PROFESIONALISME GURU SEBAGAI FOKUS PENDIDIKAN MORAL DAN KARAKTER

                                                                             BAB I

PENDAHULUAN

 

A.           Latar Belakang

Pendidikan merupakan bentuk investasi jangka panjang yang vital bagi hidup dan kehidupan manusia. Salah satu faktor utama kemajuan suatu bangsa dan negara terletak pada bidang pendidikan. Pendidikan yang baik dan berkarakter akan menciptakan manusia yang pantas dan berkelayakan ditengah masyarakat. Masyarakat memahami bahwa guru merupakan salah satu diantara sekian banyak unsur yang berpengaruh terhadap pembentukan karakter peserta didik.  Perkembangan dunia pendidikan bukan hanya membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang profesional di bidangnya.

Namun demikian, juga dibutuhkan SDM yang cerdas dan berkarakter. Sejalan dengan tuntutan kebutuhan tersebut, restrukturisasi pendidikan haruslah dilakukan. pendidikan tidaklah semata diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kapasitas intelektual tetapi juga harus memiliki multiple intelligence yang berbasis pendidikan karakter. Kegiatan pendidikan disekolah sepenuhnya berada dalam tanggung jawab para guru. Guru harus berupaya untuk mengelola seluruh proses pembelajaran disekolah yang menjadi lingkup tanggung jawabnya.

Dalam menghadapi tuntutan perkembangan zaman, guru memegang peranan yang sangat penting dan strategis dalam upaya membentuk karakter siswa dalam kerangka pembangunan manusia Indonesia, Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, profesi adalah suatu pekerjaan memerlukan keahlian, menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Keahlian diperoleh dari lembaga pendidikan yang khusus diperuntukkan untuk itu dengan kurikulum yang jelas serta dapat dipertanggung jawabkan.

Semakin dituntutnya profesionalitas seutuhnya. Tampaknya seorang guru, maka guru sebagai tenaga profesional tentunya harus memahami sosok guru yang profesional itu. Secara umum, sikap profesional seorang guru dilihat dari faktor luar. Akan tetapi, hal tersebut belum mencerminkan seberapa baik potensi yang dimiliki guru sebagai seorang tenaga pendidik, pengajar, dan pelatih. Potret Buram Pendidikan Karakter di Indonesia Pendidikan karakter yang diluncurkan oleh Kemendiknas sejak tahun 2010 belum mampu menekan tindak kekerasan dikalangan peserta didik.

Krisis karakter yang dialami bangsa ini membenarkan pendapat Mochtar Lubis (1997:123) tentang ciri manusia Indonesia antara lain: munafik, segan dan enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, berwatak lemah, tidak hemat, kurang gigih, dan tidak terbiasa bekerja keras. Pendapat tersebut kehadiran guru saat ini bahkan sampai akhir zaman nanti tidak akan pernah dapat digantikan oleh media secanggih apapun.

Oleh sebab itu, dewasa ini deperlukan guru yang profesional dan berkarakter dalam rangka menjawab problematika dunia pendidikan. Guru yang professional dan berkarakter diharapka secara berkesinambungan dapat meningkatkan kompetensinya, Tidaklah baik kompetensi sepenuhnya dapat dibenarkan karena sejarah mencatat pengorbanan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaannya yang menunjukkan jiwa nasionalisme yang tinggi.

B.            Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, pemakalah akan membahas yaitu:

1.      Indikator Guru Profesionalisme/Profesional, Syarat-Syarat Guru Profesional, Kewajiban Guru Profesional,  Pembinaan Guru yang Profesional Dan Berkarakter, Peran Strategis Guru Profesional Dalam Membangun Karakter.?

2.      Pengertian Moral, Moralitas Guru, Pendidikan Moral Disekolah. Peranan Guru Dalam Pembinaan Moral, Materi Pendidikan Moral, Metode Pendidikan Moral.?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Profesionalisme Guru

Istilah profesinalisme berasal dari Profession dalam Kamus Inggris Indonesia kata profession berarti pekerjaan. Arifin mengemukakan bahwa profession mengandung arti yang sama dengan kata occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan, khusus, Artinya suatu pekerjaan atau jabatan yang disebut profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, tetapi memerlukan persiapan melalui pendidikan dan pelatihan secara khusus

Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan  kehidupan  yang memerlukan   keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Menurut Rice dan Bhisoprick dan Glickman guru profesional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas- tugasnya sehari-hari. Profesionalisasi guru oleh kedua pasangan penulis  tersebut  dipandang sebagai suatu proses yang bergerak dari ketidak tahuan (ignorance) menjadi  tahu,  dari  ketidak  matangan  (immaturity)  menjadi  matang, dari diarahkan oleh orang lain (other-directendess) menjadi mengarahkan diri sendiri

Sedangkan Glicman menegaskan bahwa seseorang akan bekerja secara profesional bilamana orang tersebut memiliki kemampuan (ability) dan motivasi (motivation). Maksutnya adalah seseorang akan bekerja secara profesional bilamana ia memiliki kemampuan kerja yang tinggi dan kesungguhan hati untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, seseorang, tidak akan bekerja secara profesional bilamana hanya   memenuhi salah satu diantara salah satu di antara persyaratan di atas.

Jadi betapa pun tingginya kemempuan seseorang ia tidak akan bekerja secara perofesional apabila tidak memiliki motivasi kerja yang tinggi. Sebaliknya betapa pun tingginya motivasi kerja seseorang ia tidak akn sempurna dalam menyelesaikan tugas-tugasnya bilaman tidak di dukung oleh kemampuan. Adapun  pengertian  profesional  menurut  Uzer  Usman  adalah  “suatu pekerjaan  yang  bersifat  profesional  memerlukan  beberapa  bidang  ilmu  yang secara sengaja harus di pelajari dan kemudian di aplikasikan bagi kepentingan umum.

Pengertian yang lebih lengkap dan spesifik tentang guru dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Pada ketentuan umum pasal 1 ayat 1 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa guru adalah “pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan menengah”.

Dengan demikian tugas utama guru dalam melaksanakan profesinya terdiri dari mendidik, megajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan. Secara sederhana guru profesional adalah dia yang mampu mengendalikan fungsi otak dan hatinya untuk sesuatu yang bermanfaat dan bertanggung jawab. Ia hendak mendapatkan sebutan itu karena dia memang telah menjadikan dirinya contoh yang baik bagi murid-muridnya dia berdiri di hadapan murid-muridnya sebagia ikon kebaikan.

B.     Indikator Guru Profesionalisme/Profesional

Profesionalisme mempunyai indikator yang nantinya dapat dikembangkan menjadi pernyataan-pernyataan yang menjelaskan bahwa macam-macam indikator profesionalnya adalah sebagai berikut:

a.       Kompetensi pedagogik

1.      Menguasai karakteristik peserta didik.

2.      Menguasai teori dan prinsip-prinsip pembelajaran.

3.      Mengembangkan kurikulum dan rencana pembelajaran. dan.   Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik.

4.      Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasin (TIK) untuk kepentingan pembelajaran.

5.      Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik.

b.      Kompetensi professional

1.      Menguasai materi, struktur, konsep dan pola pikir keilmuan yang sesuai dan mendukung bidang keahlian/bidang studi yang diampu.

2.      Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasin (TIK) untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sesuai bidang studi yang diampu.

3.      Menguasai filosofi, metodologi, teknis, dan fraksis penelitian dan pengembangan ilmu yang sesuai dan mendukung bidang keahliannya.

4.      Mengembangkan diri dan kinerja profesionalitasnya dengan melakukan tindakan reflektif dan penggunaan TIK.

5.      Meningkatkan kinerja dan komitmen dalam pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat.

c.       Kompetensi kepribadian.

