PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Mendidik adalah tugas dan tanggung jawab orang tua dalam lingkungan keluarga, pendidik di lingkungan sekolah, serta ulama dan pemimpin di lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan manapun dan situasi apa pun, seorang pendidik di tuntut untuk membuat peserta didik mampu menyerap dan memahami materi dan pengajaran yang disampaikan. Selain itu, kesungguhan dan keikhlasan pendidik juga menjadi modal utama untuk tercapainya tujuan tersebut, karena tanpa keduanya pendidikan tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan.
Pekerjaan mendidik yang berlangsung dalam masyarakat modern ini tidak lagi hanya di lingkungan keluarga, tapi di sekolahpun pendidikan dapat diberikan oleh pendidik. Sekolah merupakan follow up dari pendidikan di lingkungan keluarga. Sekolah bahkan dipandang sebagai sistem pendidikan formal, yang artinya diselenggarakan atas dasar peraturan dan syarat-syarat tertentu, tujuan serta alat-alat tertentu pula

B. Rumusan masalah
1.      Apa itu pendidik dalam pendidikan islam ?
2.      Mengapa kita mempelajari pendidik dalam pendidikan islam ?
3.      Bagaimana cara merealisasikan sebagai pendidik dalam pendidikan islam ?
4.      Apa hikmah mempelajari pendidik dalam pendidikan islam ?

C. Tujuan
1.      Untuk memenuhi tugas perkuliahan?
2.      Untuk mengetahui pendidik dalam pendidikan islam?
3.      Untuk mengetahui hikmah mempelajari pendidik dalam pendidikan islam?
4.      Untuk mengetahui cara merealisasikan pendidik dalam pendidikan islam





BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik disebut dengan murobbi, muallim dan muadib. Kata murobbi berasal dari kata robba-yurobbi  (QS:17-24). Kata muallim adalah isim fail dari allama-yuallimu sebagaimana ditemukan dalam Al-Quran (2:31). Sedangkan kata Muaddib, berasal dari kata addaba-yuaddibu (QS 3:79&146), seperti
Sabda Rasulullah : Artinya: Allah mendidikku maka ia memberikan kepadaku sebaik-baiknya pendidikan» (Al- Hadits).
Kata atau istilah murabbi, misalnya sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Pemeliharaan seperti itu terlihat dalam proses orang tua membesarkan anaknya. Sedangkan untuk kata «muallim», pada umumnya dipakai dalam membicarakan aktivitas yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu pengetahuan (baca:pengajaran) dari seseorang yang lebih tahu kepada seseorang yang tidak tahu. Adapun istilah «muaddib», menurut Al-Attas, lebih luas dari istilah muallim dan lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam (M.Naquib al-Attas, 1984:5).
Dari segi bahasa, pendidik memiliki pengertian sebagai orang yang mendidik.  Hal ini bermakna bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Beberapa istilah tentang pendidik mengacu kepada seseorang yang memberikan pengetahuan, keterampilan atau pengalaman kepada orang lain.
Abdullah Nashih Ulwan (Rahardjo, 1999:56) seorang ulama Mesir pada abad 20 memaknai pendidik sebagai seorang penyampai ilmu pengetahuan, pemberi nasihat, dan teladan bagi anak didiknya. Dalam sistem pendidikan faktor pendidik merupakan tolak ukur keberhasilan peserta didik. Pendidik memiliki tanggung jawab dan memiliki sifat-sifat asasi, yaitu; keikhlasan, bertaqwa, berilmu, bersikap dan berprilaku santun. Faktor di atas haruslah dimiliki oleh pendidik agar anak didik dapat berhasil dan bertaqwa kepada Allah Swt.
Sedangkan Hasan Langgulung (1986:227) memaknai pendidik sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pendidik memegang peranan penting dalam pendidikan sebab keberhasilan anak didik dipengaruhi oleh kualitas pendidik. Menurut Ahmad Tafsir (2006:170)  pendidik dalam pendidikan Islam ialah orang yang mengajarkan dan mempengaruhi perkembangan seseorang yaitu manusia, alam dan kebudayaan. Manusia, alam dan kebudayaan inilah yang sering disebut dalam ilmu pendidikan sebagai lingkungan pendidikan. Dari ketiga hal tersebut, yang terpenting adalah manusia. Alam tidak melakukan pendidikan secara sadar begitu juga dengan kebudayaan tetapi manusia berperan dalam pendidikan.
