KONSELING LINTAS BUDAYA ANALISIS BUDAYA PONOROGO
A. Latar belakang
Seiring dengan kemajuan jaman, tradisi dan kebudayaan daerah yang pada
awalnya dipegang teguh, di pelihara dan dijaga keberadaannya oleh setiap suku, kini
sudah hampir punah. Pada umumnya masyarakat merasa gengsi dan malu apabila
masih mempertahankan dan menggunakan budaya lokal atau budaya daerah.
Kebanyakan masyarakat memilih untuk menampilkan dan menggunakan kesenian dan
budaya modern daripada budaya yang berasal dari daerahnya sendiri yang
sesungguhnya justru budaya daerah atau budaya lokallah yang sangat sesuai
dengan kepribadian bangsanya.
Mereka lebih memilih dan berpindah ke budaya asing yang belum tetntu sesuai
dengan keperibadian bangsa bahkan masyarakat lebih merasa bangga terhadap
budaya asing daripada budaya yang berasal dari daerahnya sendiri.
B. Tujuan
Setiap kegiatan yang dilakuakan mempunyai tujuan yang baik yang ingin di
capai,dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung,begitu pula dengan
analisis budaya ponorogo melibatkan guru dan siswa maka tujuan yang ingin
dicapai satu sama lain yaitu:
1.Untuk memenuhi
tugas perkuliahan ?
2.Untuk mengetahui
apa saja budaya yang ada ponorogo ?
3.Untuk menegetahui keadaan
sosial, ekonomoni, pendidikan, dll ?
4.Untuk mengetahui hal terkait dengan daerah ponorogo ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kabupaten ponorogo
Berdirinya Kabupaten Ponorogo tidak bisa dilepaskan dari sejarah
kerajaan Majapahit dan kesultanan Demak Bintoro. Kabupaten Ponorogo yang
dikenal dengan Kota Reog/Bumi Reog adalah sebuah kabupaten yang terletak di
bagian barat dari provinsi Jawa Timur. Eksisitensinya saat ini terlahir dari
sejarahnya yang panjang sejak kurang lebih lima abad yang lalu. Hari jadi
Kabupaten Ponorogo diperingati setiap tanggal 11 Agustus, karena pada hari
Minggu Pon bulan Besar bertepatan tanggal 11 Agustus 1486 M hari dinobatkannya
Bathara Katong sebagai adipati pertama Kadipaten Ponorogo[1] Patihnya
bernama Raden Seloaji, dan Penghulu Agamanya Ki Ageng Mirah[2]
Pada tahun 1837 M, Kadipaten Ponorogo berubah menjadi Kabupaten Ponorogo
dan pusat pemerintahannya dipindahkan dari Kota Lama ke Kota Tengah. Sejarah
Kabupaten Ponorogo terkait erat dengan sejarah kerajaan Majapahit di masa
meredupnya kekeuasaan raja Majapahit Prabu Brawijaya V. dan penyebaran Islam
oleh para wali di tanah Jawa. Menurut Babad Ponorogo berdirinya Kabupaten
Ponorogo dimulai sejak Raden Katong atau Bathara Katong sampai di wilayah
kerajaan Wengker di daerah yang sekarang bernama Ponorogo.
Pada saat itu Wengker dikuasai oleh Pujangga Anom Ketut Suryangalam
dari kerajaan Majapahit yang berasal dari Bali yang kemudian dikenal dengan
sebutan Ki Ageng Kutu. Bathara Katong
yang nama kicilnya Lembu Kanigoro tak lain adalah salah satu putera ke 22 raja
Majapahit Prabu Kerthobumi Brawijaya V dari isteri kelima Putri Bagelen (dekat
Banyumas Jawa Tengah). Bathara Katong yang juga disebut Raden Lembu Kanigoro
dan juga dikenal dengan nama Jaka Piturun masih saudara sepupu dengan Raden
Patah, putera ke 13 dari isteri ketiga bernama Putri Cempa yang beragama Islam
dan berasal dari Cina. Raden Patah pernah menjadi Adipati Palembang, kemudian
Adipati Kesultanan Demak Bintoro dengan gelar Sri Sultan Syah Alam Akbar
Sirolah Khalifatullah Amirul Mukminin. [3]
Mulai redupnya kekuasaan Majapahit saat putera tertua Prabu
Brawijaya V, yang bernama Lembu Kenongo yang kemudian berganti nama Raden Patah
mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro atau Bathara Katong mengikuti
jejak kakaknaya, berguru kepada Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya yang pada
masa hidupnya dibujuk untuk diislamkan oleh Wali Songo dengan ditawari seorang
Putri Cempa itu untuk dijadikan isterinya. Walaupun Prabu Brawijaya akhirnya
gagal untuk diislamkan tetapi perkawinannya dengan Putri Cempa yang muslimah
itu mengakibatkan konflik politik di kerajaan Majapahit.
Diperisterinya Putri Cempa yamg muslimah itu oleh Prabu Brawijaya memunculkan
protes keras di kalangan elite istana yang lain, sebagaimana yang dilakukan
oleh seorang punggawanya yang bernama Pujangga Anom Ketut Suryangalam, seorang
pengikut Hindu yang berasal dari Bali. Tokoh yang terakhir inilah yang kemudian keluar dari Majapahit
dan membangun peradaban baru Kerajaan Wengker yang terletak dari sebelah
tenggara gunung Lawu sampai lereng barat gunung Wilis (Ponorogo pada saat ini).
Ki Ageng Suryangalam kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu.
