DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR, PENGARTIAN BELAJAR TUNTAS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Proses-proses
pembelajaran yang dilakukan oleh para guru pada umumnya seringkali mengabaikan
bahwa lingkungan belajar siswa dan juga apa yang ada dalam diri siswa dapat
mempengaruhi proses pembelajaran para siswa itu sendiri, Dalam hal tersebut
para guru dituntut untuk dapat menjalankan tugasnya sebagai tenaga pendidik
dengan baik. Para guru juga dituntut untuk dapat menciptakan kegiatan belajar
yang aktif, kreatif, efektif, dan juga menyenangkan dengan cara mengetahui
karakteristik siswa yang bermacam- macam dan juga keadaan disekitar para siswa.
Dalam
pelaksanaan pembelajaran juga para tenaga pendidik dituntut harus mengetahui
keberagaman karakteristik dan juga kecerdasan siswa. Dalam hal tersebut para
guru dituntut untuk dapat menyesuaikan segala kegiatan pembelajaran dengan berbagai
macam kecerdasan siswa. Dalam kegiatan pembelajaran juga harus disertai dengan
pemahaman guru mengenai karakteristik masing- masing siswa dan juga metode-metode
yang dapat digunakan untuk menyeimbangkan keberagaman karakteristik siswa
tersebut guna mencapai terciptanya keadaan belajar yang kondusif
B. Rumusan masalah
1.
Apa konsep dasar belajar tuntas ?
2.
Mengapa kita mempelajari konsep dasar belajar tuntas
?
3.
Bagaimana kita menerapkan konsep dasar belajar
tuntas ?
4.
Apa hikmah mempelajari konsep dasar belajar tuntas ?
C. Tujuan
1.
Untuk memenuhi tugas perkuliahan?
2.
Untuk mengetahui apa konsep dasar belajar tuntas ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertiann belajar tuntas
Belajar Tuntas
adalah suatu sistem belajar yang menginginkan sebagian besar peserta didik
dapat menguasai tujuan pembelajaran secara tuntas. Konsep Belajar Tuntas
sebagai cara belajar mengajar sangat menguntungkan bagi siswa karena setiap
siswa dapat dikembangkan secara optimal.
"Belajar
tuntas adalah sebuah filsafat tentang kegiatan belajar siswa dan seperangkat
teknik implementasi pembelajaran" (Burns, 1987). Sebagai filsafat, belajar
tuntas memandang masing-masing siswa sebagai individu yang unik, yang berbeda
antara satu dengan lainnya, yang mempunyai hak yang sama untuk mencapai
keberhasilan belajar optimal.
Block (1980
dalam Nasution, 1994:92) memandang bahwa individu itu pada dasarnya memang
berbeda, namun setiap individu dapat mencapai taraf penguasaan penuh asalkan
diberi waktu yang cukup untuk belajar sesuai dengan tingkat kecepatan belajar
individualnya. Jadi, yang membedakan satu individu dengan individu lainnya
dalam belajar adalah waktu.
Artinya, ada
individu yang dapat menguasai sesuatu dengan penuh dalam waktu singkat dan ada
yang memerlukan waktu lebih lama, namun pada akhirnya individu akan mencapai
penguasaan penuh. Prinsip bahwa anak harus diberi kesempatan untuk belajar
sesuai dengan kecepatannya sendiri merupakan prinsip menghargai kodrat
individu.[1]
Moh. Uzer Usman
dan Lilis Setiawati mengemukakan bahwa ”belajar tuntas adalah pencapaian taraf
penguasaan minimal yang ditetapkan untuk setiap unit bahan[2] Menurut
Suryosubroto, belajar tuntas adalah suatu filsafat yang mengatakan bahwa dengan
sistem pengajaran yang tepat semua siswa dapat belajar dengan hasil yang baik
dari hampir seluruh materi pelajaran yang diajarkan di sekolah.[3]
B. Sejarah singkat belajar tuntas
Meskipun
strategi yang efektif untuk belajar tuntas baru dikembangkan pada tahun
1960-an, tetapi gagasan belajar untuk ketuntasan materi secara optimal sudah
dikenal lama. Pada tahun 1920-an terdapat sekurang-kurangnya dua upaya utama
untuk menghasilkan ketuntasan dalam kegiatan belajar siswa. Satu di antaranya
adalah the Winnetka Plan dari Carleton Washburne dan sejawatnya (1922), dan
yang lainnya adalah satu pendekatan yang dikembangkan oleh profesor Henry C.