Abuddin Nata (2005:114) mendefiniskan pendidik secara fungsional menunjukan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dan memberikan pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman dan sebagainya. Peranan orang tua sangat berpengaruh dalam mendidik anaknya karena secara moral dan teologis keduanya dibebani tanggungjawab dalam mendidik anaknya. Sedangkan di sekolah tanggung jawab dibebankan kepada guru, begitu juga di masyarakat dilakukan oleh organisasi-organisasi kependidikan dan sebagainya. Oleh karena itu, peranan orang tua, guru dan tokoh masyarakat dapat dikategorikan sebagai pendidik.
Hakikat pendidik dalam Islam, adalah orang-orang yang bertanggung jawab dalam perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi anak didik, baik potensi afektif, kognitif maupun potensi psikomotor. Senada dengan ini, Mohammad Fadhli al-Jamali menyebutkan, bahwa pendidik adalah orang yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik sehingga terangkat derajat manusianya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia (A. Tafsir, 1994:75).
Pendidik dalam pendidikan Islam adalah setiap orang dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain. Sedangkan yang menyerahkan tanggung jawab dan amanat pendidikan adalah agama, dan wewenang pendidik dilegitimasi oleh agama, sementara yang menerima tanggung jawab dan amanat adalah setiap orang dewasa. Ini berarti bahwa pendidik merupakan sifat yang lekat pada setiap orang, karena tanggung jawabnya atas pendidikan (Ramayulis, 2002:85-6).
1. Allah Sebagai Pendidik
Sebagaimana dalam Q.S Ar-Rahman :1-4
عَلَّمَ ٱلْقُرْءَانَ خَلَقَ ٱلْإِنسَٰنَعَلَّمَهُ ٱلْبَيَانَ ٱلرَّحْمَٰنُ
Artinya: (Tuhan yang maha pemurah (1) yang telah mengajarkan Al-Qur›an (2) Dia menciptakan manusia (3) mengajarkannya pandai berbicara(4). (Q.S Ar-Rahman :1-4)
Menurut Al Maraghi, (1989:187) ayat ini menerangkan bahwa Allah telah mengajari Nabi Muhammad Saw Al-Qur›an dan Nabi Muhammad mengajarkannya pada umatnya.
Dia (Allah) telah menciptakan umat manusia ini untuk mengajarinya mengungkapkan apa yang terlintas dalam hatinya dan terpetik dalam sanubarinya. Sekiranya demikian, maka Nabi Muhammad Saw tidak akan dapat mengajarkan Al-Qur›an pada umatnya. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk sosial menurut tabiatnya tak bisa hidup kecuali bermasyarakat dengan sesamanya, maka haruslah ada bahasa yang digunakan untuk saling memaafkan sesamanya dan untuk saling menulis dengan sesamanya yang berada di tempat jauh, disamping untuk memelihara ilmu-ilmu orang terdahulu, supaya dapat diambil manfaatnya oleh generasi berikutnya, dan supaya ilmu itu dapat ditambah oleh generasi mendatang atas hasil usaha yang diperoleh oleh generasi yang lalu.
2. Rasul Sebagai Pendidik
Dijelaskan dalam firman Allah Q.S Al-Baqarah : 151.
كَمَآ أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًۭا مِّنكُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْكُمْ ءَايَٰتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا۟ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Sebagaimana (kami telah sempurnakan nikmat kami kepadamu) kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah (Al-Sunah), sertamengajarkan kepada kamu apa yang kamu belum ketahui.» (Al-Baqarah:105)
Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah telah mengutus seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Allah (Al-Quran), dan membimbing ke jalan yang benar, membersihkan jiwa umat manusia dari berbagai kotoran perbuatan yang hina, menjelaskan masalah-masalah yang masih samar tersebut di dalam Al-Quran, (baik berupa hokum, petunjuk dan rahasia Allah dan kenapa al-Qur›an itu sebagai petunjuk dan cahaya bagi umat manusia), menanamkan rahasia di dalam agama dan juga mengajarkan pengetahuan yang tidak bersumber dari akal manusia. Pengetahuan tersebut hanya dapat diperoleh melalui wahyu, seperti pemberitahuan tentang alam ghaib, perjalanan para Nabi dan riwayat umat terdahulu.