Upaya Ki Ageng Suryangalam memperkuat basis kekuasaan di Ponorogo, pada
masa selanjutnya dianggap sebgai ancaman bagi kerajaan Majapahit Hindu dan
sekaligus bagi kesultanan Demak Bintoro yang notabene sebagai penerus Majapahit,
walaupun sudah dengan warna Islam.
Sunan Kalijaga di Demak bersama muridnya Kiyai Muslim atau Ki Ageng
Mirah mencoba mengamati keadaan di Ponorogo dan mencermati kekuasaan yang paling
berpengaruh di Ponorogo dan akhirnya menemukan bahwa Ki Ageng Kutu atau Ki
Ageng Suryangalam (Wengker Hindu) sebagai penguasa yang paling berpengaruh. Untuk
ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak Raden Patah mengirimkan
putera terbaikknya Lembu Kenongo atau Bathara Katong dengan seorang santrinya
bernama Seloaji, Ki Ageng Mirah, bersama 40 orang santri senior yang lain untuk
memasuki Ponorogo[4]
Pada abad XIV,[5] ketika
agama Islam masuk ke daerah Wengker terjadi perselisihan antara sisa kekuatan
lama yang masih beragama Budha pimpinan Ki Ageng Kutu yang berpusat di
Surukubeng dengan para pendatang pembawa misi keIslaman di bawah pimpinan
Bathara Katong.
Bathara Katong akhirnya smenetap di wilayah Wengker Ponorogo, kemudian
memilih tempat yang memenuhi syarat pemukiman yaitu desa yang sekarang dikenal
dengan dusun Glagah Wangi (Plampitan) kelurahan Setono kecamatan Jenangan
Ponorogo. Saat itu masyarakat Ponorogo penganut Hindhu Budha, animisme dan
dinamisme.Pertarungan dan perebutan pengaruh dan kekuasaan pun terjadi antara
Bathara Katong (Islam) dengan Ki Ageng Kutu Suryangalam (Hindu).
Kemenangan Bathara Katong atas Ki Ageng Ketut Suryangalam dicapai dengan
otak cerdasnya. Yaitu dengan cara mendekati puteri Ki Ageng Suryangalam yang
bernama Niken Gandini, dengan menikahinya dan memanfaatkannya untuk mencari
kelemahan babaknya sehingga Bathara Katong itu akhirnya menang atas kerajaan
Wengker dan Ki Ageng Kutu atau Ki Ageng Suryangalam pun akhirnya menghilang. Setelah
menghilangnya Ki Ageng Kutu dan tumbangnya kekuasaan Wengker, Bathara Katong menguasai bekas
kerajaan Wengker, ia mendirikan kadipaten baru dengan nama PONOROGO dan menjadi
penguasa pertama kadipaten Ponorogo dan terus membangun peradaban dan
menyiarkan Islam di Ponorogo. Kata Ponorogo berasal dari kata pono yang artinya
wasis, pintar, mumpuni atau mengerti benar; dan rogo yang artinya raga, badan
atau jasmani[6]
Ada pula yang menyebutkan bahwa PONOROGO berasal dari pramana yang berarti
rahasia hidup; dan raga yang artinya badan atau jasmani. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa misi Bathara Katong adalah
motif politik dan motif agama.
Motif politiknya ialah bahwa kedatatangannya di Wengker Ponorogo
untuk mengingatkan Demang Suryangalam atau Ki Ageng Kutu yang menunjukkan
pembangkangannya terhadap pemerintahan kerajaan Majapahit. Sedangkan motif
agamanya adalah penyebaran agama Islam di Wengker karena mendapat mandat dari
Raden Patah sultan Demak. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya santri dari
Kerajaan Islam Demak dikirim ke Ponorogo. Adapun kerajaan Majapahit, diketahui
bersamaan dengan berdirinya Ponorogo, runtuh oleh Prabu Girindrawadhana dan
kemudian pemerintahan dipusatkan di Keling/Kediri yang disebut Wilwatikta Dhoho
Jenggala[7]
B. Letak geografis
Kabupaten Ponorogo adalah salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Timur
Indonesia, secara geografis terletak antara 111° 17´ - 111º 52´ Bujur Timur dan
7° 49´- 8º 20´ Lintang Selatan, dengan ketinggian antara 92 sampai dengan 2.563
meter di atas permukaan laut, yang berbatasan dengan sebelah utara Kabupaten
Madiun, Magetan dan Nganjuk, sebelah timur Kabupaten Tulungagung dan
Trenggalek, sebelah selatan Kabupaten Pacitan, serta sebelah barat Kabupaten
Pacitan dan Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah). Jarak ibukota Kabupaten Ponorogo
dengan ibukota propinsi Jawa Timur 200 km ke arah timur laut dan jarak dari
ibukota negara 800 km ke arah barat. Dilihat dari keadaan geografisnya,
Kabupaten Ponorogo dibagi menjadi 2 sub area, yaitu area dataran tinggi yang
meliputi kecamatan Ngrayun, Sooko, Pudak, Pulung serta kecamatan Ngebel.
Sedangkan sisanya merupakan daerah dataran rendah.[8]
C. Bahasa
Penduduk Ponorogo sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur
sehari-hari, namun bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa resmi. Bahasa Jawa
memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara
pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek bahasa ini
memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya
sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.