1.      Berjiwa pendidik dan bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia.

2.      Tampil sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia dan menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat.

3.      Tampil   sebagai   pribadi   yang   mantap, dewasa, stabil, dan berwibawa.

4.      Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab, rasa bangga sebagai tenaga pendidik dan rasa percaya diri.

d.      Kompetensi sosial.

1.      Bersikap inklusif dan bertindak obyektif.

2.      Beradaptasi dengan lingkungan tempat bertugas dan dengan lingkungan masyarakat.

3.      Berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan komunitas profesi sendiri maupun profesi lain, secara lisan dan tertulis atau bentuk lain.

4.      Berkomunikasi secara empatik dan santun dengan masyarakat luas

C.    Syarat-Syarat Guru Profesional

Kompetensi yang harus di miliki oleh seorang guru yang profesional meliputi:

a.       Kompetensi Pedagogik,

Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir dikemukakan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan perserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Lebih lanjut, dalam RPP tentang Guru dikemukakan bahwa Kompetensi Pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengolahan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi hal-hal sebagai berikut.

1.      Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, 2. Pemahaman terhadap peserta didik, 3. Pengembangan kurikulum/silabus, 4. Perancangan pembelajaran, 5. Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, 6. Pemanfaatan teknolgi pembelajaran, 7. Evaluasi hasil belajar (EHB), 8. Pengembangan   peserta   didik   untuk   mengaktualisasikan   berbagai potensi yang dimilikinya

Kompetensi pedagogik adalah pemahaman guru terhadap anak didik perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan anak didik untuk mengaktualisasikan sebagai kompetensi yang dimilikinya. Kompetensi pedagogik ini juga sering dimaknai sebagai kemampuan mengelola   pembelajaran,   yang   mana   mencakup   tentang   konsep   kesiapan mengajar,  yang  ditunujkkan  oleh  penguasaa  pengetahuan  dan  keterampilan mengajar.

Sub kompetensi dalam kompetensi Pedagogik adalah :

1.      Memahami peserta didik secara mendalam yang meliputi memahami peserta didik dengan memamfaatkan prinsip- prinsip perkembangan kognitif, prinsip-prinsip kepribadian, dan mengidentifikasi bekal ajar awal peserta didik.

2.      Merancang pembelajaran, termasuk memahami  landasan  pendidikan untuk kepentingan pembelajaran yang meliputi memahmi landasan pendidikan, menerapkan teori belajar dan pembelajaran, menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi ajar, serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih.

3.      Melaksanakan pembelajaran yang meliputi menata latar (setting) pembelajaran dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.

4.      Merancang  dan  melaksanakan  evaluasi  pembelajaran  yang  meliputi merancang dan melaksanakan evaluasi (assessment) proses dan hasil belajar secara berkesinambungan denga berbagaimetode, menganalisis hasil  evaluasi  proses  dan  hasil  belajar  untuk  menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery level), dan memamfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program  pembelajaran secara umum.

5.      Mengembangkan  peserta  didik  untuk  mengaktualisasikan  berbagai potensinya meliputi memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik, dan memfasilitasipeserta didik untuk mengembangkan  berbagai potensi non akademik.

b.      Kompetensi kepribadian

Kompetensi Kepribadian adalah kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Sub kompetensi dalam kompetensi kepribadian meliputi :

1.      Kepribadian yang mantap dan stabil meliputi bertindak sesuai dengan norma sosial, bangga menjadi guru, dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma.

2.      Kepribadian  yang  dewasa  yaitu  menampilkan  kemandirian  dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etod kerja sebagai guru.

3.      Kepribadian yang arif adalah menampilkan tindakan yang didasarkan pada          kemamfaatan   peserta   didik,   sekolah   dan   masyarakat   dan menunjukkan keterbukaan dalam berpikir danbertindak.

4.      Kepribadian   yang   berwibawa   meliputi   memiliki   perilaku   yang berpengaruh positif terhadappeserta didik dan memiliki perilaku yang disegani

5.      Berakhlak mulia dan dapat menjadi teladan meliputibertindak sesuai dengan  norma  religius  (imtaq,  jujur,  ikhlas,  suka  menolong)  dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik.

Ahli  lain  mencoba  mendeskripsikan  ciri-ciri  guru  yang  baik  (yang disenangi oleh siswa) adalah F.W. Hart, yang menunjukkan banyak ciri-ciri atau sifat guru yang disenangi siswanya. Dalam uraian ini akan diketengahkan sepuluh uraian yang diajukannya, yaitu :

1.      Guru senang membantu siswa dalam pekerjaan sekolah dan mampu menjelaskan isi pengajarannya secara mendalam dengan menggunakan bahasa yang efektif,  yang disertai contoh-contoh konkret

2.      Guru yang berperangai riang, berperasaan humor, dan rela menerima lelucon atas dirinya

3.      Bersikap bersahabat, merasa sorang anggota dari kelompok kelas atausekolahnya.

4.      Penuh perhatian kepada perorangan siswanya, berusaha memahami keadaan siswanya, danmenghargainya

5.      Bersikap   korektif   dalam   tindak   keguruannya   dan   mampu membangkitkan semangat serta keuletan belajarsiswanya

6.      Bertindak tegas, sanggup menguasai kelas, dan dapat membangkitkan rasa hormat dari siswa kepadagurunya

7.      Guru tidak pilih kasih dalam pergaulan dengan siswanya dan dalam tindakkeguruannya

8.      Guru tidak senang mencela, menghinakan siswa dan bertindak sarkastis

9.      Siswa   merasa   dan   mengakui   belajar   sesuatu   yang   bermakna darigurunya

10.  Secara     keseluruhan     guru     hendaknya     berkepribadian     yang menyenangkan siswa dan pantas menjadi panutan para siswa

c.       Kompetensi Sosial

Menurut Buchari Alma kompetensi sosial adalah kemampuan guru dalam berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah, Kompetensi sosial menurut Syaiful Sagala dalam bukunya kemampuan Profesional Guru dan tenaga Kependidikan terdiri dari sub kompetensi yaitu :

1.      Memahami dan  menghargai  perbedaan  serta  memiliki  kemampuan mengelola konflik danbenturan.

2.      Melaksanakan kerja sama secara harmonis.

3.      Membangun kerja team yang kompak, cerdas, dinamis danlincah

4.      Melaksanakan komunikasi secara efektif dan menyenangkan.

5.      Memiliki kemampuan memahami dan menginternalisasikan perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap tugasnya.

6.      Memiliki kemampuan menundukkan dirinya dalam system nilai yang berlaku dimasyarakat.

7.      Melaksanakan prinsip tata kelola yang baik

d.      Kompetensi Profesional

Guru adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada pendidikan. Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik dimasyarakat apabila  dapat  menunjukkan  kepada  masyarakat  bahwa  ia  layak menjadi  panutan  atau  teladan  masyarakat  sekelilingnya. 

Masyarakat terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang  patut diteladani atau tidak.   Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada anak didiknya, dan bagaimana cara guru berpakaian dan berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa, teman-temannya serta anggota masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas.

Walaupun segala perilaku guru selalu diperhatikan masyarakat, tetapi yang akan dibicarakan dalam bagian ini adalah khusus perilaku guru yang berhubungan dengan profesinya. Hal ini berhubungan dengan bagaimana pola tingkah laku guru dalam memahami, menghayati, serta mengamalkan sikap kemampuan dan sikap profesinoalnya. Guru profesional  adalah  guru  yang  mengenal tentang  dirinya. Yaitu, dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik dalam belajar.