Morrison (1926) di sekolah laboraturium pada the University of Chicago.
Kedua
pendekatan tersebut memiliki banyak kesamaan. Pertama, ketuntasan didefinisikan
berdasarkan tujuan khusus pendidikan yang diharapkan dicapai oleh masing-masing
siswa. Bagi Washburne tujuan itu adalah kognitif, sedangkan bagi Morrison
tujuan itu adalah kognitif, afektif maupun psikomotor. Kedua, pembelajaran
diorganisasikan ke dalam unit-unit kegiatan belajar yang dirumuskan dengan
baik.
Setiap unit
terdiri dari sekumpulan materi kegiatan belajar yang disusun secara sistematis
untuk mencapai tujuan unit yang ditetapkan. Ketiga, penguasaan yang lengkap
terhadap setiap unit merupakan persyaratan bagi siswa sebelum dapat maju ke
unit berikutnya. Aspek ini sangat penting dalam the Winnetka Plan karena
unit-unitnya cenderung dibuat berurutan sehingga kegiatan belajar pada
masing-masing unit didasarkan atas unit sebelumnya.
Keempat, tes
diagnostik kemajuan belajar, yang tidak diberi nilai, dilakukan pada akhir
setiap unit untuk mendapatkan umpan balik mengenai apakah prestasi kegiatan
belajarnya sudah memadai. Tes tersebut dapat menunjukkan apakah unit itu sudah
terkuasai atau apakah masih perlu dipelajari lagi untuk mencapai penguasaan.
Kelima, atas dasar diagnostik tersebut, kegiatan belajar setiap siswa
dilengkapi dengan kegiatan belajar korektif (learning correctives) yang tepat
sehingga dia dapat menyelesaikan kegiatan belajarnya.
Dalam Winnetka
Plan, pada dasarnya siswa diberi bahan latihan untuk kegiatan belajar mandiri,
meskipun kadang-kadang guru memberikan tutorial kepada individu atau kelompok
kecil. Dalam pendekatan Morrison, berbagai macam teknik korektif dipergunakan-misalnya,
pengajaran ulang (reteaching), tutorial, restrukturisasi kegiatan belajar, dan
mengubah kebiasaan belajar siswa. Keenam, faktor waktu dipergunakan sebagai
satu variabel dalam mengindividualisasikan pembelajaran dan dengan demikian
dapat menghasilkan ketuntasan belajar siswa.
Dalam Winnetka
Plan, kecepatan kegiatan belajar siswa ditentukan oleh siswa sendiri-masing-masing
siswa diberi waktu sesuai dengan kebutuhannya untuk menuntaskan satu unit. Dalam metode Morrison, masing-masing siswa diberi
waktu belajar sesuai dengan tuntutan guru hingga semua atau hampir semua siswa
menuntaskan unit itu. (Block, 1971:4). Metode Morrison populer hingga tahun
1930-an, tetapi akhirnya gagasan belajar tuntas itu tenggelam terutama karena
tidak tersedianya teknologi yang dibutuhkan untuk mempertahankan keberhasilan
strategi tersebut.
Gagasan tersebut
baru muncul kembali pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an sebagai
akibat dari diperkenalkannya pembelajaran terprogram (programed instruction).
Ide pokok yang mendasari pembelajaran terprogram itu adalah bahwa untuk
mempelajari setiap perilaku, betapa pun kompleksnya, tergantung pada kegiatan
belajar satu urutan komponen perilaku yang tidak begitu kompleks (Skinner, 1954
dalam Block, 1971:5). Oleh karena itu, secara teoritis, dengan memecah-mecah
satu perilaku yang kompleks menjadi satu rantai komponen perilaku, dan dengan
siswa dapat menguasai setiap sambungan pada rantai tersebut, akan memungkinkan
bagi setiap siswa untuk menguasai keterampilan yang paling kompleks sekali pun.
Pembelajaran
terprogram baik untuk siswa yang lambat belajar terutama mereka yang memerlukan
langkah-langkah belajar yang kecil-kecil, latihan (drill), dan banyak penguatan
(reinforcement), tetapi tidak efektif untuk semua atau hampir semua siswa
(Block, 1971:5). Jadi, model pembelajaran terprogram merupakan alat yang
berharga untuk membantu beberapa siswa untuk mencapai penguasaan, tetapi bukan
merupakan model belajar tuntas yang baik.