Bahasa Jawa yang digunakan di Ponorogo memiliki tiga tingkatan bahasa yaitu
ngoko, kromo alus, dan kromo inggil. Ngoko digunakan saat berkomunikasi dengan
orang yang sebaya, kromo alus untuk orang yang lebih tua seperti kakak,
sedangkan kromo inggil untuk orang yang dihormati seperti orang tua, pejabat,
dll
D. Kepercayaan
Sebagian besar penduduk Ponorogo menganut agama Islam. Tetapi ada juga yang
menganut agama Protestan, Katolik, Buddha dan Hindu. Ada pula agama kepercayaan
penduduk Ponorogo yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama
berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat.
Terjadi pula sinkretisme kepercayaan di masyarakat Ponorogo. Semua budaya luar
diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang
kadangkala menjadi kabur.
Agama yang dianut oleh penduduk kabupaten Ponorogo beragam. Menurut data
dari Badan Pusat Statistik dalam Sensus Penduduk tahun 2010, penganut Islam
berjumlah 839.127 jiwa (98,11%), Kristen berjumlah 2.864 jiwa (0,33%), Katolik
berjumlah 2.268 jiwa (0,27%), Buddha berjumlah 261 jiwa (0,03%), Hindu
berjumlah 82 jiwa (0,01%), Kong Hu Cu berjumlah 14 jiwa (0,002%), agama lainnya
berjumlah 25 jiwa (0,003%), tidak terjawab dan tidak ditanyakan berjumlah
10.640 jiwa (1,24%).
Jumlah keseluruhan tempat peribadatan di Ponorogo pada tahun 2010 adalah
sejumlah 4233 buah. Masjid berjumlah 1448 buah, Mushola berjumlah 2754 buah,
Gereja Protestan berjumlah 21 buah, Gereja Katolik berjumlah 8 buah, dan Wihara
berjumlah 2 buah[9]
E. Pendidikan
Di Kabupaten Ponorogo terdapat sekolah baik dari tingkat SD hingga
perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Terdapat pula pondok pesantren
modern Gontor, yang merupakan salah satu institusi pendidikan Islam terkemuka
di Indonesia. Selain itu terdapat juga Pondok Modern lain yang santrinya
berasal dari berbagai pelosok Indonesia seperti Pondok Pesantren Wali Songo
Ngabar, Pondok Pesantren Al-Islam Joresan, Pondok Modern Arrisalah, Pondok
Pesantren Darul Huda, Pondok Pesantren al-Iman sumoroto, Pondok Pesantren
Darun-Najaa dan Pesantren Putri Al-Mawaddah. Selain pondok pesantren terdapat
juga Universitas Muhammadiyah, Universitas Merdeka, STAIN, INSURI, ISID
(Institut Studi Islam Darussalam), dan AKPER PEMKAB Ponorogo.
F. Transportasi
Ibu kota kabupaten Ponorogo terletak 27 km sebelah selatan Kota Madiun, dan
berada di jalur Madiun-Pacitan. Tranportasi umum yang sekarang banyak digunakan
adalah kendaraan bermotor, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Ada
sebagian kecil menggunakan sepeda angin (sepeda onthel). Dahulu ada jalur
kereta api Madiun-Ponorogo-Slahung tetapi sudah tidak berfungsi sejak tahun
1988. Masih ada kereta yang ditarik kuda (dokar) yang digunakan sebagai alat
transportasi utama.
Dokar ini biasa digunakan di daerah pinggiran, terutama untuk mengangkut
pedagang yang hendak menuju pasar-pasar tradisional. Selain itu ada juga dokar
yang khusus difungsikan sebagai kereta wisata, yang biasa digunakan untuk
mengelilingi kota Ponorogo. Terdapat juga alat transportasi bus, dan angkodes
(angkutan pedesaan) yang merupakan salah satu transportasi umum yang ada di
Kabupaten Ponorogo.
G. Kesenian
Kabupaten Ponorogo selama ini terkenal seni budayanya. Ada bermacam
macam kesenian yang berkembang di kabupaten Ponorogo. Ada seni tradisional seperti
wayang kulit, wayang orang, ludruk, ketoprak, seni gajah-gajahan, karawitan
dsb. Seni budaya modern seperti musik pop dan dangdut, hadroh kontemoprer.
Di antara seni budaya tersebut yang paling populer dan spektakuler adalah
seni reog ponorogo. Seni reog Ponorogo jika dilihat dari asal usul sejarahnya
terdapat beberapa versi. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya percampuran
antara fakta sejarah yang sebenarnya, yang biasanya mengangkat tema-tema
politik kekuasaan, berbaur dengan cerita rakyat yang bernuansa fiktif yang
dijadikan media komunikasi dalam kisah sejarah. Salah satu versi sejerah reog
Ponorogo, bahwa reog Ponorogo diangkat dari sejarah kerajaan Bantarangin yang
berlokasi di daerah Ponorogo sekitar abad 11 M.
Cerita bermula dari raja Bantarangin yang bernama Prabu Kelono
Sewandono yang melamar putri raja Kediri Prabu Kertojoyo yang bernama Putri Songgolangit.
Singkat ceritera dalam lamarannya itu putri Songgolangit meminta tiga syarat,
yang harus dipenuhi Kelono Sewandono: menghadirkan gamelan yang baru samasekali
belum pernah ada di muka bumi; bermacam-macam hewan untuk menghiasi kebun
binatang; dan manusia berkepala harimau.
Dalam proses lamaran itu terjadi pertikaian antara Kelono Sewandono
dengan patih Kediri Singolodro yang juga ingin menikahi Putri Songgolangit.