3. Orang Tua Sebagai pendidik
Sebagai mana dalam Q.S Luqman : 12-19 yang artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: bersyukurlah kepada Allah, dan barang siapa yang tidak bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah maha kaya lagi maha terpuji (12) Dan ingatlah ketika Luqman berkata anaknya diwaktu ia member pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) adalah benar kezaliman yang besar (13) Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaku, kamudian hanya kepadakulah kembalimu (14) Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Ku sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah engkau mengetahui keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembalikepadaku, kemudian hanya kepada-Ku lah kamu kembali, maka kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (15) (Luqman berkata), “Hai anak, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji Sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkan (membalasnya), sesungguhnya Allah maha halus lagi maha mengetahui (16) Hai anak ku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah (17) Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (18) dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lembutkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai (19).”(Q.S Luqman:12-19)
Dalam ayat ini Luqman (sebagai orang tua) mendidik anaknya dengan nasihatnasihat yang mencakup pokok-pokok tuntunan agama. Di sana ada akidah, syariah dan akhlak tiga unsur ajaran Al-Qur’an. Disana ada akhlak terhadap Allah, terhadap pihak lain dan terhadap diri sendiri. Ada juga perintah moderasi yang merupakan ciri dari segala macam kebijakan, serta perintah bersabar yang merupakan syarat mutlak untuk meraih sukses duniawi dan ukhrawi. Demikian Luqman al-Hakim mendidik anaknya bahkan member tuntunan kepada siapapun yang lain menelusuri jalan kebajikan (Quraisy Shihab, 2002:140).
 Islam mengajarkan bahwa pendidik pertama dan utama yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik adalah kedua orang tua. Islam memerintahkan kedua orang tua untuk mendidik diri dan keluarganya, terutama anakanaknya, agar mereka terhindar dari adzab yang pedih. Firman Allah: Artinya “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim:6)
4. Orang Lain Sebagai Pendidik
Dijelaskan dalam Q.S Al-Kahfi : 60-82 Dalam ayat ini dijelaskan bagaimana Nabi Khidir mengajari dan memahamkan Nabi Musa tentang hal-hal yang diketahuinya. Khidir adalah julukan guru Nabi Musa yang bernama Balya bin Malkam, yang menurut kebanyakan ulama bahwa Balya adalah seorang Nabi (Al-Maraghi,  1989:343).
Dimana sebelum dilaksanakannya proses belajar mengajar diantara Nabi Musa dan Nabi Khidir terjadi perjanjian diantara keduanya, yang meminta Nabi Musa sebagai murid untuk mentaati Nabi Khidir sebagai gurunya, apabila melihat kejanggalankejanggalan atau hal-hal yang belum paham ilmunya tentang hal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru itu harus luas pandangannya (visioner) yang tidak hanya memberikan pemahamam sebatas syariatnya saja tapi juga hakikatnya, demikian juga seorang murid harus ada ketaatan disamping bersikap kritis dan sabar.
Pendidik bukan hanya sekedar guru, ustad, mudarris atau murabbi akan tetapi orangtua, sekolah, masyarakat (lingkungan) dan pemerintah dikategorikan sebagai pendidik sebab keempat faktor ini dapat menentukan keberhasilan anak didik (Syahminan Zaini,1986:133). Pertama, tanggung jawab orang tua sebagai pendidik anaknya merupakan tanggungjawab sunatullah, karena keduanya diberikan amanat oleh Allah Swt untuk memelihara dan mendidik sesuai dengan tuntunan agama.
