha
kedua-nya (A dan B)”.
b. Adapun macam-macam
hiwalah ialah:
Madzhab Hanafiyah membagi Hiwalah kepada 2
macam, yaitu:
1)
Al-hiwalah al-Muqayyadah (Pemindahan Bersyarat)
Yaitu
pemindahan sebagai ganti dari pembayaran utang dari pihak pertama kepada pihak
kedua. Contoh: Samkhun berpiutang kepada Isman sebesar satu juta rupiah,
sedangkan Isman juga berpiutang pada Fahmi satu juta rupiah. Isman kemudian
memindahkan haknya untuk menagih piutangnya yang terdapat pada Fahmi kepada
Samkhun.
2)
Al-hiwalah al-Muthlaqah (Pemindahan Mutlak)
Yaitu
pemindahan yang tidak di tegaskan sebagai ganti pembayaran utang pihak pertama
kepada pihak kedua. Contoh; Isman berhutang kepada samkhun sebesar satu juta
rupiah. Karena Fahmi juga berhutang kepada Isman sebesar satu juta rupiah.
Isman mengalihkan utangnya kepada Fahmi sehingga Fahmi berkewajiban membayar
utang Isman kepada Samkhun, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan utang itu
sebagai ganti utang Fahmi kepada Isman.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Qiradh ialah memberikan modal dari seseorang kepada orang lain untuk modal
usaha,sedangkan keuntungan untuk keduanya menurut perdamaian (perjanjian)
antara keduanya sewaktu akad, di bagi dua atau di bagi tiga umpamanya.
a. Rosulullah
saw ketika beliau berakad qiradh dengan siti khadijah (sebelum nikah) untuk
memperdagangkan hartanya ke negara syam dan lain-lain. Para sahabat juga telah
sepakat menetapkan sah nya perdagangan seperti itu. Rukun qirad ialah harta,
pekerjaan, keuntungan, yang punya modal dan yang bekerja.
b.
Syarat qirad ialah:
1)
Qirad itu sendiri harus berupa uangyang murni.
2)
Pemilik modal memberikan izin kepada pihak yang memperdagangkan untuk
mentasarrufkan secara mutlak.
c. Cara pelaksanaan
qirad ialah Pekerja hendaklah bekerja ikhlas, tidak boleh mengutamakan barang,
tidak boleh membawa barang ke luar negeri, kecuali dengan izin yang punya
modal, dan tidak boleh membelanjakan uang qiradh untuk dirinya sendiri;
bersedekah dari barang qiradh pun tidak boleh. Belanja untuk keperluannya
sendiri hendaklah di ambil dari kantongnya sendiri.
2.
Hiwalah ialah memindahkan utang dari tanggungan seseorang yang lain. Banyak
perjanjian hutang yang dapat di pindah tangankan.
a. Hukum hiwalah: Apabila akad hiwalah telah
telah sempurna dengan adanya qobul, maka menurut mayoritas ulama’ secara
otomatis terbebas dari tanggungan utang yang ada. Rukun hiwalah: Muhil (orang
yang berhutang dan berpiutang), Muhtal (orang yang berpiutangSyarat hiwalah
ialah kerelaan muhil, adanya qabul oleh muhtal, hak yang dipindahkan itu tetap
berada dalam tanggungan, adanya penyesuaian tanggungan hutang si muhil.
b. Cara pelaksanaan hiwalah ialah Umpamanya A
(muhil) berhutang kepada B (muhtal) dan ia (A) berpiutang kepada C (muhal
alaih). Jadi, A adalah orang yang berutang dan berpiutang, B hanya berpiutang,
dan C hanya berutang. Kemudian A dengan persetujuan B menyuruh C membayar
utangnya kepada B, tidak kepada (A); setelah terjadi akad hiwalah, terlepaslah
A dari utangnya kepada B dan C tidak berutng lagi kepada A, tetapi utangnya
kepada A telah berpindah kepada B; berarti C harus membayar utangnya itu kepada
B, tidak lagi kepada A.
B.
Saran
Penulisan
makalah ini di tujukan sekedar bisa menjadi gambaran sekilas, tambahan dan
wawasan tentang dunia ilmu agama islam. Penulis menyarankan agar bisa menjadi
tuntutan kita dalam melaksanakan sesuai syari’at islam yang telah di tetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Rasyid,Sulaiman.2012.Fiqih Islam.Bandung:Sinar Baru Algensindo..
Syafe’i,Rachmat.1997.Fiqih Muamalah.Bandung:Gunung Djati Press.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasby. (1997). Hukum-Hukum
Fiqh Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Komentar
Posting Komentar