Dari kisah peperangan itu unsur-unsur atau tokoh-tokoh pemeran seni reog
diangkat, Barong sae yang berupa kepala harimau dengan dhadhak merak di atasnya
itu personifikasi patih kediri yang menjilma harimau, gamelan dan pengiringnya,
penari topeng ganongan personifikasi dari raja Wengker baru Bantarangin Kelono
Sewandono dan patihnya Kelono Wijaya. Dsb..[10]
Versi lain menyebutkan bahwa sejarah reog Ponorogo erat kaitannya
dengan keberadaan kerajaan Majapahit Hindu menjelang runtuhnya dan awal
penyebaran Islam kerajaan Demak Bintoro, yang menggunakan seni dan tradisi
sebagai sarana komunikasi dan adanya persepsi bahwa ada tokoh dalam kisah itu
yang berupaya membelokkan keadaan sebenarnya dalam rangka mempertahankan
nilai-nilai yang terkandung dalam media senibudaya. yang dimaksud. Pada masa
pememrintahan Majapahit di bawah Prabu Kertabumi atau Brawijaya V, ada seorang
sastrawan asal Bali bergelar Pujangga Anom Ketut Surya Bhawana atau
Suryongalam..yang kemudian terkenal dengan nama Ki Ageng Kutu diberi kekeuasaan
di sebuah padepokan bernama Wengker.
Ki Ageng Kutu ini memutuskan
untuk menetap di tanah perdikan Wengker karena kecewa dengan sang raja yang
tidak lagi menjaga wibawanya di depan rakyatnya, karena terlalu mengikuti
kehendak isterinya dalam mengatur pemerintahan. Maka dibuatlah pagelaran seni
sebagai tontonan. Tontonan itu ia jadikan media untuk mengkritik atau menyindir
sang raja. Tontonan itu berupa seni budaya berupa tarian kepala macan dengan
seekor burung merak di atas kepalanya, menggambarkan seorang raja Brawijaya V
yang lemah dikuasai oleh isterinya.
Ki Ageng Kutu atau Pujangga Anom Suryangalam dipersionifikasikan
sebagai bujang ganong, menganalogikan sang isteri raja yang lebih dominan Versi
sejarah reog seperti itu. Meskipun terkait dengan penyebaran Islam, faktanya di
masyarakat seni budaya reog tidak selalu identik dengan ajaran Islam, bahkan
ada kecenderungan berseberangan dengan Islam. Kelompok orang-orang dalam
paguyuban reog dan pendukung reog yang cenderung abangan[11]
berseberangan dengan kaum santri. Faktanya sering terjadi dalam
penampilan pagelaran reog itu unsur-unsur yang melanggar nilai-nilai Islam
seperti adanya praktik minuman keras, pergaulan bebas antara laki perempuan
dsb. Untuk melestarikan seni budaya reog
Ponorogo sebagai aset budaya bangsa Indonesia, telah dilakukan upaya-upaya
pelestariannya sejak tahun 1984 oleh bupati-bupati Ponorogo bersama departemen
atau kementerian Pariwisata, Seni Budaya, Pemuda dan Olah raga, dan Yayasan
Reyog Ponorogo. Yayasan Reyog Ponorogo yang didirikan pada tahun 1999 ini
mempunyai tugas di antaranya memelihara, melestarikan dan memejukan kesenian
reog Ponorogo; menjadikan reog Ponorogo sebagai daya tarik wisata yang
berdampak pada pendapatan masyarakat, menggunakan dan mengembangkan padepokan
reog[12]
H. Benda Sakral
Orang yang belum pernah mendengar nama Klampis
Ireng Ponorogo ini tentu biasa saja, namun bagi masyarakat Ponorogo
tempat ini sudah cukup membuat mereka merinding ketakutan. Ya, apalagi kalau
bukan legenda mistisnya yang sudah terkenal turun temurun itu. Klampis
Ireng Ponorogo adalah sebuah bangunan lingkaran datar yang tengahnya
terdapat sebuah lubang. Letaknya berada di Desa Sragi. Tidak diketahui apa
maksud bangunan ini, namun menurut juru kunci yang menjaganya,Klampis Ireng
Ponorogo adalah tempat yang dibangun oleh sosok Semar, dan merupakan salah
satu tokoh Punakawan dalam tokoh pewayangan Jawa. Tempat ini pernah diterawang
oleh beberapa orang yang sanggup melihat dimensi lain dan hasilnya sangat
mengejutkan.
Siapa yang
menyangka jika Klampis Ireng Ponorogo ini berbentuk kerajaan megah
yang berlimpahkan emas dan Semar sendiri yang menjadi rajanya.
Karena namanya yang sudah kondang ini, Klampis Ireng Ponorogo sering
dipakai sebagai tempat ritual dan bersemedi. Tempat ini dulu sangat susah
ditemukan, namun sekarang sudah cukup banyak yang tahu. Jika anda penasaran
dengan aura mistisnya yang melegenda itu, silahkan mampir ke sini untuk
mengasah kepekaan mata batin maupun ilmu terawangan yang anda miliki.[13]
I. Objek Wisata
Obyek wisata lain yang dapat dikembangkan sejajar dengan obyek wisata
didaerah lain yaitu Telaga Ngebel. Panorama yang dapat dilihat di Telaga Ngebel
sangat menakjubkan. Danau yang masih alami dan belum banyak terjamah fasilitas
umum ini, dikelilingi oleh Gunung Wilis. Merupakan objek wisata potensial, yang
mampu mendatangkan turis domestik maupun mancanegara apabila dikembangkan dan
dikelola dengan baik.