 Allah Swt mengingatkan dalam firmannya: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. at-Tahrim {66}: 6)
Ayat di atas menjelaskan bahwa kewajiban kedua orang tua memelihara dan bertanggung jawab dalam mendidik anaknya. Pemeliharaan terhadap keluarga berdasarkan tuntunan agama, seperti mendidik anak untuk selalu menegakan shalat, berakhlak mulia, jujur dan menjadi anak yang shaleh yang dapat bermanfaat bagi keluarga, masyarakat dan bangsanya. Rasullah Saw bersabda;  Artinya: “Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat bila mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka jika meninggalkan shalat bila mereka telah
Menurut Muhaimin dan Abdul Mujib (1993:291-292) secara umum, kewajiban orang         tua kepada anak-anaknya adalah sebagai berikut :
Mendoakan anak-anaknya dengan do’a yang baik
وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍۢ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Artinya: Dan orang orang yang berkata:Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. 25:74)
Memelihara anak dari api neraka
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًۭا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌۭ شِدَادٌۭ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. 66:6)
Menyerukan shalat pada anaknya
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْـَٔلُكَ رِزْقًۭا ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَٱلْعَٰقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ
Artinya: Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan Bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Q.S. 20:132)
Menciptakan kedamaian dalam rumah tangga
يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ ٱلْإِنسَٰنُ ضَعِيفًۭا
Artinya:  Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuzatau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnyadan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. 4:128)
Mencintai dan menyayangi anak-anaknya
إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌۭ فَقَدْ مَسَّ ٱلْقَوْمَ قَرْحٌۭ مِّثْلُهُۥ ۚ وَتِلْكَ ٱلْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ ٱلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَآءَ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ
Artinya : Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, Maka Sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada›.dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. (Q.S. 3:140)
Bersikap hati-hati terhadap anak-anaknya
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ وَأَوْلَٰدِكُمْ عَدُوًّۭا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌ
Artinya: Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.» (Q.S. 64:14)
Memberi nafkah yang halal
نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌۭ لَّكُمْ فَأْتُوا۟ حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّكُم مُّلَٰقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُؤْمِنِينَ
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma›ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya, janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.» (Q.S. 2:233)
Mendidik anak agar berbakti pada orang tuanya
 وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًۭٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًۭا وَبِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْجَارِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْجَارِ ٱلْجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلْجَنۢبِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًۭا فَخُورًا
Artinya : Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orangorang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (Q.S. 4:36)
Memberi air susu sampai dua tahun
نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌۭ لَّكُمْ فَأْتُوا۟ حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّكُم مُّلَٰقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma›ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. 2:233)
Kedua, sekolah dikategorikan sebagai pendidik bertanggung jawab melalui seorang guru (pendidik) kepada anak didik untuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut serta secara kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup. Guru merupakan tenaga professional yang bertugas dan bertanggung jawab kepada anak didik, sebab guru diberikan amanat kedua orang tua untuk
mendidik anaknya.
Ketiga, masyarakat sebagai pendidik melalui lingkungan, organisasi kemasyarakatan,
lembaga-lembaga kemasyarakat dan lain-lain bertanggung jawab mendidik individuindividu
yang shaleh untuk mencapai kesejahteraan, keamanan dan kebahagian lingkungannya.
Abu A’la al-Maududi yang dikutip oleh Syahminan Zaini (1986:138-139) mengatakan bukanlah kelompok atau umat yang bertanggung jawab terhadap Allah dalam kualitas sebagai kelompok, tetapi tiap-tiap individu bertanggungjawab di hadapan Allah dalam kualitasnya sebagai individu. Kemudian beliau lebih lanjut mengatakan bahwa tujuan yang paling utama dari kehidupan sosial bukanlah untuk suksesnya masyarakat dan kesejahteraannya, tetapi lebih memfokuskan untuk mensukseskan kesejahteraan dan
kebahagian setiap individu masyarakat tersebut. Dapat diambil kesimpulan bahwa tanggung jawab masyarakat sebagai pendidik bagaimana masing-masing anggota masyarakat itu menciptakan suatu sistem masyarakat sehingga mendorong masing-masing anggota masyarakat untuk mendidik dirinya sendiri agar bersedia mendidik anggota masyarakat yang lain.