Guru dituntut mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya peserta didik itu belajar. Maka, apabila ada kegagalan peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan penyebabnya dan mencari jalan keluar bersama peserta didik bukan mendiamkannya atau malahan menyalahakannya. Sikap  yang harus senantiasa dipupuk adalah kesediaan untuk mengenal diri dan kehendak untuk memurnikan keguruannya. Mau  belajar  dengan  meluangkan  waktu  untuk  menjadi  guru. Seorang guru yang tidak bersedia belajar, tak mungkin kerasan dan bangga menjadi guru. Kerasan dan kebanggaan atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru professional

D.    Kewajiban Guru Profesional

Sebagai guru profesional, dalam melakukan tugas keprofesionalan, menurut UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 20, seperti yang disampaikan Djaali dalam Nasional Forum Komunikasi Pasca Sarjana LPTKN di Manado 14 Mei 2011, maka guru dituntuk memiliki kewajiban yaitu:

1.      Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.

2.      Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

3.      Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran.

4.      Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika.

5.      Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

E.     Pembinaan Guru yang Profesional Dan Berkarakter

Kualitas pendidikan suatu bangsa bergantung pada kualitas gurunya dan kualitas guru ditentukan oleh keinginan guru itu dalam meningkatkan kualitasnya. Pendidikan yang unggul tidak lepas dari peran guru yang unggul pula, sehingga menghargai sekaligus memberdayakan guru dalam konteks reformasi pendidikan wajib hukumnya. Pembinaan dan pengembangan guru yang profesional diwarnai oleh lahirnya Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Undang Undang ini lahir dengan pertimbangan bahwa pembangunan nasional dalam bidang pendidikan merupakan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni menuju masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Selain itu, dalam rangka menjamin perluasan dan pemerataan akses pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan zaman. Hal ini dilakukan dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah dan berkesinambungan.

Guru mempunyai peran dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional khususnya dalam bidang pendidikan. Dalam UU tersebut guru didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Dengan ditegaskannya sebagai pekerjaan profesional, otomotis menuntut adanya prinsip profesionalitas yang selayaknya dijungjung tinggi dan dipraktekan oleh para guru.

Seorang guru hendaknya memiliki kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi yang jelas. faktor kompetensi sebagai seorang pendidik sangatlah penting, terlebih objek yang menjadi sasaran pekerjaanya adalah peserta didik yang diibaratkan kertas putih. Gurulah yang akan menentukan apa yang hendak dituangkan dalam kertas tersebut, berkualitas tidanya bergantung kepada sejauhmana guru bisa menempatkan dirinya sebagai pendidik yang memiliki kapasitas dan kompetensi profesional dalam mengarahkan individu-individu menjadi sosok yang memiliki karakter dan mentalitas yang bisa diandalkan dalam proses pembangunan bangsa.

Dalam tataran normatif betapa mulia dan strategisnya kedudukan guru. Namun, dalam realitas dilapangan tidak sedikit guru yang tidak mencerminkan peran strategisnya sebagai guru, bahkan ia jauh dari garis jati diri keguruannya. Penyimpangan-penyimpangan moral, tampilan kepribadian yang tidak sewajarnya, landasan penguasaan norma- norma agama yang lemah dan sejumlah patologi sosial lainya tidak jarang kita temukan. 

Banyak faktor yang memengaruhi hal tersebut terjadi. Jika hal ini   dibiarkan   dapat   memberikan   ekses buruk bagi dunia pendidikan, khususnya terhadap kualitas lulusan dan output pendidikan serta karakter masyarakat sebagai objek pendidikan. Proses pendidikan masih   jauh dari tujuanya, sehingga menjadi sangat urgen untuk dilakukan sebuah upaya strategis dalam mempersiapkan sosok guru yang mampu menjadi panutan dan melaksanakan profesinya secara profesional sehingga ia bisa diandalkan dan diteladani oleh siswanya.

Berangkat dari uraian diatas, maka jelaslah bahwa guru sebagai entitas strategis dalam upaya membentuk karakter bangsa yang memiliki jati diri dan bermartabat ditengah-tengah bangsa lainnya sangat diperlukan peranannya. Di sisi lain pembinaan profesionalisme guru menjadi hal yang sangat urgen dan mendesak untuk dikembangkan dengan mengintegrasikan pendidikan karakter sebagai fundasi arah pembinaan. Selain profesionalitas guru, faktor lain yang harus dikaji ulang adalah profesionalitas pengelola pendidikan, sebab sekolah merupakan institusi tempat pendidikan berlangsung.

Berdasarkan pandangan sosial, sekolah merupakan institusi sosial yang tidak berdiri sendiri. Sebagai institusi sosial, sekolah bukanlah tempat yang steril dari pengaruh luar. Siswa datang dari keluarga dan masyarakat yang berbeda-beda. Oleh karena itu, sekolah tidak dapat dipisahkan dari masyarakatnya, bahkan sekolah merupakan miniature dari masyarakat lingkungannya dalam rangka membangun guru yang profesional perlu adanya Lembaga Pendidikan tanaga Kependidikan (LPTK) yang profesional pula sehingga mampu mencetak calon guru yang professional.

 Selanjutnya, mereka yang diamanahi menjadi profesional itu harus dibingkai oleh seperangkat nilai khusunya nilai agama. Oleh karena itu, kompetensi dalam bidang pendidikan karakter harus menjadi bagian integral dalam diri setiap lulusan calon guru. Mata pelajaran apapun yang diampuh dapat memberikan kontribusi langsung bagi pembentukan karakter generasi bangsa. Dengan demikian, krisis moral dan akhlak generasi bangsa yang kini kian menghawatirkan segera teratasi melalui gerakan kolektif dari semua guru profesional berbasis pendidikan karakter.

Hal diatas sejalan dengan pendapat Ida S. Widayanti dalam bukunya Mendidik Karakter dengan Karakter. Dalam bukunya beliau mengutip pendapat Daniel Goleman yang mengatakan bahwa di dalam otak manusia terdapat banyak syaraf cermin (mirror neuron) yang dapat memantulkan aktivitas orang lain. Tanpa disadari manusia akan saling menyalin ekspresi wajah, pola napas, gerak tubuh, dan sifat secara menular.

Dalam hal pembangunan karakter, peran role model dari guru dan orang-orang yang berpengaruh di masyarakat memiliki andil 40%, penanaman nilai 25%, dan penegakan sistem 35%. Yang menjadi problem adalah tantangan orang tua, guru, dalam mendidik karakter saat ini adalah datang dari berbagai pihak antara lain: para politisi, pejabat negara, dan artis. Fakta memperlihatkan kasus-kasus pelanggaran nilai dilakukan oleh politikus pejabat negara, dan artis. 

Hal ini tentu akan berdampak serius pada karakter anak yang telah dibangun oleh orang tua dan pendidik Profesionalisme guru yang harus dibangun oleh Lembaga Pendidikan tanaga Kependidikan (LPTK) adalah guru yang memiliki kompetensi paedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. Hal tersebut sesuai dengan UU no. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, PP no,74 tahun 2008, dan Permendiknas no.16 tahun 2007.

Lutfi (2009:140) menegaskan bahwa Lembaga Pendidikan tanaga Kependidikan (LPTK) diharapkan mampu membentuk guru yang memiliki  kriteria-kriteria seperti: profesi guru sebagai panggilan jiwa, memiliki pengetahuan  dan kecakapan, memiliki jiwa pengabdian, memiliki kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif, otonomi, dan memahami kode etik profesi.

F.     Peran Strategis Guru Profesional Dalam Membangun Karakter

Sebagai  pekerjaan  profesional,  guru memiliki ragam tugas, baik yang terkait dengan tugas kedinasan maupun diluar dinas dalam bentuk pengabdian. Jika dikelompokan, terdapat tiga jenis tugas guru, yakni tugas dalam bentuk profesi, tugas kemanusiaan, dan tugas dalam bidang kemasyarakatan. Guru merupakan profesi yang memerlukan keahilian khusus sebagai  guru. 