Warga Ponorogo yang kini tersebar diseluruh dunia mempunyai sebutan PAWARGO
(Paguyuban Warga Ponorogo). Paguyuban ini terbentuk karena persamaan daerah
asal di tanah perantauan. Hingga kini sudah ada sekitar 200 Paguyuban Warga
Ponorogo diberbagai daerah.
J. Makanan Khas
Makanan yang menjadi khas Ponorogo adalah sate dengan bumbu kacangnya. Di
Ponorogo, ada dua kampung sate yang tersohor. Kampung pertama, dikenal dengan Gang Sate,
tempat si legendaris Sate Ayam Tukri Sobikun. Tepatnya di Jl Lawu Gang I No
43,Kelurahan Nologaten, Kecamatan/Kabupaten Ponorogo. Kampung sate kedua yang
juga diberi nama Gang Sate di Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan, Kabupaten
Ponorogo.[14]
K. Sistim kekerabatan
Sistim kekerabatan di dalam masyarakat Jawa Timur, sama seperti masyarakat
Jawa pada umumnya yaitu bilateral, dimana lingkungan pergaulan individu dalam
masyarakat meliputi kerabat dari fihak ayah maupun kerabat dari fihak ibu
mereka. Jadi dalam sistim kekerabatan ini hubungan anak dengan sanak kandung
fihak ayah sederajat dengan hubungan anak terhadap sanak kandumg fihak ibu.
Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga batih yang dalam istilah
antropologi disebut dengan istilah nuclear family yang agggotanya terdiri ayah (suami)
, ibu (istri) dan anak-anaknya yang belum kawin. Ayah berkedudukan sebagai
kepala keluarga, tetapi ada kalanya seorang ibupun dapat menjadi kepala
keluarga. Hal ini akan terjadi apabila suami meninggal dunia Disamping keluarga
batih, di Jawa Timur juga dapat kita jumpai bentuk kelompok kekerabatan yang
disebut sanak sedulur.
Bentuk kelompok kekerabatan ini dalam ilmu antropologi disebut kindred.
Kindred ini merupakan suatu kesatuan kaum kerabat yang anggotanya terdiri dari
saudara sekandung, saudara sepupu dari fihak ayah maupun ibu, paman-paman dan
bibi-bibi baik dari fihak ayah maupun ibu, kakak ayah maupun kakak ibu, serta
saudara-saudara dari fihak suami maupun istri.
Tetapi dalam kenyataannya biasanya mereka yang bertempat tinggal berdekatan
saja yang mampak nyata sebagai anggota kindred. Anggota kindred akan berkumpul
bila salah seorang anggotanya mengadakan upacara didalam lingkaran hidup
individu, misalnya pada saat kelahiran, khitanan, perkawinan, kematian dan lain
sebagainya.
Istilah kekerabatan yang dipakai oleh masyarakat Jawa Timur sama dengan
istilah kekerabatan yang dipakai. oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Masyarakat
Jawa Timur mengenal kiasifikasi kekerabatan berdasarkan generasi(keturunan),
seperti orang Jawa pada umumnya. Menurut
Ukun Suryaman orang Jawa mengenal 10 generasi keatas dan 10 genera si kebawah
(Ukun Suryaman, th.1969).
Generasi keatas:
1.
Wong tuwa-tiyang
sepuh(orang tua – bapak/ibu);
2.
Embah(kakek-nenek);
3.
Buyut;
4.
Canggah;
5.
Wareng;
6.
Udheg – udheg;
7.
Gantung-siwur;
8.
Gropak-senthe;
9.
Debog bosok;
10. Galih asem.
Generasi kebawah:
1.
Anak / putra;
2.
Putu / wayah;
3.
Buyut;
4.
Canggah.
5.
Wareng.
6.
idheg -udheg,
7.
Gantung -siwur.
8.
Gropak -senthe,
9.
Debog bosok.
10. Galih asem,
Disamping istilah-istilah kekerabatan yang berdasarkan-generasi tersebut, masyarakat
Jawa Timur juga mengenal istilah kekerabatan untuk menyebut seseorang di dalam
kelompok kerabatannya, adalah sebagai berikut :
1.
Istilah simbah
kakung/mbah lanang diberikan ego untuk menyebut orang tua laki-laki ayah atau
ibu.
2.
Istilah simbah
putri/mbah wedok diberikan ego untuk menyebut orang tua perempuan ayah atau
ibu.
3.
Istilah Ibu/simbok
diberikan ego untuk menyebut orang tua perempuan ego.
4.
Istilah bapak/pak
diberikan ego untuk menyebut orang tua laki-laki ego.
5.
Istilah adi/adik /
thole/le diberikan ego untuk memanggil kepada saudara laki-laki muda ego.
6.
Istilah
genduk/ndhuk/adi diberikan ego untuk memanggil saudara perempuan muda ego.
7.
Istilah
kakang/kang/mas diberikan ego untuk memanggil saudara laki-laki yang lebih tua.
dari pada ego.
8.
Istilah mbakyu/yu
diberikan ego untuk memanggil saudara perempuan yang lebih tua dari pada ego.
9.
Istilah
pakdhe/siwa/pak puh untuk menyebut kakak laki- laki ayah atau ibu ego.
10. Istilah mbokdhe/budhe/siwa/bupuh
untuk menyebut kakak perempuan ayah atau ibu ego.
