HADIS TARBAWI "AKAL"
A. Pengertian akal
Akal berasal
dari kata Arab (‘aqal). Dalam bahasa Indonesia orang biasa menyalinnya dengan
pikir atau pikiran. Jadi kejadian berakal, disalin dengan berpikir. Menurut
bahasa Arab, arti akal mula-mula “mengikat” (menahan) dan “membedakan”. Dalam
rangka ini orang menghubungkan, bahwa akal merupakan tenaga yang menahan diri
makhluk yang memilikinya dari pada perbuatan buruk atau jahat, membedakannya
dari makhluk-makhluk lain, karena tenaga akal itu dapat membedakan antara yang baik
dan yang buruk. Umumnya akal dimaknakan sebagai alat untuk berpikir, menimbang
buruk-baik atau merasakan segala perubahan keadaan, sehingga dapat mengambil
manfaat daripadanya.
Perkataan akal
dalam bahasa asalnya mengandung pengertian diantaranya mengikat dan menahan, ia
juga mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Para ahli filsafat dan
ilmu kalam mengartikan akal sebagai daya (kekuatan, tenaga). Untuk memperoleh
pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dengan
orang lain, daya untuk mengabstrakkan benda yang ditangkap oleh panca indera.
Pengertian
akal dapat dijumpai dalam penjelasan ibnu Taimiyah (2001: 18). Lafadz
akal adalah lafadz yang mujmal (bermakna ganda) sebab lafadz akal mencakup
tentang cara berfikir yang benar dan mencakup pula tentang cara berfikir yang
salah. Adapun cara berfikir yang benar adalah cara berpikir yang mengikuti
tuntunan yang telah ditetapkan dalam syar’a. Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah dalam
bukunya yang berjudul Hukum Islam dalam Timbangan Akal dan Hikmah juga
menyinggung mengenai kesesuaian nash al-Qur’an dengan akal, jika ada pemikiran
yang bertentangan dengan akal maka akal tersebutlah yang salah karena mengikuti
cara berpikir yang salah.
Dalam Islam,
akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian, bukan berarti akal
diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk
menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan
selalu cocok dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam permasalahan apa
pun. Akal adalah nikmat besar yang Allah
Subhanahu Wa Ta’ala titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut
hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang sangat
menakjubkan. (Al-‘Aql wa Manzilatuhu fil Islam, hlm. 5)
Kedudukan akal dalam syari'at islam.syari'at islam
memberikan nilai dan urgensi yang amat penting dan tinggi terhadap akal
manusia. Itu dapat dilihat sebagai berikut, allah subhanahu wa'ta'ala hanya
menyampaikan kalam-nya (firman-nya) kepada orang-orang yang berakal, karena
hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari'at-nya.
Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
وَوَهَبْنَا لَهُۥٓ أَهْلَهُۥ
وَمِثْلَهُم مَّعَهُمْ رَحْمَةًۭ مِّنَّا وَذِكْرَىٰ لِأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ
"Dan
kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami
tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rohmat dari kami dan
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran". (QS. Shaad: 43).
Oleh
karenanya, dalam banyak ayat, Allah
Subhanahu Wa Ta’ala memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya),
di antaranya,
وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلَّيْلَ
وَٱلنَّهَارَ وَٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ ۖ وَٱلنُّجُومُ مُسَخَّرَٰتٌۢ بِأَمْرِهِۦٓ
ۗ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍۢ لِّقَوْمٍۢ يَعْقِلُونَ
’’Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu.
Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang memahami(nya).” (An-Nahl: 12)
وَفِى ٱلْأَرْضِ قِطَعٌۭ مُّتَجَٰوِرَٰتٌۭ وَجَنَّٰتٌۭ مِّنْ
أَعْنَٰبٍۢ وَزَرْعٌۭ وَنَخِيلٌۭ صِنْوَانٌۭ وَغَيْرُ صِنْوَانٍۢ يُسْقَىٰ
بِمَآءٍۢ وَٰحِدٍۢ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَىٰ بَعْضٍۢ فِى ٱلْأُكُلِ ۚ إِنَّ
فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍۢ لِّقَوْمٍۢ يَعْقِلُونَ
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian
yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang
bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami
melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang
rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Ra’d: 4)
Sebaliknya Allah Subhanahu Wa
Ta’ala Mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-nya,
وَقَالُوا۟ لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ
أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِىٓ أَصْحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ
“Dan
mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu),
niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk:
10)
Ibnu Taimiyyah
Rahimahullah mengatakan, “(Maknanya yaitu) tidak berakal dan tidak punya tamyiz
(daya pemilah). Bagaimanapun (hal itu) tidak terpuji dari sisi itu, sehingga
tidaklah terdapat dalam kitab Allah subhanahu wa ta’ala serta dalam Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pujian dan sanjungan bagi yang tidak
berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala
telah memuji amal, akal, dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat, serta
mencela keadaan yang sebaliknya di beberapa tempat” (Al-Istiqamah, 2/157)
Kita pun dapat
melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan beberapa bentuk kemuliaan
terhadap akal, seperti:
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan akal sebagai tempat
bergantungnya hukum sehingga orang yang tidak berakal tidak dibebani hukum.
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ
ثَلاَثَةٍ، عَنِ الَجْمْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلىَ عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ،
وَعَنِ النَّائِم حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ
“Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang gila yang akalnya
tertutup sampai sembuh, orang yang tidur sehingga bangun, dan anak kecil
sehingga baligh.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan ad-Daruquthni dari
sahabat ‘Ali dan Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma. Asy-Syaikh al-Albani
mengatakan, “Sahih” dalam Shahih Jami’, no. 3512)
2. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yang
harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta, jiwa, dan kehormatan, (Al-Islam
Dinun Kamil 34 35)
3 .Allah Subhanahu Wa Ta’ala
mengharamkan khamr untuk menjaga akal.
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ
رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُون
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.” (Al-Maidah: 90)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda,
حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا ثُمَّ لَمْ يَتُبْ مِنْهَا
حُرِمَهَا فِي الْآخِرَةِ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan
kepada kami Malik dari Nafi' dari Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa meminum
khamr di dunia dan tidak bertaubat, maka akan di haramkan baginya di akhirat
kelak." (HR Bukhari 54.1/5147)
4. Tegaknya
dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan (kemantapan) akal. Artinya, keimanan tidak berarti mematikan
akal, bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga
mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yang memuliakan akal
sebagaimana Islam memuliakannya; tidak menyepelekan dan tidak pula berlebihan. Yang
dilakukan para pengultus akal yang mereka beritikad memuliakan akal, pada
hakikatnya mereka justru menghinakan akal serta menyiksanya karena mambebani
akal dengan sesuatu yang tidak mampu.
Walaupun akal
dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adalah sesuatu yang berada dalam
jasmani makhluk. Ia sebagaimana makhluk yang lain, memiliki sifat lemah dan
keterbatasan.
As-Safarini
Rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan akal dan
memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan
padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi berpikirnya bukan dari
sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada
lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat
(menentukan) dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jika ia menggunakan akalnya
di luar lingkup dan batasnya yang Allah subhanahu wa ta’ala telah tetapkan maka
ia akan membabi buta….”(Lawami’ul Anwar al-Bahiyyah, hlm. 1105)
Untuk itu kita
perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak
mampu menjangkau perkara-perkara gaib di balik alam nyata yang kita saksikan
ini, seperti pengetahuan tentang Allah subhanahu wa ta’aladan sifat-sifat-Nya,
arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
تَفَكَّرُوْا
فِيْ أَلاَءِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِيْ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Berpikirlah
pada makhluk-makhluk Allah subhanahu wa ta’ala dan jangan berpikir pada Dzat Allah
subhanahu wa ta’ala.”(HR. Ath-Thabarani, al-Lalikai, dan al-Baihaqi dari Ibnu
‘Umar. Lihat ash-Shahihah no. 1788 dan asy-Syaikh al-Albani menyatakan hasan)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman,
وَيَسَۡٔلُونَكَ
عَنِ ٱلرُّوحِۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنۡ أَمۡرِ رَبِّي وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلۡعِلۡمِ
إِلَّا قَلِيلٗا
“Dan
mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al-Isra:
85)
Oleh
karenanya, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat
meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik perintah itu. Karena, tidak semua
hikmah dan sebab di balik hukum syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi,
justru terlalu banyak hal yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk
kepada syariat.