Jenis  pekerjaan  ini  tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan, walaupun kenyataanya tidak  sedikit dilakukan oleh orang  diluar  kependidikan.  Oleh karena itu, jenis profesi ini paling mudah terkena pencemaran. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup serta mengembangkan karakter individu.

Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada individu yang menjadi peserta didik. Adapun tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga menjadi   idola   para peserta didiknya. Pelajaran apa pun yang diberikan, hendaknya dapat menjadi motivasi bagi peserta didiknya dalam belajar.

Bila dalam penampilanya sudah tidak menarik, maka kegagalan pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pembelajaran itu kepada para peserta didiknya.  Mereka  akan  enggan menghadapi guru yang tidak menarik. Guru pada hakikatnya merupakan komponen strategis yang memiliki peran penting dalam proses pembangunan suatu bangsa.

Keberadaan guru  merupakan faktor yang tidak mungkin digantikan oleh komponen manapun dalam kehidupan bangsa sejak dahulu, terlebih pada era kontemporer ini. Keberadaan guru bagi suatu bangsa sangatlah penting, terlebih bagi keberlangsungan hidup bangsa di tengah-tengah lintasan perjalanan zaman dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian mutakhir dan mendorong perubahan disegala ranah kehidupan, termasuk  perubahan  tata  nilai  yang menjadi fundasi karakter bangsa.

Hipotesisnya adalah semakin optimal guru melaksanakan fungsinya, maka semakin terjamin dan terbinanya kesiapan dan keandalan seseorang sebagai manusia yang diandalkan dalam pembangunan bangsa. Dengan kata lain, potret dan wajah diri bangsa di masa depan tercermin dari potret diri para guru masa kini. Gerak maju dinamika kehidupan bangsa berbanding lurus dengan citra para guru di tengah- tengah masyarakat dewasa ini.

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya,  berdasarkan  UU  No 14 tahun 2005 pasal 20, maka guru berkewajiban untuk: 1. merencanakan  pembelajaran, melaksanakan  proses  pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; 2. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetauan, teknologi dan seni; 3. Bertindak objektif dan       tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras dan kondisi fisik tertentu atau latar belakang keluarga   dan   status   sosial   ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; 4. menjungjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum dan kode etik guru serta nilai-nilai agama dan etika;

5. Memelihara dan memupuk  persatuan dan kesatuan bangsa. Sedangkan peranan dan kompetensi guru dalam proses belajar-mengajar meliputi banyak hal sebagaimana yang dikemukakan oleh Adams & Decey dalam Basic Principles of Student Teaching, antara lain guru sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor, perencana, superpisor, motivator, dan konselor. Yang  akan  dipaparkan  disini adalah peranan yang dianggap paling dominan sebagaimana dikemukakan oleh Usman (2001:9-11) sebagai berikut.

 

1.      Guru sebagai demonstrator

Melalui peranannya sebagai demonstrator, lecturer, atau pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pembelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa mengembangkannya karena hal ini akan sangat menentukan hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Salah satu yang harus diperhatikan  oleh  guru  bahwa  ia  sendiri /adalah  pelajar.  Ini  berarti  bahwa  guru harus belajar terus-menerus. Dengan cara demikian ia akan memperkaya dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan sebagai bekal dalam melaksanakan tugasnnya sebagai pengajar dan demonstrator, sehingga mampu memperagakan apa yang diajarkannya secara didaktis.

Seorang guru juga hendaknya mampu memahami kurikulum, dan dia sendiri sebagai sumber belajar, terampil dalam memberikan informasi kepada siswa. Sebagai pengajar ia pun harus membantu perkembangan anak didik untuk dapat menerima, memahami, serta menguasai ilmu pengetahuan. Untuk itu, guru hendaknya  mampu  memotivasi  siswa untuk senantiasa belajar dalam berbagai kesempatan.

2.      Guru sebagai pengelola kelas

Dalam peranannya sebagai pengelola kelas (learning manager), guru hendaknya mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar, serta merupakan aspek dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisasi. Lingkungan ini diatur dan diawasi agar kegiatan-kegiatan belajar terarah kepada tujuan pendidikan. Kualitas dan kuantitas belajar siswa di dalam kelas bergantung pada banyak faktor, antara lain adalah   guru,   hubungan   pribadi   antara siswa di dalam kelas serta kondisi umum dan suasana didalam kelas.

Tujuan umum pengelolaan kelas ialah menyediakan dan menggunakan fasilitas kelas untuk bermacam-macam kegiatan belajar mengajar agar mencapai hasil yang baik, sedangkan tujuan khusunya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasil yang diharapkan.Sebagai manager guru bertanggung jawab memelihara lingkungan fisik kelasnya agar senantiasa menyenangkan untuk belajar dan mengarahkan proses- proses intelektual dan sosial di dalam kelasnya.

Dengan demikian guru tidak hanya memungkinkan siswa belajar, tetapi juga mengembangkan kebiasaan bekerja dan belajar secara efektif di kalangan siswa. Tanggung jawab yang lain sebagai manager yang penting bagi guru ialah membimbing pengalaman-pengalaman siswa sehari-hari ke arah self directerd behavior.  Salah  satu  menagemen  kelas yang  baik  adalah  menyediakan kesempatan bagi siswa untuk sedikit demi sedikit  mengurangi  ketergantungannya para guru sehingga mereka mampu membimbing kegiatannya sendiri.

Siswa harus belajar melakukan self control dan self activity melalui proses bertahap. Sebagai manager guru hendaknya mampu memimpin kegiatan belajar yang efektif serta efisien dengan hasil optimal. Guru hendaknya mampu mempergunakan pengetahuan tentang teori belajar dan teori perkembagan sehingga kemungkinan untuk menciptakan  situasi  belajar- mengajar yang menimbulkan kegiatan belajar pada siswa akan mudah dilaksanakan dan sekaligus memudahkan pencapaian tujuan yang diharapkan.

3.      Guru sebagai mediator dan fasilitator

Sebagai    mediator    guru    hendaknya memiliki   pengetahuan   dan   pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena media pendidikan merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar-mengajar. Dengan demikian media  pendidikan  merupakn  dasar  yang sangat diperlukan yang bersifat melengkapi dan merupakan bagian integral demi berhasilnya proses pendidikan dan pengajaran disekolah.Sebagai mediator guru pun menjadi perantara dalam hubungan antar manusia.Berdasarkan hal tersebut di atas, guru harus terampil mempergunakan pengetahuan tentang cara berinteraksi dan berkomunikasi.

Tujuannya agar guru dapat menciptakan secara maksimal kualitas lingkungan yang interaktif. Dalam hal ini ada tiga macam kegiatan yang dapat dilakukan oleh guru, yaitu mendorong berlangsungnya tingkah laku sosial yang baik, mengembangkan gaya interaksi pribadi, dan menumbuhkan   hubungan yang positif dengan para siswa. Sebagai fasilitator, guru hendaknya mampu mengusahakan  sumber  belajar  yang berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses belajar mengajar, baik yang berupa narasumber, buku teks, majalah, internet, atau pun surat kabar.

4.      Guru sebagai evaluator

Dalam  proses  belajar-mengajar  yang dilakukan,  guru  hendaknya  menjadi seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi yang diajarkan sudah cukup tepat. Semua pertanyaan tersebut akan dapat dijawab melalui kegiatan evaluasi atau penilaian. Dengan penilaian, guru dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta ketepatan atau keefektifan metode belajar.

Tujuan lain dari penilaian diantaranya adalah untuk mengetahui kedudukan siswa di dalam kelas atau kelompoknya. Dengan penilaian guru dapat mengklasifikasikan seorang siswa termasuk kelompok siswa yang pandai, sedang, kurang, atau cukup baik dikelasnya, jika dibandingkan dengan teman-temannya. Dengan menelaah pencapaian tujuan pelajaran, guru dapat mengetahui apakah proses belajar yang dilakukan cukup efektif memberikan hasil yang baik dan memuaskan, atau sebaliknya.