Namun satu model
yang baik ditemukan oleh John B. Carroll (1963 dalam Block, 1971:5), yang
dinamainya "Model of School Learning". Pada hakikatnya ini merupakan
sebuah paradigma konseptual yang menggariskan faktor-faktor utama yang
mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar di sekolah, dan menunjukkan
bagaimana faktor- faktor tersebut berinteraksi. Model tersebut sebagian
didasarkan pada pengalaman Carroll dalam mengajar bahasa asing. Di sini dia
menemukan bahwa aptitude (bakat/potensi) seorang siswa dalam bahasa tidak hanya
memprediksi tingkat ketuntasan belajarnya dalam waktu yang ditentukan, tetapi
juga memprediksi jumlah waktu yang dibutuhkannya untuk belajar hingga mencapai
tingkat ketuntasan tertentu.
Oleh karena itu,
Carroll tidak memandang aptitude sebagai penentu tingkat ketuntasan belajar
siswa, melainkan dia mendefinisikan aptitude sebagai pengukur jumlah waktu yang
diperlukan untuk mempelajari satu tugas hingga mencapai tingkat standar
tertentu dalam kondisi pembelajaran yang ideal.
Secara
sederhana, dia mengemukakan bahwa jika masing-masing siswa diberi waktu sesuai
dengan kebutuhannya untuk belajar hingga tingkat ketuntasan tertentu dan dia
menggunakan seluruh waktu yang dibutuhkannya itu, maka dia dapat diharapkan
mencapai tingkat ketuntasan tersebut. Akan tetapi, jika siswa tidak diberi
cukup waktu, maka tingkat ketuntasan belajarnya adalah fungsi rasio antara
waktu yang benar-benar dipergunakannya untuk belajar dengan waktu yang
dibutuhkannya.
Model Carroll
tersebut memandang belajar di sekolah sebagai terdiri dari rentetan tugas
belajar yang jelas. Dalam setiap tugas, siswa maju dari ketidaktahuan mengenai
fakta atau konsep tertentu ke pengetahuan atau pemahaman mengenai fakta atau
konsep tersebut, atau dari ketidakmampuan melakukan suatu perbuatan ke
kemampuan melakukannya. (Carroll, 1963 dalam Block, 1971:5).
Menurut model
ini, dalam kondisi belajar tertentu, waktu yang dipergunakan dan waktu yang
dibutuhkan tergantung pada karakteristik tertentu dari individu serta karakteristik
pengajarannya. Waktu yang dipergunakannya ditentukan oleh jumlah waktu yang
ingin dipergunakan oleh siswa untuk terlibat aktif dalam kegiatan belajar
(kesungguhannya) dan jumlah keseluruhan waktu yang tersedia baginya.
Waktu belajar
yang dibutuhkan oleh masing-masing siswa ditentukan oleh aptitude-nya untuk
tugas yang bersangkutan, kualitas pengajarannya, dan kemampuannya untuk
memahami pengajaran tersebut. Kualitas pengajaran didefinisikan berdasarkan
tingkat pendekatan terhadap kapasitas optimum bagi setiap pelajar melalui
penyajian, penjelasan, dan pengurutan elemen-elemen tugas belajar. Kemampuan
untuk memahami pengajaran menggambarkan kemampuan siswa untuk memperoleh
manfaat dari pengajaran itu, dan erat kaitannya dengan kecerdasannya secara umum.
Model ini
memandang bahwa kualitas pengajaran dan kemampuan siswa untuk memahami
pengajaran itu berinteraksi untuk mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkannya
untuk menguasai tugas secara tuntas sesuai dengan aptitude-nya. Jika kualitas
pengajarannya dan kemampuannya untuk memahami itu tinggi, maka dia hanya akan
membutuhkan sedikit waktu tambahan atau tidak sama sekali. Sebaliknya, jika
kedua faktor tersebut rendah, maka dia akan membutuhkan banyak waktu tambahan.
Model konseptual dari Carroll di atas ditransformasikan oleh Bloom ke dalam
model kerja efektif untuk mastery learning (Block, 1971:6).[4]
C. Faktor Yang Berperan Dalam Belajar Tuntas
1. Bakat untuk
mempelajari sesuatu
Bakat misalnya
intelegensi, mempengaruhi prestasi belajar "John Carroll" mengemukakan
pendirian yang radikal. Ia mengakui adanya perbedaan bakat, akan tetapi ia
memandang bakat tidak menentukan tingkat penguasaan atau untuk menguasai
sesuatu. Jadi setiap orang dapat mempelajari bidang studi apapun sehingga batas
yang tinggi asal diberi waktu yang cukup disamping syarat-syarat lain. Ada
kemungkinan seorang murid menguasai bahan matematika tertentu dalam waktu satu
semester, sedangkan murid lain hanya dapat menguasainya dalam beberapa tahun,
namun tingkat penguasaannya sama.