11. Istilah pak cilik/paklik/paman
untuk menyebut adik laki-laki ayah atau ibu ego.
12. Istilah mbok cilik/mbok lik/bibek
untuk menyebut adik perempuan ayah atau ibu ego.
Disamping istilah-istilah kekerabatan tersebut diatas, masyarakat Jawa
Timur juga mengenal istilah kekerabatan yang berdasar batas keanggotaan dari
kelompok kerabatnya, adalah sebagai berikut:
1.
Istilah keponakan
diberikan kepada anak saudara laki-laki atau saudara perempuan ego.
2.
Istilah nak sanak/nak
ndulur untuk menyebut saudara sepupu ego.
3.
Istilah misanan
diberikan kepada cucu-cucu saudara sekandung ayah atau ibu ego, ((generasi yang
sama-sama satu buyut dengan ego).
Kemudian didalam masyarakat Jawa Timur juga dikenal istilah kekerabatan
yang berdasar ikatan perkawinan istilah kekerabatan ini adalah sebagai berikut:
1.
Istilah bojo/garwo
untuk menyebut suami atau isteri ego;
2.
Istilah morotuwo
untuk menyebut ayah/ibu dari suami/istrl ego;
3.
Istilah mantu untuk
menyebut suami/istri anak ego;
4.
Istilah besan untuk
menyebut orang tua menantu ego;
5.
Istilah ipe untuk
menyebut saudara sekandung suami/istri ego dan suami istri saudara sekandung
ego;
6.
Istilah pripean untuk
menyebut suami/istri ipe ego.
Pada umumnya masyarakat jawa timuran menyebut kelompok kekerabatan yang
terkecil adalah keluarga batih yang dalam istilah antropologi disebut dengan
istilah nuclear family yang agggotanya terdiri ayah (suami), ibu (istri) dan
anak-anaknya yang belum kawin. Ayah berkedudukan sebagai kepala keluarga,
tetapi ada kalanya seorang ibupun dapat menjadi kepala keluarga. Hal ini akan
terjadi apabila suami meninggal dumia. Disamping keluarga batih, di Jawa Timur
juga dapat kita jumpai bentuk kelompok kekerabatan yang disebut sanak sedulur.
Bentuk kelompok kekerabatan ini dalam ilmu antropologi disebut kindred.
Kindred ini merupakan suatu kesatuan kaum kerabat yang anggotanya terdiri dari
saudara sekandung, saudara sepupu dari fihak ayah maupun ibu, paman-paman dan
bibi-bibi baik dari fihak ayah maupun ibu, kakak ayah maupun kakak ibu, serta
saudara-saudara dari fihak suami maupun istri.
Tetapi dalam kenyataannya biasanya mereka yang bertempat tinggal berdekatan
saja yang mampak nyata sebagai anggota kindred. Anggota kindred akan berkumpul
bila salah seorang anggotanya mengadakan upacara didalam lingkaran hidup
individu, misalnya pada saat kelahiran, khitanan, perkawinan, kematian dan lain
sebagainya.[15]
L. Sistem perkawinan
Perkawinan, Dalam rangkaian upacara di sekitar hidup individu, perkawinan
merupakan peristiwa yang menandai peralihan dari masa remaja kepada golongan
orang tua, Perkawinan merupakan peristiwa yang terpenting dalam lingkaran hidup
individu, Rangkaian peristiwa perkawinan didahuli dengan pemilihan jodoh, hal
ini juga berlaku di kalangan masyarakat desa Sawoo dan Grogol,
Pada jaman dahulu pemilihan jodoh di desa Sawoo dan Grogol sama seperti
yang berlaku pada masyarakat desa di Jawa pada umumnya, yaitu tergantung
kepada orang tua, Namun demikian pada saat sekarang telah berobah, pemilihan jodoh
terserah kepada pemuda/pemudi dan orang tua tinggal menyetujui.
Namun demikian pemuda/pemudi itu juga harus mentaati ketentuan-ketentuan
adat yang berlaku di daerah tersebut, misalnya adanya larangan perkawinan
dengan saudara pancer wali yaitu antara dua orang yang mempunyai hubungan
sedemikian rupa sehingga pengantin laki-laki berhak menjadi wali penganten
wanita, penganten laki-laki adalah generasi yang lebih muda dari pada penganten
wanita, (misalnya kemenakan laki-laki dengan bibi )[16]
M. Tradisi khusus
Grebeg Suro adalah acara tradisi budaya tahunan masyarakat Ponorogo dalam
wujud pesta rakyat. Seni dan tradisi yang ditampilkan meliputi Festival Reog
Nasional, Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, dan Larungan Risalah Doa di
Telaga Ngebel. Grebeg Suro merupakan acara tahunan yang dirayakan setiap
tanggal 1 Muharram (1 Suro pada tahun Jawa). Acara ini merupakan kegiatan awal
dalam menyongsong Tahun Kunjungan Wisata Jawa Timur setiap tahun.
Rangkaian Grebeg Suro di antaranya, prosesi penyerahan pusaka ke makam
bupati pertama Ponorogo. Kemudian disusul pawai ratusan orang menuju pusat kota
dengan menunggang bendi dan kuda yang dihiasi. Berikutnya akan ada Festival
Reog Nasional di alun-alun kota. Saat itu puluhan grup reyog di Jawa Timur
bahkan dari Kutai Kartanagara, Jawa Tengah, Balikpapan, dan Lampung akan turut
tampil memeriahkan acara hairem ini.