Jadi jelaslah bahwa guru hendaknya mampu dan terampil melaksanakan penilaian karena dengan penilaian guru dapat mengetahui prestasi yang dicapai oleh siswa setelah ia melaksanakan proses belajar. Dalam fungsinya sebagai penilai hasil belajar siswa, guru hendaknya terus menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu.

Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini merupakan umpan balik (feedback) terhadap proses belajar mengajar. Umpan balik ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar-mengajar selanjutnya. Dengan demikian proses belajar mengajar akan terus menerus ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal.

5.      Peran  guru  dalam pengadministrasian

Dalam hubungannya dengan pengadministrasian, seorang guru dapat berperan sebagai berikut. 1. Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilaian kegiatan-kegiatan pendidikan. Hal ini berarti guru turut serta memikirkan kegiatan-kegiatan pendidikan yang direncanakan serta nilainya. 2. Wakil masyarakat yang berarti dalam lingkungan sekolah, guru menjadi anggota suatu masyarakat. Guru harus mencerminkan suasana dan kemauan masyarakat dalam arti yang baik. 3. Orang yang ahli dalam mata pelajaran. Guru bertanggung jawab untuk mewariskan  kebudayaan  kepada generasi muda  yang berupa pengetahuan.

4. Penegak disiplin, guru harus menjaga agar tercapai suatu disiplin. 5. Pelaksana administrasi pendidikan, disamping menjadi pengajar, guru pun bertanggung jawab akan kelancaran jalannya pendidikan dan ia harus mampu melaksanakan  kegiatan- kegiatan administrasi. 6. Pemimpin generasi muda, masa depan generasi muda terletak ditangan guru. Guru  berperan  sebagai  pemimpin mereka  dalam  mempersiapkan  diri untuk anggota masyarakat yang dewasa. 7. Penerjemah kepada masyarakat, artinya guru berperan untuk menyampaikan segala perkembangan kemajuan dunia sekitar kepada masyarakat, khususnya masalahmasalah pendidikan.

6.      Peran guru secara pribadi

Dilihat  dari  segi  dirinya  sendiri  (self oriental),  seorang  guru  harus  berperan sebagai berikut. 1. Petugas sosial, yaitu seorang yang harus membantu untuk kepentingan masyarakat. Dalam kegiatan-kegiatan masyarakat guru senantiasa merupakan petugas-petugas yang dapat dipercaya untuk berpartisipasi di dalamnya. 2. Pelajar  dan  ilmuwan,  yaitu  senantiasa terus menerus menuntut ilmu pengetahuan. Dengan berbagai cara setiap saat guru senantiasa belajar untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan.

3. Orang  tua,  yaitu  mewakili  orang  tua murid di sekolah dalam pendidikan anaknya. Sekolah merupakan lembaga pendidikan sesudah keluarga, sehingga dalam arti luas sekolah merupakan keluarga, guru berperan sebagai orang tua bagi siswasiswanya. 4. Teladan, yaitu senantiasa menjadi teladan yang baik untuk siswa. Guru menjadi ukuran norma-norma tingkah laku dimata siswa. 5. Pencari  keamanan, yaitu  yang senantiasa mencarikan rasa aman bagi siswa. Guru 6.  menjadi tempat berlindung bagi siswa- siswa untuk memperoleh rasa aman dan puas didalamnya.

7.      Peran guru secara psikologis

Peran   guru   secara   psikologis,   guru dipandang sebagai berikut. 1. Ahli psikologi pendidikan, yaitu petugas psikologi pendidikan, yang melaksanakan tugasnya atas dasar prinsip-prinsip psikologi. 2. Seniman dalam hubungan antarmanusia (artist in human relation), yaitu orang yang mampu membuat hubungan antarmanusia untuk tujuan tertentu, dengan menggunakan teknik tertentu, khususnya dalam kegiatan pendidikan.

3. Pembentuk kelompok sebagai jalan atau alat dalam pendidikan. 4. Catalytic  agent, yaitu orang yang mempunyai pengaruh dalam menimbulkan  pembaharuan.  Sering pula peranan ini disebut sebagai inovator (pembaharu). 5. Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker) yang bertanggung jawab terhadap pembinaan kesehatan mental khususnya kesehatan mental siswa.

 

G.    Pengertian Moral

Istilah “moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan, yang kemudian berarti kaidah-kaidah tingkah laku. Seorang individu yang tingkah lakunya mentaati kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat disebut baik secara moral, dan jika sebaliknya, ia disebut jelek secara moral (immoral). Dengan demikian moral selalu berhubungan dengan nilainilai. Akan tetapi tidak semua nilai itu merupakan nilai moral, ada macammacam nilai: nilai Logis (benar-salah), nilai estetis (indah-indah), nilai tika atau nilai moral (baik-buruk).

“Menurut Shaffer Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Kemudian Rogers berpendapat bahwa Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya di mana individu sebagai anggota sosial.

Moralitas merupakan aspek keperibadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan” Dijelaskan pula dalam Kamus besar bahasa Indonesia Moral merupakan ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, dan susil,

Sedangkan menurut Purwadarminto di dalam bukunya Enung Fatimah Moral adalah “Ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.

Dalam kaitannya dengan pengalaman nilai-nilai hidup, maka moral merupakan kontrol dalam sikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud”. Secara singkat moral merupakan suatu norma yang sifatnya kesadaran atau keinsyafan terhadap suatu kewajiban melakukan sesuatu atau keharusan untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan tertentu yang dinilai masyarakat melanggar norma-norma moral

H.    Moralitas Guru

Moral merupakan suatu kesatuan sosial dan linkungan yang ukuran-ukuran kebaikannya disesuaikan dengan tindakan yang diterima oleh umum. Secarasederhana moral dapat diartikan baik buruknya pribadi seseorang dalammemperlakukan orang lain. Guru merupakan pendidik yang memiliki tugas untukmengembangkan karakter dan kepribadian siswa.

Sebagai profesi yang mengembantugas untuk membentuk dan mengembangkan karakter dan moral siswa, tentunyaseorang guru diharapkan mampu menjaga sikap dan perilakunya karena gurumerupakan role model bagi siswa, keluarga dan masyarakat sekitar. Moral berkaitandengan moralitas, yang mana berhubungan dengan etika dan sopan santun.

Moralitas bisa berasal dari agama, ideology, budaya, tradisi, maupun gabungan dari beberapa sumber. Oleh sebab itulah sebagai seorang guru sudah sepatutnya untuk menjadi panutandan teladan, sebagaimana kata guru itu sendiri memiliki makna digugu dan ditiru. Citra pahlawan tanpa tanda jasa yang sejak dahulu melekat pada seorang guru disematkan oleh masyarakat mengharuskannya untuk terus menjaga moralitasnya. Moralitas negatif pada seorang guru secara tidak langsung akan berimbas pada moralitas siswa yang dididiknya, begitupun sebaliknya bila seorang guru memiliki moralitas yang baik.

Kode etik guru Indonesia menggambarkan bentukmoral dan etika sebagai pendidik sumber daya manusia Indonesia menjadi panduan dalam bersikap dan berprilakudalam melaksanakan tugas keprofesiannya. Berdasarkan Permendiknas nomor 16 tahun 2007, seorang guru wajib menguasai empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensisosial dan kompetensi profesional. Berdasarkan Permendiknas tersebut, moralitas sseorang guru tertuang pada kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial.