2. Mutu pengajaran
Sejak
pestalozzi pengajaran klasikal menjadi populer sebagai pengganti pengajaran
individual dari seorang tutor, pengajaran klasikal merupakan keharusan dalam
menghadapi jumlah murid yang membanjiri sekolah sebagai akibat demokrasi,
industrialisasi, pemerataan pendidikan atau kewajiban belajar.
Buku pelajaran
yang diterbitkan oleh pemerintah pusat sama bagi semua dan bila diizinkan
buku-buku lain maka dasarnya adalah dari pemerintah pusat, yakni kurikulum yang
telah ditentukan oleh pemerintah walaupun pengajaran klasikal sekarang sangat
umum dijalankan ini tidak berarti bahwa perbedaan individual dapat diabaikan.
Justru karena pengajaran kita bersifat lebih klasikal harus lebih diperhatikan
perbedaan individual, atau dengan perkataan lain dengan adanya pengajaran
klasikal guru harus dengan sengaja memaksa dirinya memberi perhatian kapada
setiap anak secara individual.
3. Kesanggupan untuk memahami pengajaran
Kalau murid
tidak dapat memahami apa yang daktakan guru, atau bila guru tidak dapat berkomunikasi
dengan murid, maka besar kemungkinan murid tidak dapat menguasai mata pelajaran
yang diajarkan. Kemampuan murid untuk menguasai suatu bidang studi biasanya
bergantung pada kemampuannya untuk memahami ucapan guru. Sebaliknya guru yang
tidak sanggup menyatakan buah pikirannya dengan jelas sehingga ia difahami oleh
murid, juga tidak dapat mencapai penguasaan penuh oleh murid atas bahan
pelajaran yang disampiakannya.
4. Ketekunan
Ketekunan
belajar ini tampaknya bertalian dengan sikap dan minat terhadap pelajaran. Bila
suatu pelajaran karena suatu hal tidak menarik minatnya, maka ia segera
mengenyampingkannya bila menemui kesulitan. Ketekunan itu nyata dari jumlah
waktu yang diberikan oleh murid untuk belajar sesuatu memerlukan jumlah waktu
tertentu.
5. Waktu yang tersedia untuk belajar
Bahwa faktor
waktu sangat esensial untuk menguasai bahan pelajaran tertentu sepenuhnya.
Dengan mengizinkan waktu secukupnya setiap murid dapat menguasai bahan
pelajaran, jika waktunya sama bagi semua murid, maka tingkat penguasaan
ditentukan oleh bakat muridnya.
D. Penerapan Belajar Tuntas
Setelah guru
melakukan proses perencanaan maka tahap selanjutnya yaitu proses pelaksanaan
belajar tuntas. Pelaksanaan belajar tuntas terdiri atas langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Kegiatan orientasi.
Kegiatan ini
mengorientasi siswa terhadap strategi belajar tuntas yang berkenaan dengan
orientasi tentang apa yang akan dipelajari oleh siswa dalam jangka satu
semester dan cara belajar yang harus dilakukan oleh siswa. Dalam hal ini guru
menjelaskan keseluruhan bahan yang telah direncanakan dalam tabel spesifikasi,
lalu dilanjutkan dengan prates yang isinya sama dengan isi tes sumatif.
2. Kegiatan belajar mengajar.
Dalam kegiatan
belajar mengajar ini yang harus dilakukan oleh seorang guru yaitu (a) guru
memperkenalkan TIK pada satuan pelajaran yang akan dipelajari dengan cara
memperkenalkan tabel spesifikasi tentang arti dan cara mempergunakannya untuk
kepentingan bimbingan belajar atau menunjukkan topik umum atau konsep umum yang
akan dipelajari.
(b) penyajian
rencana kegiatan belajar mengajar beardasarkan standar kelompok. Dengan cara
ini para siswa akan terhindar dari kebingungan dan menumbuhkan gagasan tentang
strategi belajar yang perlu dilakukan sendiri. (c) penyajian pelajaran dalam
situasi kelompok berdasarkan satuan pelajaran. (d) malaksanakan diagnostic
progress test. (e) mengidentifikasi kemampuan belajar siswa yang telah
memuaskan dan yang belum memuaskan.