Keempat, peranan pemerintah melalui lembaga sosial seperti sekolah-sekolah, madrasah, perguruan tinggi dan lain sebagai bertanggung jawab untuk memfasilitasi pendidikan yang murah dan berkualitas. Sebab tanggung jawab pemerintah sebagai pendidik merupakan faktor yang paling utama dalam meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas, berkompeten, trampil, dan merupakan pilar tegaknya suatu negara.
 Dari pembahasan di atas, tanggung jawab pendidik orang tua, guru, masyarakat dan pemerintah bertanggung jawab untuk menjadikan anak didiknya menjadi manusia yang berhasil dalam berbagai aspek lahiriyah maupun batiniah. Kesehatan fisik, kemampuan bertahan hidup, berakhlak mulia, jujur, bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat, meraih kebahagian dunia dan akhirat merupakan tanggung jawab para pendidik dalam mendidik anak didiknya.
Berhubungan dengan pendidikan di sekolah, pendidik di sekolah yaitu guru. Kata
‘guru’ berasal dari kosa kata yang sama dalam bahasa India yang artinya “orang yang mengajarkan tentang kelepasan dari sengsara”. Dalam tradisi agama Hindu, guru dikenal sebagai “maha resi guru”, yakni para pengajar yang bertugas untuk menggembleng para calon biksu di bhinaya panti (tempat pendidikan para biksu). Rabindranath Tagore (1981-1941), menggunakan istilah shanty niketan atau rumah damai untuk tempat para guru mengamalkan tugas mulianya membangun spiritualitas anak-anak bangsa India (Suparlan, 2006:9).
            Menurut Ikhwa al Shafa pendidik tidak boleh menjejali otak peserta didik dengan ide-ide atau keinginannya sendiri. Pendidik hendaknya mengangkat potensi laten yang terdapat dalam diri peserta didik. Pada empat tahun pertama, anak secara tidak sadar menyerap semua ide dan perasaan dari lingkungan sosialnya. Setelah itu, pada proses selanjutnya ia mulai meniru sikap dan ide dari orang-orang disekitarnya. Di sini, pendidik dan orang tua dituntut untuk memberikan contoh yang baik dalam perilaku dan tindakannya sehari-hari, sehingga menjadi panutan bagi pserta didik ke arah yang lebih baik (C.A. Qadir, 1991:62).
Menurut Ibn Khaldun seorang pendidik hendaknya memilki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendaknya memilki kemampuan dan daya serap peserta didik.
Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan kemampuan peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran yang sulit dan mudah dalam cakupan materi pendidikan (M.Athiyah al Abrasyi, 1984:190).
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Dalam hal ini Khaldun mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu :
1. Prinsip pembiasaan;
2. Prinsip tadrij (berangsur-angsur);
3. Prinsip pengenalan umum (generalistik);
4. Prinsip kontinuitas;
5. Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik;
6. Menghindari kekerasan dalam mengajar.
Menurut Al-Ghazali pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya (Al- Ghazali, 1939:13). Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia merupakan makhluk yang mulia.
Kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya. Untuk itu, pendidik dalam prespektif Islam melaksanakan proses pendidikan hendaknya diarahkan pada aspek tazkiyah an-nafs. Dalam mengajarkan ilmu pengetahuan, seorang pendidik hendaknya memberikan penekanan pada upaya membimbing dan membiasakan agar ilmu yang diajarkan tidak hanya dipahami, dikuasai atau dimiliki oleh peserta didik, akan tetapi lebih dari itu perlu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pelaksanaannya, semua metode pendidikan yang memiliki relevansi terhadap upaya pendidikan hendaknya dapat dipergunakan pendidik dalam proses belajar mengajar. Penggunaan setiap metode pendidikan hendaknya diselaraskan dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, tingkat usia peserta didik, kecerdasan, bakat, dan fitrahnya. Seorang pendidik dituntut memiliki beberapa sifat keutamaan yang menjadi kepribadiannya. Di antara sifat-sifat tersebut adalah :
1. Sabar dalam menanggapi pertanyaan murid;
2. Senantiasa bersifat kasih, tanpa pilih kasih (objektif);
3. Duduk dengan sopan, tidak riya’ atau pamer;
4. Tidak takabur, kecuali terhadap orang yang zalim dengan maksud mencegah
tindakannya;
5. Bersikap tawadhu’ dalam setiap pertemuan ilmiah;
6. Sikap dan pembicaraan hendaknya tertuju pada topik persoalan;
7. Memiliki sifat bersahabat terhadap semua murid;
8. Menyantuni dan tidak membentak orang-orang bodoh;
9. Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya;
10. Berani berkata tidak tahu terhadap masalah yang dipersoalkan;
11. Menampilkan hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam kondisi yang salah, ia bersedia merujuk kembali kepada rujukan yang benar.