Kompetensi kepribadian tersebut menuntut guru memiliki kepribadian yang teladandan jauh sebab-sebab yang bisa merusak citra guru. Sedangkan, kompetensi sosialmenuntut guru memiliki hubungan baik dengan masyarakat sekitar, serta dapatmenjadi teladan bagi lingkungan sekitar

I.       Pendidikan Moral Disekolah

Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidik utama di sekolah adalah guru. Walaupun demikian, perlu disadari bahwa pendidik moral di sekolah tidak terbatas pada guru semata. Di sekolah ada pegawai tata usaha, pramu kantor, tukang kebun, dan komite sekolah. Semua subjek tersebut berperan untuk bersama-sama membangun moral siswa agar menjadi orang yang baik. Guru yang baik tentu saja sangat strategis untuk terbentuknya moral siswa yang baik pula.

Sebagaimana dinyatakan oleh Henry Giroux (1988) sekolah berfungsi sebagai ruang publik yang demokratis. Sekolah sebagai tempat demokratis yang didedikasikan untuk membentuk pemberdayaan diri dan sosial. Dalam arti ini, sekolah adalah tempat publik bagi peserta didik untuk dapat belajar pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk hidup dalam demokrasi yang sesungguhnya.

Sekolah bukan sebagai perluasan tempat kerja atau sebagai lembaga garis depan dalam pertempuran pasar internasional dan kompetisi asing, sekolah sebagai ruang publik yang demokratis dibangun untuk membentuk siswa dapat mengajukan pertanyaan kritis, menghargai dialog yang bermakna dan menjadi agensi kemanusiaan.

Peserta didik belajar wacana tentang organisasi umum dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks inilah, guru berfungsi untuk mewujudkan peserta didik agar menjadi warga negara yang aktif dalam masyarakat yang demokratis. Hal tersebut juga diamanatkan di dalam tujuan pendidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

 Selain itu guru juga bertugas untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia dalam diri peserta didik, Oleh karena guru adalah ujung tombak untuk mewujudkan moral yang baik dalam diri peserta didik, maka guru terlebih dahulu harus bermoral baik pula. Dengan demikian, pendidikan moral yang dilaksanakan oleh guru akan lebih mudah diterima dan diteladani oleh para peserta didiknya

J.      Peranan Guru Dalam Pembinaan Moral

1.      Peranan Sebagai Pembimbing

Peran guru sebagai pembimbing harus diutamakan, karena kehadiran guru di sekolah adalah untuk membimbing siswa (peserta didik) menjadi manusia dewasa yang cakap tutur kata, perilaku yang baik, sikap dan tindakan yang diperlukan peserta didik bagi perkembangannya. Tanpa bimbingan siswa akan mengalami kesulitan dalam menghadapi perkembangan dirinya yang dipengaruhi lingkungan siswa berdomisili. Kekurang mampuan siswa menyebabkan lebih banyak tergantung pada guru untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Kemudian peranan guru sebagai pembimbing dalam kelas adalah kegiatanbelajar mengajar yang merupakan kegiatan yang utama dan sangat diperlukan. Selainmelaksanakan tugas mengajar, melatih dan yang tidak kalah penting adalah mendidikperilaku siswa (peserta didik) supaya tidak nakal atau tingkah lakunya tidakmelanggar norma-norma di sekolah.

2.      Peran Sebagai Motivator

Motivator adalah memberikan pelajaran siswa tentang kebaikan, hal ini merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan agar dapat berjalan tidak menyimpang dari yang tujuan diharapkan. Dalam dunia pendidikan, motivator adalah hal yang senantiasa mesti dilakukan agar siswa tidak menyimpang dari tujuan yang diinginkan. Salah satu peranan yang dilukan guru dalam pembinaan moral sisa adalah tidak bosan-bosannya guru memberikan nasehat kepada siswanya

3.      Peran Sebagai Model

Peran guru sebagai model, dalam hal ini tentu berkaitan dengan action dan performent. Guru selain melaksanakan tugas mengajar, melatih, mendidik juga menjadi suri tauladan atau memberi contoh yang baik kepada siswa agar tingkah lakunya sesuai dengan norma-norma yang berlaku dilingkungan sekolah.

4.      Peran Sebagai Komunikator

Sebagai pengajar dan pendidik, guru membutuhkan komunikasi dengan berbagai pihak seperti kepala sekolah, wakil kepala sekolah bagian kesiswaan, sesama guru dan siswa. Guru dalam melaksanakan peran sebagai komunikator harus bisa menjadi sahabat dan menasehati siswa yang melakukan pelanggaran di sekolah.

Guru yang baik harus bisa menjadi sahabat dan orang tua yang mengarahkan dan membimbing siswa dalam menambah pengetahuan dan mendidik tingkah laku agar siswa bertingkah laku yang baik dan berakhlak mulia baik di linggkup sekolah maupun lingkup masyarakat nantinya.

Seorang guru (pendidik) apabila mengetahui siswanya melakukan pelanggaran seperti membolos, melanggar tata tertib, berkelahi, membawa rokok dan mengoleksi gambar porno tentu saja akan mengambil tindakan pencegahan supaya siswa tidak melakukan pelanggaran dan mengulanginya. Guru juga tidak harus membenci siswa yang melakukan pelanggaran melainkan harus memberikan pembinaan atau perhatian khusus terhadap siswa untuk mengetahui masalah dan penyebab mereka melakukan pelanggaran dan mereka tidak ragu-ragu dalam menyampai masalah yang dialaminya

K.    Materi Pendidikan Moral

Pada intinya materi pendidikan moral mencakup ajaran dan pengalaman belajar untuk menjadi orang bermoral dalam kaitan dengan diri sendiri, moral terhadap sesama manusia dan alam semesta serta moral terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Zuriah, 2010). Pendidikan moral terhadap diri sendiri yang penting diberikan kepada peserta didik berkaitan dengan nilainilai kebersihan diri, kerajinan dalam belajar/bekerja, keuletan, disiplin waktu.

Pendidikan moral untuk sesama manusia mencakup nilai-nilai moral sosial seperti kerjasama, toleransi, respek, berlaku adil, jujur, rendah hati, tanggung jawab, dan peduli. Pendidikan moral untuk hubungan manusia dengan alam semesta dapat diberikan dengan menguatkan nilai-nilai keseimbangan alam, menjaga kelestarian alam, tidak merusak alam, hemat, dan mendidik untuk menggunakan kembali barang-barang bekas (daur ulang) dalam bentuk yang baru.

Pendidikan moral untuk hubungan manusia dengan Sang Khalik penting dilaksanakan terlebih Indonesia adalah negara yang berketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 UUD 1945). Indonesia berbeda dengan negara sekuler dan negara komunis. Pendidikan agama yang didalamnya sarat dengan nilai-nilai moral diberi tempat yang khusus dan penting.

Nilai-nilai moral yang diajarkan di dalam ajaran agama menjadi sumber nilai bagi kehidupan masyarakat Indonesia sehingga disekolah pun nilai-nilai moral agama tetap diberi tempat khusus sebagaimana telah dimasukkan dalam kurikulum, baik intra maupun ekstra kurikuler. Hanya saja perlu diwaspadai nilai-nilai moral agama harus dibarengi dengan sikap untuk tetap bertoleransi. Demikian itu dinyatakan oleh Sukarno (Bahar, 1995: 16) sebagai ketuhanan yang berkebudayaan, yaitu ketuhanan dengan dasar toleransi, tidak ada egoisme agama

L.     Metode Pendidikan Moral

Kirschenbaum (1995: 31) mengusulkan 100 cara atau metode pendidikan moral, yang dipayungi dalam lima kategori besar metode pendidikan moral yaitu penanaman (inkulkasi) nilai-nilai dan moralitas, modeling nilainilai dan moralitas, fasilitasi nilai-nilai dan moralitas, kecakapan untuk mengembangkan nilai dan melek moral, pelaksanaan program pendidikan nilai di sekolah.