(f) menetapkan
siswa yang hasil belajarnya telah memuaskan. (g) memberikan kegiatan korektif
kepada siswa yang hasil belajarnya “belum memuaskan”. Ada tiga teknik yang
dapat dikembangkan yaitu: bantuan tutor teman sekelas, guru mengajarkan kembali
bahan yang berhubungan dengan pokok ujian apabila sebagian besar siswa belum
memuaskan. Siswa yang bersangkutan memilih sendiri daftar korektif yang telah
disediakan dan melakukannya secara
individual. (h) memonitor keefektifan kegiatan korektif. (i) menentapkan
kembali siswa yang hasil belajarnya memuaskan.
3. Menentukan tingkat
penguasaan bahan.
Setelah
pelajaran selesai dilakukan maka guru melakukan tes untuk mengetahui sejauh
mana kemmapuan siswa.
4. Memberikan atau
melaporkan kembali tingkat penguasaan setiap siswa.
Kegiatan ini
bertujuan agar mengetahui tingkat penguasaan setiap siswa. Mereka diberi tabel
spesifikasi, bahan yang sudah dikuasai diberi tanda M (mastery) sedangkan yang
belum diberi tanda NM ( non mastery).
5. Pengecekan keefektifan
keseluruhan program.
Keefektifan strategi belajar tuntas ditandai
berdasarkan hasil yang dicapai oleh siswa. Untuk itu ada dua cara yang dapat
ditempuh oleh guru:
(a)
membandingkan hasil yang dicapai oleh kelas yang menggunakan strategi belajar
tuntas dengan kelas yang menggunakan strategi lain. (b) terlebih dahulu membuat
hipotesis tentang hasil belajar jika menggunakan strategi belajar tuntas lalu
dibuktikan berdasarkan hasil belajar kelas senyatanya. Dengan cara demikian
maka dapat diketahui keefektifan keseluruhan program yang telah dilaksanakan.[5]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Belajar Tuntas
adalah suatu sistem belajar yang menginginkan sebagian besar peserta didik
dapat menguasai tujuan pembelajaran secara tuntas. Konsep Belajar Tuntas
sebagai cara belajar mengajar sangat menguntungkan bagi siswa karena setiap
siswa dapat dikembangkan secara optimal
Meskipun
strategi yang efektif untuk belajar tuntas baru dikembangkan pada tahun
1960-an, tetapi gagasan belajar untuk ketuntasan materi secara optimal sudah
dikenal lama. Pada tahun 1920-an terdapat sekurang-kurangnya dua upaya utama untuk
menghasilkan ketuntasan dalam kegiatan belajar siswa. Satu di antaranya adalah
the Winnetka Plan dari Carleton Washburne dan sejawatnya (1922), dan yang
lainnya adalah satu pendekatan yang dikembangkan oleh profesor Henry C.
Morrison (1926) di sekolah laboraturium pada the University of Chicago.
Ada beberapa
faktor yang mempengarui dalam belajar tuntas antara lain Bakat, Mutu pengajaran,
Kesanggupan untuk memahami pengajaran, Ketekunan, Waktu yang tersedia untuk
belajar selain beberapa faktor tersebut terdapat beberapa tahapan pelaksanaan
yaitu, Kegiatan orientasi, Kegiatan belajar mengajar, Menentukan tingkat
penguasaan bahan, Memberikan atau melaporkan kembali tingkat penguasaan setiap
siswa, Pengecekan keefektifan keseluruhan program.
Penutup
Apabila dalam
penulisan makalah masih banyak kekeliruan dan kekurangan penulis mengharapkan
kritik dan saran agar lebih baik untuk melaukan penulisan selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi Kegiatan
Belajar Mengajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993),
Suryosubroto B, Proses
belajar Mengajar di Sekolah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997)
Oemar Hamalik. 2001. Pendekatan Baru Strategi Belajar Mengajar
Berdasarkan CBSA. Bandung: Sinar Baru.
[1]http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195106011979031DIDI_TARSIDI/Makala%26Artikel_Tarsidi_PLB/BelajarTuntas.pdf
[2]Moh. Uzer Usman
dan Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1993),
[4]http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195106011979031DIDI_TARSIDI/Makala%26Artikel_Tarsidi_PLB/BelajarTuntas.pdf
[5] Oemar Hamalik.
2001. Pendekatan Baru Strategi Belajar Mengajar Berdasarkan CBSA. Bandung:
Sinar Baru. hal: 93
Komentar
Posting Komentar