Al-Ghazali (Fathiyah, 1986:32) memandang pekerjaan mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia dan jabatan yang paling terhormat. Pendapat ini berdasarkan argumen dengan ayat-ayat al-Quran dan hadist-hadist nabi. Hujjatul Islam ini lebih lanjut mengatakan “wujud yang paling mulia di permukaan bumi ini adalah jenis manusia. Dan bagian yang paling mulia dari hakikat manusia adalah hatinya. Guru bekerja menyempurnakan hati, membesarkan, membersihkan dan mengarahkan untuk bertaqwa kepada Allah Swt.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik disebut dengan murobbi, muallim dan muadib. Kata atau istilah murabbi, misalnya sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Dari segi bahasa, pendidik memiliki pengertian sebagai orang yang mendidik. Pendidik dalam pendidikan Islam adalah setiap orang dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain. 1. Allah Sebagai Pendidik 2. Rasul Sebagai Pendidik 3. Orang Tua Sebagai pendidik 4. Orang Lain Sebagai Pendidik
Pendidik bukan hanya sekedar guru, ustad, mudarris atau murabbi akan tetapi orangtua, sekolah, masyarakat (lingkungan) dan pemerintah dikategorikan sebagai pendidik sebab keempat faktor ini dapat menentukan keberhasilan anak didik (Syahminan Zaini,1986:133). Menurut Muhaimin dan Abdul Mujib (1993:291-292) secara umum, kewajiban orang tua kepada anak-anaknya adalah sebagai berikut : Mendoakan anak-anaknya dengan do’a yang baik,  Memelihara anak dari api neraka,  Menyerukan shalat pada anaknya Menciptakan kedamaian dalam rumah tangga,  Bersikap hati-hati terhadap anak-anaknya Memberi nafkah yang halal,  Mendidik anak agar berbakti pada orang tuanya,  Memberi air susu sampai dua tahun
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Dalam hal ini Khaldun mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu : 1. Prinsip pembiasaan; 2. Prinsip tadrij (berangsur-angsur); 3. Prinsip pengenalan umum (generalistik); 4. Prinsip kontinuitas; 5. Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik; 6. Menghindari kekerasan dalam mengajar. 
Seorang pendidik dituntut memiliki beberapa sifat keutamaan yang menjadi kepribadiannya. Di antara sifat-sifat tersebut adalah : 1. Sabar dalam menanggapi pertanyaan murid; 2. Senantiasa bersifat kasih, tanpa pilih kasih (objektif); 3. Duduk dengan sopan, tidak riya’ atau pamer; 4. Tidak takabur, kecuali terhadap orang yang zalim dengan maksud mencegah tindakannya; 5. Bersikap tawadhu’ dalam setiap pertemuan ilmiah; 6. Sikap dan pembicaraan hendaknya tertuju pada topik persoalan; 7. Memiliki sifat bersahabat terhadap semua murid; 8. Menyantuni dan tidak membentak orang-orang bodoh; 9. Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya; 10. Berani berkata tidak tahu terhadap masalah yang dipersoalkan; 11. Menampilkan hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam kondisi yang salah, ia bersedia merujuk kembali kepada rujukan yang benar.

Penutup
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan bagi pembaca yang arif dan bijak, hendaknya dapat memberikan kritik dan saran yang dapat membangun untuk  penulisan makalah selanjutnya





DAFTAR PUSTAKA
Filsafat pendidikan islam Hermawan Heris A
AL QURAN & TERJEMAHNYA versi 1.2


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN "KEPRIBADIAN MENYIMPANG"

TEORI BELAJAR SOSIAL DAN TIRUAN

KESEHATAN MENTAL " TRAUMA"

Translate