Pendidikan moral pada masa sekarang menghadapi berbagai tantangan seiring dengan kemajuan zaman yang ditandai oleh keterbukaan informasi dan kecanggihan teknologi. Hal ini tentu berbeda sekali dengan masa lalu. Di lingkungan masyarakat religius tradisional, moral diwariskan kepada generasi berikutnya secara given yaitu indoktrinasi. Artinya suatu ajaran moral harus diterima karena memang sejak dahulu diajarkan demikian. Setelah itu, ajaran tersebut dilaksanakan. Peran akal sebatas berupaya memahami alasannya dan konsekuensinya.

Anak-anak yang hidup sekarang ini hidup di zaman modern akhir yang sangat jauh berbeda cara berpikir dan perilakunya dengan anak-anak di masa lalu. Indoktrinasi dipandang para ahli sebagai metode yang sudah usang dan tidak sejalan dengan semangat modern tersebut. Maka, ada metode lain yang lebih sesuai yaitu inkulkasi atau penanaman nilai

1.      Inkulkasi nilai,

Metode ini dapat dilaksanakan dalam pembelajaran moral di sekolah maupun di dalam keluarga dengan berbagai cara. Kirschenbaum mengetengahkan 34 cara inkulkasi nilai, di antaranya adalah identifikasi nilainilai target, membaca buku-buku sastra dan non-fiksi, bercerita. Program pendidikan moral dengan cara inkulkasi nilai dimulai dengan mengidentifikasi secara jelas nilai-nilai apa yang diharapkan akan tertanam dalam diri subjek didik.

Hasilnya adalah “nilai-nilai target” yang akan dicapai dalam program pendidikan moral. Misalnya, Baltimore County Public Schools mengidentifikasi “nilai-nilai inti” bagi sekolah mereka (sekolah dasar), yaitu: keramahan, kejujuran, tanggung jawab, warga negara yang bertanggung jawab, toleransi, patriotisme, belas kasih.

 Kementerian Pendidikan Kanada menyusun nilai-nilai target bagi tingkat sekolah dasar dan SMP yaitu: belas kasih, kerja sama, sabar, damai, ramah, kebebasan, murah hati, jujur, adil, setia, moderat, menghargai lingkungan hidup, menghargai orang lain, menghargai diri sendiri, tanggung jawab, disiplin diri, peka, toleransi.

Membaca buku-buku sastra (novel, cerpen, dsb) dan non-fiksi (biografi, kisah perjalanan/petualangan, dsb) dapat menjadi salah satu cara ampuh untuk menanamkan nilai-nilai dan moralitas dalam diri subjek didik. Misalnya, Diary of a Young Girl, karya Anne Frank yang ditulis dalam persembunyiannya ketika zaman Nazi mengandung pembelajaran moral yang sangat kuat tentang belas kasih dan toleransi.

Setelah membaca buku-buku tersebut, guru dan siswa dapat mengungkapkan nilai-nilai dan masalah-masalah moral yang terdapat di dalam bacaan tersebut. Memberikan buku-buku yang bermutu, buku cerita dan artikel untuk dibaca para siswa adalah cara yang mudah dan penting untuk membangun nilai moral dalam diri siswa, disamping juga akan meningkatkan tujuan pembelajaran secara akademik.

Strategi lainnya adalah dengan bercerita (story telling) dimulai dari rumah atau keluarga, tetapi dapat juga dilakukan di sekolah, terutama di sekolah-sekolah dasar. Pada zaman dahulu, sebelum tidur anak-anak diceritakan kisah-kisah yang ajaib dari negeri dongeng sebagai pengantar tidur sekaligus pendidikan moral. Biasanya cerita-cerita tentang binatang seperti Si Kancil dan Buaya, Si Kancil dan Kera, Si Kancil dan Kura-kura, dsb. Juga ada cerita-cerita seperti Putri Salju, Ciung Wanara, Jaka Tarub yang semuanya mengajarkan kebaikan.

Juga ada cerita-cerita heroisme atau kepahlawanan tokoh-tokoh besar dalam sejarah yang dikagumi dan patut dijadikan teladan. Bercerita juga dapat dilakukan guru di sekolah dengan tidak kalah menarik dari orang tua siswa. Terlebih lagi di sekolah, media untuk bercerita dapat dibuat bersama-sama antara guru dan siswa sehingga pembelajaran yang dihasilkan lebih mencapai banyak sasaran dan keterampilan serta lebih kreatif.

Kirschenbaum mengatakan bahwa metode bercerita merupakan metode yang sangat akurat ditinjau dari perspektif historis, yaitu membangun makna dan menanamkan nilai-nilai yang diinginkan, keyakinan moral, dan karakter yang diinginkan dalam diri pendengarnya (peserta didik)

2.      Metode keteladanan

Keteladanan merupakan bentuk mengestafetkan moral yang digunakan oleh masyarakat religius tradisional, dan digunakan pula oleh masyarakat modern sekarang ini. Dalam masyarakat tradisional, keteladanan diterima secara terberi tanpa harus mengejar argumentasi rasionalnya; sedangkan pada masyarakat modern sekarang keteladanan diterima dengan pemahaman dan argumentasi rasional (Muhadjir, 2004: 163). Orang tua dan guru merupakan sosok yang harus memberikan teladan baik kepada subjek didik. Anak-anak lebih mudah meniru perilaku dari pada harus mengingat dan mengamalkan kata-kata yang diucapkan oleh orang tua dan guru

3.      Metode klarifikasi nilai

Dalam masyarakat liberal, moral diperkenalkan lewat proses klarifikasi, penjelasan agar terjadi pencerahan pada subjek didik. Seberapa jauh sesuatu moral diterima oleh anak, sangat ditentukan oleh anak itu sendiri. Anak diberikan kebebasan untuk memutuskan sendiri. Pendekatan klarifikasi nilai adalah salah satu contoh yang memberikan kebebasan untuk anak menentukan nilai-nilainya. Sebagaimana dinyatakan oleh Sidney B. Simon, dkk (1974:6) bahwa pendekatan klarifikasi nilai mencoba untuk membantu anakanak muda menjawab beberapa pertanyaan dan membangun sistem nilai sendiri.

Strategi-strategi yang disajikan di dalam buku tersebut disusun oleh Louis Raths yang diturunkan dari pemikiran John Dewey. Berbeda dengan pendekatan teoritis yang lain, Raths tidak mempermasalahkan isi dari nilai-nilai yang dimiliki seseorang, tetapi lebih memperhatikan proses penilaian. Fokusnya adalah bagaimana orang sampai pada keyakinan tertentu yang dipegangnya dan membentuk pola perilaku tertentu

Di Indonesia, strategi klarifikasi nilai telah diperkenalkan sejak tahun 1980-an dan banyak para pendidik yang mengkritik dan menolaknya. Hal-hal yang tidak dapat diterima, adalah yang terkait dengan pilihan anak, misalnya anak dibiarkan tidak mendirikan salat, sebelum anak sadar akan pentingnya salat. Jika dibiarkan, maka dikhawatirkan anak tidak akan melakukan salat sampai ia dewasa

4.      Metode fasilitasi nilai

Guru dan pihak sekolah memberikan berbagai fasilitas yang dapat digunakan siswa agar dapat merealisasikan nilai-nilai moral dalam dirinya baik secara individu maupun berkelompok, misalnya fasilitas beribadah berupa mesjid dan mushola, fasilitas membuat kompos dari sampah sekolah, fasilitas berupa ruang diskusi, perpustakaan dengan buku-buku cerita yang memuat nilai-nilai moral, dan sebagainya. Kesemuanya disiapkan untuk latihan percaya diri, keberanian, bersyukur, dan rendah hati