Sejarah diadakannya Grebeg Suro di Kabupaten Ponorogo adalah adanya
kebiasaan masyarakat terutama kalangan warok pada malam 1 Suro yang mengadakan
tirakatan semalam suntuk dengan mengelilingi kota dan berhenti di alun-alun
Ponorogo. Pada tahun 1987 Bupati Soebarkah Poetro Hadiwirjo melihat fenomena
ini dan melahirkan gagasan kreatif untuk mewadahi kegiatan mereka dengan
kegiatan yang mengarah pada pelestarian budaya.
Sebab ditengarainya minat para pemuda terhadap kesenian khas Ponorogo mulai
luntur, untuk itu diadakanlah Grebeg Suro dan memasukkan Reog didalamnya. Seni
dan tradisi yang ditampilkan meliputi Festival Reog Nasional, Pawai Lintas
Sejarah dan Kirab Pusaka, dan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel. Tata cara
pelaksanaannya dimulai dengan Festival Reog Nasional yang dilaksanakan selama 4
hari dengan jumlah peserta 51 grup dengan 21 grup dari Ponorogo dan 30 grup
dari luar Ponorogo. Dari keseluruhan peserta diambil 10 besar group Reog
terbaik dan 10 besar pembina terbaik.
Sehari sebelum 1 Suro diadakan Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka dari
kota lama ke kota tengah untuk mengenang perpindahan pusat pemerintahan
Kabupaten Ponorogo dari kota lama ke kota tengah. Malam 1 Suro diadakan
penutupan Festival Reog Nasional dan pengumuman lomba, dan tepat tanggal 1 Suro
diadakan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel. Nilai-nilai kearifan lokal yang
terkandung meliputi nilai simbolik, nilai tanggung jawab, nilai keindahan,
nilai moral, nilai hiburan, nilai budaya, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai
apresiasi, dan nilai religius.[17]
N. Perekonomian
Kondisi perekonomian penduduk
kabupaten Ponorogo dapat dilihat dari beberapa indikator, Di antaranya mata
pencahariannya. Mata pencaharian penduduk kabupaten Ponorogo berfariasi.
Mayoritas penduduk bekerja di sektor pertanian (51,78 %), perdagangan, rumah
makan dan hotel (17,34 %), sektor jasa sosial dan perorangan (11,83 %). Sektor
pertanian dihasilkan dari luas sawah 34.800 hektar sawah dengan produksi
4.266.523 kwt. dari 99,2 % padi sawah. Disusul produksi palwija berupa ketela
681.779 ton, jagung 241.330 ton, dan produk pangan yang lainnya[18]
O. Sosial
Secara sosial budaya ponorogo ini mempunyai dua predikat sekaligus yaitu
sebagai kota santri, karena kota ini mempunyai puluhan pondok pesantren, serta
disebut sebagai kota reyog, karena dari kota inilah asal kesenian reyog yang
diakui Unesco sebagai kota asal mula “The Biggest Mask Dance”. Dua predikat ini
nampaknya juga mempengaruhi terbentuknya kelompok-kelompok social di masyarakat
dan berpotensi terjadinya polarisasi sosial antara kelompok santri dan abangan
karena kedua kelompok tersebut mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang sangat bertentangan[19]
BAB II
PENUTUP
Kesimpualan
Ternyata dari hasil observasi
dengan mencari sumber-sumber yang didapat oleh penulis, dalam observasi ini
sedikit mengambil keputusan bahwa ternyata daerah ponorogo merupakan daerah
yang cukup unik, dari sisi sejarah awal pendirian dan ragam budaya sosial,
pendidikan termasuk daerah yang cukup maju, daerah ini terkenal dengan sebutan
kota santri dan juga kota seni,
Dari segi perekonomian daerah
ini 50% mata pencaharain sebagai petani
sisanya wira usaha dan sektor-sektor lainya,
tradisi khusus daerah ini adalah peringatan gerebek suro dengan
menampilakan seni tari reog Kabupaten
Ponorogo adalah salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Timur Indonesia, secara
geografis terletak antara 111° 17 - 111º 52´ Bujur Timur dan 7° 49´ - 8º 20´
Lintang Selatan, dengan ketinggian antara 92 sampai dengan 2.563 meter di atas
permukaan laut, yang berbatasan dengan sebelah utara Kabupaten Madiun, Magetan
dan Nganjuk, sebelah timur Kabupaten Tulungagung dan Trenggalek, sebelah
selatan Kabupaten Pacitan, serta sebelah barat Kabupaten Pacitan dan Kabupaten
Wonogiri (Jawa Tengah).
Bahasa Jawa yang digunakan di
Ponorogo memiliki tiga tingkatan bahasa yaitu ngoko, kromo alus, dan kromo
inggil. Sebagian besar penduduk Ponorogo menganut agama Islam. Tetapi ada juga
yang menganut agama Protestan, Katolik, Buddha dan Hindu. Ada pula agama
kepercayaan penduduk Ponorogo yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan
ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang
kuat. Terjadi pula sinkretisme kepercayaan di masyarakat Ponorogo
Tranportasi umum yang sekarang
banyak digunakan adalah kendaraan bermotor, baik kendaraan roda dua maupun roda
empat. Ada sebagian kecil menggunakan sepeda angin (sepeda onthel). Dokar ini
biasa digunakan di daerah pinggiran, terutama untuk mengangkut pedagang yang
hendak menuju pasar-pasar tradisional
Ada bermacam macam kesenian yang berkembang di kabupaten Ponorogo.