Diumpamakan
oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan
seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta
fatwa dan tidak tahu mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta
fatwa), maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah
mendapat fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa dengan
orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut.
Tentunya bagi
yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan
tidak mengambil pendapat orang awam tersebut karena orang awam itu telah
mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih tahu (lebih
berilmu). (Lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah hlm. 201),
Al-Imam Az-Zuhri Rahimahullah mengatakan,
“Risalah datang dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kewajiban Rasul menyampaikan
dan kewajiban kita menerima.” (Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hlm. 201)
B. Akal yang Terpuji dan yang Tercela
Menengok
penjelasan yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal terkadang
terpuji, yaitu ketika pada tempatnya.
Terkadang juga tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. Adapun pendapat akal
yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap
mengutamakan dalil syariat.
Akal yang
tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim rahimahullah yang
menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
1. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al
Qur’an atau as-Sunnah.
2. Berbicara masalah agama dengan
prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari
nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya.
3. Pendapat akal yang berakibat menolak
asma (nama-nama) Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sifat-sifat dan perbuatan-Nya
dengan teori atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
4.` Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya
bid’ah dan matinya as-Sunnah.
5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat
sekadar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka. (Lihat I’lam
Muwaqqi’in, 1/104—106, al-Intishar, hlm. 21, 24, al-‘Aql wa Manzilatuhu)
Jadi, manakala
kita mengambil sebuah kesimpulan dengan akal kita, kemudian ternyata hasilnya
adalah salah satu dari lima yang tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu
pendapat yang tercela dan salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan
kepada syariat.
C. Akal yang Sehat Tidak Akan Menyelisihi Syariat
Disebutkan
dalam kaidah ahlul kalam ringkasnya bahwa tatkala bertentangan antara akal dan
wahyu maka mesti dikedepankan akal. (Asasuttaqdis, hlm. 172—173)
Dengan prinsip
ini, mereka menolak sekian banyak Nash yang sahih, dahulu ataupun sekarang.
Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka adalah salah dan sangat berbahaya. Untuk
mengetahui batilnya pendapat mereka dengan singkat dan mudah cukup dengan kita
merujuk kepada lima hal yang disebutkan Ibnul Qayyim rahimahullah di atas.
Lebih rinci
para ulama seperti Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan, “Sesuatu yang
diketahui dengan jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bertentangan dengan
syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yang sahih tidak akan bertentangan
dengan akal yang lurus, sama sekali. Saya telah memerhatikan hal itu pada
kebanyakan hal yang diperselisihkan oleh manusia. Saya dapati, sesuatu yang
menyelisihi nash yang sahih dan jelas adalah syubhat yang rusak dan diketahui
kebatilannya dengan akal.
Bahkan
diketahui dengan akal kebenaran, kebalikan dari hal tersebut yang sesuai dengan
syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dengan sesuatu yang
mustahil menurut akal tapi (terkadang) mengabarkan sesuatu yang membuat akal
terkesima. Para rasul itu tidak mengabarkan sesuatu yang diketahui oleh akal
sebagai sesuatu yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu untuk
menjangkaunya. (Dar’u Ta’arrudhil ‘Aql wan Naql, 1/155, 138)
D. Ketika Dalil Bertentangan dengan Akal
Sesungguhnya
pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya sahih dan
akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidak cocokan akal dengan dalil
walaupun dalilnya sahih.
Kalau terjadi
hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun curigailah akal. Di mana bisa
jadi akal tidak memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu
memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Adapun dalil, maka pasti
benarnya.
Hal ini
berangkat dari ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengharuskan kita untuk
selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para sahabat yang
berpengalaman dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mengalami kejadian
turunnya wahyu. Seperti dikatakan oleh ‘Umar bin al-Khaththab, “Wahai manusia,
curigailah akal kalian terhadap agama ini.” (Riwayat ath-Thabarani, lihat
Marwiyyat Ghazwah al-Hudaibiyyah, hlm. 177, 301)
Beliau
mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam dengan pendapatnya, walaupun pada akhirnya tunduk. Beliau pada
akhirnya melihat ternyata maslahat dari keputusan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam begitu besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya.