5.      Metode keterampilan nilai moral

Keterampilan moral dalam diri peserta didik dapat diwujudkan dimulai dengan pembiasaan. Lama kelamaan pembiasaan itu ditingkatkan dengan cara peserta didik merancang sendiri berbagai tindakan moral yang akan diwujudkan sebagai suatu komitmen diri, action plan mereka sendiri sebagai wujud realisasi diri menjadi orang yang baik dan memperoleh hidup yang bermakna

Kantin kejujuran, berbagai kegiatan sosial yang dirancang oleh siswa disekolah adalah contoh-contoh dari metode keterampilan nilai yang selama ini telah banyak dilakukan di sekolahsekolah menengah. Hanya saja, perlu dikembangkan juga keterampilan nilai ini untuk diterapkan oleh guru-guru di sekolah dasar

6.      Evaluasi Pendidikan Moral

Disamping keempat aspek (isi, metode, proses dan pendidik), pendidikan nilai juga memerlukan evaluasi yang komprehensif. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui ketercapaian tujuan. Tujuan pendidikan nilai meliputi tiga kawasan, yakni penalaran nilai/moral, perasaan nilai/moral dan perilaku nilai/moral. Maka, evaluasi pendidikan nilai juga mencakup tiga ranah tersebut. berupa evaluasi penalaran moral, evaluasi karakteristik afektif, dan evaluasi perilaku (Darmiyati, 2009: 51)

Supaya tujuan pendidikan nilai yang berwujud perilaku yang diharapkan dapat tercapai, subjek didik harus sudah memiliki kemampuan berpikir/bernalar dalam permasalahan nilai/moral sampai dapat membuat keputusan secara mandiri dalam menentukan tindakan apa yang harus dilakukan Dalam hal evaluasi afektif, Dupon (Darmiyati, 2009: 54) telah menemukan tahap-tahap perkembangan afektif sebagai berikut:

a.       Impersonal, egocentric: tidak jelas strukturnya.

b.      Heteronomous: berstruktur unilateral, vertikal.

c.       Antarpribadi: berstruktur horizontal, bilateral.

d.      Psychological-personal: menjadi dasar keterlibatan orang lain atau komitmen pada sesuatu yang ideal.

e.       Autonomous: didominasi oleh sifat otonomi.

f.        Integritous: memiliki integritas, mampu mengontrol diri secara sadar

Selanjutnya, dikatakan oleh Darmiyati bahwa untuk menentukan seseorang berada pada tahap perkembangan afektif yang mana, Dupont menggunakan instrumen yang menuntut adanya respons yang melibatkan perasaan. Selain itu, ada juga pengukuran dengan menggunakan skala sikap seperti yang dikembangkan oleh Likert atau Guttman dan semantic differential yang dikembangkan oleh Nuci, dan peneliti lainnya.

Walaupun dinamakan skala sikap, karakteristik afektif yang dievaluasi dapat pula mencakup minat motivasi, apresiasi, kesadaran akan harga diri dan nilai. Cara mengevaluasi capaian belajar dalam ranah afektif dapat dilakukan dengan mengukur afek atau perasaan seseorang secara tidak langsung, yaitu dengan menafsirkan ada atau tidaknya afek positif (atau negatif) yang muncul dan intensitas kemunculan afek dari tindakan atau pendapat seseorang.

Diantara skala pengukuran yang ada, skala Likert paling banyak digunakan, sebab relatif lebih mudah pengembangannya dan dapat memiliki reliabilitas yang tinggi. Skala Likert telah diadaptasi dengan sukses untuk mengukur berbagai karakteristik afektif. Evaluasi pendidikan moral sebenarnya yang terakhir dan sangat penting adalah perilaku. Perilaku moral sangat sulit untuk dievaluasi.

Perilaku moral hanya mungkin dievaluasi secara akurat dengan melakukan observasi (pengamatan) dalam jangka waktu yang relatif lama dan secara terus-menerus. Dari pengamatan tersebut dapat ditarik kesimpulan apakah perilaku orang yang diamati telah menunjukkan watak atau kualitas akhlak yang akan dievaluasi.

Misalnya, apakah orang tersebut benar-benar jujur, adil, memiliki komitmen, beretos kerja, tanggung jawab, dan sebagainya. Pengamat harus orang yang sudah mengenal orang-orang yang diobservasi agar penafsirannya terhadap perilaku yang muncul tidak salah (Darmiyati, 2009: 55),

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.      Kesimpulan

Dari uraian yang telah dikemukakan, Dalam konteks pembangunan profesi guru dan karakter bangsa, maka guru dengan segala tugas dan peranannya, memiliki peranan strategis dan sangat menentukan terpeliharanya karakter bangsa sebagai pondasi jati diri bangsa yang bermartabat. Sosok manusia yang berkarakter sebagai modal terbentuknya karakter bangsa, akan dilahirkan oleh sosok guru yang menjunjung tinggi profesionalitasnya.

Dan berpegang teguh kepada sistem nilai yang menjadi pegangan bangsanya sebagai pendidik yang berkarakter. Jadi mendidik karakter harus dengan karakter. Generasi muda usia sekolah sebagai harapan masa depan bangsa, termasuk harapan terjaganya karakter bangsa, sikap dan prilakunya diantaranya akan ditentukan oleh sejauhmana guru memegang peranannya dalam proses pendidikan.

Seorang guru diharapkan mampu menjaga sikap dan perilakunya karena guru merupakan role model bagi siswa, keluarga dan masyarakat sekitar. Moral eratkaitannya dengan moralitas, yang mana terkait dengan masalah etika dan sopan santun. Seorang guru dikatakan profesional apabila jenjang dan latar belakang pendidikannya sesuai dengan sekolah tempatnya bekerja serta serta mampumenguasai materi, mengelolah proses belajar mengajar dengan baik, mengelolahsiswa, melakukan bimbingan dan sebagainya.

Dan juga pendidikan moral di sekolah penting dilakukan oleh guru dan segenap komponen warga sekolah agar tercapai pendidikan moral yang komprehensif. Komponen-komponen pendidikan moral di sekolah yang lain yang tidak kalah penting adalah cakupan materi, variasi metode, dan evaluasi yang menyeluruh, dapat disimpulkan bahwa pentingnya profesioanlisme guru dalam fokus karakter dan moral, pendidikan karakter

Guru profesional diharapkan mampumenghadirkan pendidikan bermutu yang mana memiliki pengaruh secara langsungterhadap hasil belajar siswa. Perbaikan pendidikan dan peningkatan prestasi belajarsiswa diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, M., & Rappang, S. M. (2017). Membangun Profesionalisme Guru Dalam Bingkai Pendidikan Karakter. Jurnal Ilmu Budaya5(1), 35-45.

Ritonga, O. (2018). Kompetensi Profesional Guru Dalam Pembentukan Karakter Di Madrasah Ibtidaiyah Swasta An Nur Desa Hamparan Perak Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sumatea Utara Medan).

Handayani, S. P. (2010). UPAYA GURU BIMBINGAN DALAM MENGEMBANGKAN MORAL AKADEMIK SISWA DI SMP NEGERI 20 PEKANBARU (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau).

Rukiyati, R. (2017). Pendidikan moral di sekolah. Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum17(1), 1-11.

Masruddin, M., & Reni, W. O. PERANAN GURU DALAM PEMBINAAN MORAL SISWA (Studi Kasus SMP Negeri 3 Tomia Kec. Tomia Timur Kab. Wakatobi). SELAMI IPS, 3(47).

Syam, A. A., & Santaria, R. (2020). Moralitas dan Profesionalisme Guru sebagai Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jurnal Studi Guru dan Pembelajaran, 3(2), 296-302.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN "KEPRIBADIAN MENYIMPANG"

TEORI BELAJAR SOSIAL DAN TIRUAN

KESEHATAN MENTAL " TRAUMA"

Translate