Ada seni tradisional seperti wayang kulit, wayang orang, ludruk, ketoprak, seni
gajah-gajahan, karawitan dsb. Seni budaya modern seperti musik pop dan dangdut,
hadroh kontemoprer. Di antara seni budaya tersebut yang paling populer dan
spektakuler adalah seni reog ponorogo.
Sistem kekerabatan didaerah ini
hampir sama dengan daerah jawa timur lainya yaitu bilateral, namun dalam
pemilihan jodoh Pada jaman dahulu pemilihan jodoh di desa Sawoo dan Grogol sama
seperti yang berlaku pada masyarakat desa di Jawa pada umumnya, yaitu
tergantung kepada orang tua, Namun demikian pada saat sekarang telah berobah,
pemilihan jodoh terserah kepada pemuda/pemudi dan orang tua tinggal menyetujui.
Benda atau tempat sakral Klampis Ireng Ponorogo adalah sebuah
bangunan lingkaran datar yang tengahnya terdapat sebuah lubang. Letaknya berada
di Desa Sragi. Tidak diketahui apa maksud bangunan ini, namun menurut juru
kunci yang menjaganya,Klampis Ireng Ponorogo adalah tempat yang dibangun oleh
sosok Semar, dan merupakan salah satu tokoh Punakawan dalam tokoh pewayangan
Jawa. Tempat ini pernah diterawang oleh beberapa orang yang sanggup melihat
dimensi lain dan hasilnya sangat mengejutkan.
DAFTAR PUSTAKA
http://lindalutfian.wordpress.com/ponorogo.
Alip Sugianto,Eksotika Parawisata Ponorogo (Yogyakarta:
Penerbit Samudra Baru, 2015), 6.
Muh Fajar Pramono, Raden Bathoro Katong Bapak-e Wong Ponorogo (Ponorogo:
Lembaga
Penelitian Pemberdayaan Birokrasi dan Masyarakat Ponorogo, 2006),
4-5.
ttps://irurrozypo.wordpress.com/2012/04/30/cerita-babad-ponorogo/.
Sumarto, Menelusuri Perjalanan Reyog Ponorogo (t.t.: CV.
Kotareog Media, 2014), 15.
Ponorogo Dalam Angka 2013 (BPS Kabupaten Ponorogo), xiii.
Muh Fajar Pramono, Raden Bathoro Katong...,9.
Statistik Daerah Kabupaten Ponorogo 2013,(Badan Pusat Statistik
Kabupaten Ponorogo),1.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Ponorogo
Purwowijoyo, Babad Ponorogo, t.t. , t.p.1990, 19-20.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 1.
Soemarto, Menelusuri Perjalanan Reyog Ponorogo (Ponorogo:
CV. Kotareyog Media, 2014), 35
http://www.pusakacenter.com/5-tempat-paling-angker-di-jawa-timur/
http://blog.umy.ac.id/rhilla/2012/12/01/adaptasi-komunikasi-budaya-suku-jawa-timuran
http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/sistem-kekerabatan-masyarakat-jawa-timuran
http://jawatimuran.net/2013/03/23/istilah-kekerabatan-masyarakat-jawa-timur/
https://id.wikipedia.org/wiki/Grebeg_Suro
http://digilib.uinsby.ac.id/16925/3/Bab%203.pdf
http://eprints.umpo.ac.id/2874/1/Buku%20Sosiologi%20Masyarakat%20Ponorogo%202016.pdf
[1]
http://lindalutfian.wordpress.com/ponorogo.
[2] Alip Sugianto,
Eksotika Parawisata Ponorogo (Yogyakarta: Penerbit Samudra Baru, 2015),
6.
[3] Muh
Fajar Pramono, Raden Bathoro Katong Bapak-e Wong Ponorogo (Ponorogo:
Lembaga
Penelitian Pemberdayaan Birokrasi dan Masyarakat Ponorogo, 2006),
4-5.
[4]
ttps://irurrozypo.wordpress.com/2012/04/30/cerita-babad-ponorogo/.
[5] Sumarto, Menelusuri
Perjalanan Reyog Ponorogo (t.t.: CV. Kotareog Media, 2014), 15.
[6] Ponorogo Dalam
Angka 2013 (BPS Kabupaten Ponorogo), xiii.
[7] Muh Fajar
Pramono, Raden Bathoro Katong...,9.
[8] Statistik Daerah Kabupaten Ponorogo
2013,(Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo), 1.
[9]
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Ponorogo
[10] Purwowijoyo, Babad
Ponorogo, t.t. , t.p.1990, 19-20.
[11] Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 1.
[12]Soemarto, Menelusuri
Perjalanan Reyog Ponorogo (Ponorogo: CV. Kotareyog Media, 2014), 35
[13]
http://www.pusakacenter.com/5-tempat-paling-angker-di-jawa-timur/
[14]
http://blog.umy.ac.id/rhilla/2012/12/01/adaptasi-komunikasi-budaya-suku-jawa-timuran-ponorogo/#comments
[15]
http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/sistem-kekerabatan-masyarakat-jawa-timuran
[16]
http://jawatimuran.net/2013/03/23/istilah-kekerabatan-masyarakat-jawa-timur/
[17]
https://id.wikipedia.org/wiki/Grebeg_Suro
[18]
http://digilib.uinsby.ac.id/16925/3/Bab%203.pdf
[19]
http://eprints.umpo.ac.id/2874/1/Buku%20Sosiologi%20Masyarakat%20Ponorogo%202016.pdf
Komentar
Posting Komentar