Oleh
karenanya, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika dalil naqli bertentangan
dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang sahih dan akal itu
dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allah Subhanahu Wa Ta’ala meletakkannya
dan menempatkan para pemiliknya.” (Mukhtashar as-Shawa’iq, hlm. 82—83
dinukil dari Mauqif al-Madrasah al-‘Aqliyyah, 1/61—63)
Abul Muzhaffar
As-Sam’ani Rahimahullah ketika menerangkan akidah Ahlus Sunnah berkata, “Adapun
para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan
mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak,
mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan
keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala di mana Allah
Subhanahu Wa Ta’ala perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Namun
jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya serta mengambil
al-Kitab dan As-Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena
sesungguhnya keduanya (Al-Kitab Dan As-Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali
kepada yang hak, sedang pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (al-Intishar
li Ahlil Hadits hlm. 99)
E. Apabila
Akal Didahulukan
Jika akal
didahulukan, maka akan tergelincir pada sekian banyak bahaya:
1. Menyerupai Iblis—semoga
Allah subhanahu wa ta’ala melaknatinya ketika diperintahkan untuk sujud kepada
Nabi Adam ‘alaihissalam, kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya.
قَالَ
مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسۡجُدَ إِذۡ أَمَرۡتُكَۖ قَالَ أَنَا۠ خَيۡرٞ مِّنۡهُ
خَلَقۡتَنِي مِن نَّارٖ وَخَلَقۡتَهُۥ مِن طِينٖ
“Allah
berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku
menyuruhmu?’ Iblis menjawab, ‘Saya lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan
saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (Al-A’raf: 12)
2. Menyerupai orang kafir
yang menolak keputusan Allah subhanahu wa ta’ala dengan akal mereka, seperti
penentangan mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam. Mereka katakan,
وَقَالُواْ
لَوۡلَا نُزِّلَ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ عَلَىٰ رَجُلٖ مِّنَ ٱلۡقَرۡيَتَيۡنِ عَظِيمٍ
“Dan
mereka berkata, ‘Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar
dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’.” (Az-Zukhruf: 31)
3. Tidak mengambil faedah
dari Rasul sedikit pun karena mereka tidak merujuk kepadanya pada
perkara-perkara ketuhanan.
Adanya rasul
menurut mereka, seperti tidak ada. Keadaan mereka bahkan lebih jelek karena
mereka tidak mengambil manfaat sedikit pun justru butuh untuk menolaknya.
4. Mengikuti hawa nafsu dan keinginan
jiwa.
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman,
فَإِن
لَّمۡ يَسۡتَجِيبُواْ لَكَ فَٱعۡلَمۡ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهۡوَآءَهُمۡۚ
وَمَنۡ أَضَلُّ مِمَّنِ ٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ بِغَيۡرِ هُدٗى مِّنَ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ
لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Maka
jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka
hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat
daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari
Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim.”(Al-Qashash: 50)
5. Menyebabkan kerusakan
di muka bumi, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah.
6. Berkata mengatasnamakan
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya tanpa ilmu.
وَمِنَ
ٱلنَّاسِ مَن يُجَٰدِلُ فِي ٱللَّهِ بِغَيۡرِ عِلۡمٖ وَلَا هُدٗى وَلَا كِتَٰبٖ
مُّنِيرٖ
“Dan
di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu
pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.” (Al-Hajj:
8)
Ini termasuk larangan terbesar.
قُلۡ
إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ
وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ
بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
“Katakanlah,
‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak
kamu ketahui’.” (Al-A’raf: 33)
7. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan
pendapat.
8. Terjatuh dalam keraguan dan bimbang. (Al-Mauqih,
1/81 92), Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah mengatakan
tentang orang-orang yang tetap mengedepankan akalnya, “Jika kamu melihat ahlul
kalam ahli bid’ah mengatakan, ‘Tinggalkan kami dari al-Qur’an dan hadits ahad
dan tampilkan akal,’ maka ketahuilah bahwa ia adalah Abu Jahl.” (Siyar A’lamin
Nubala, 4/472)
Daftar
pustaka
http://suhendraaw.blogspot.co.id/2015/06/makalah-akal-dan-wahyu-dalam-islam.html
http:// Asy Syariah.com/category/majalah-islam-
Asy-Syariah-edisi-9/
Komentar
Posting Komentar