PROBEMATIKA PENDIDIKAN IPS

A.      Probematika Pendidikan

Secara  kuantitatif  dapat  dikatakan  bah-wa  pendidikan  di  Indonesia  telah  mengalami kemajuan.  Indikator  pencapaiannya  dapat  dilihat  pada  kemampuan  baca  tulis  masyarakat yang mencapai 67,24%.2 Hal ini sebagai akibat dari program pemerataan pendidikan, terutama melaui IMPRES SD yang dibangun oleh rezim Orde Baru.

Namun demikian, keberhasilan dari segi  kualitatif  pendidikan  di  Indonesia  belum berhasil membangun karakter bangsa yang cerdas dan kreatif apalagi ungguBanyaknya   lulusan   lembaga   pendidikan formal,  baik  sekolah  tingkat  menegah  maupun  perguruan  tinggi,  terkesan  belum  mampu mengembangkan  kreativitas  dalam  kehidupan mereka.

Lulusan sekolah menengah sulit untuk bekerja di sektor formal karena belum tercuku-pinya  keahlian  mereka,  demikian  juga  lulusan sekolah atas yang bukan kejuruan (SMK) mengalami  problem  yang  sama.  Bagi  sarjana  hanya sebagian kecil yang bekerja di sektor formal, sebagian besar dari mereka memiliki karakteristik hanya  memahami  teori  dan  lemah  di  praktek, motivasi belajar hanya untuk sekedar lulus ujian, berorientasi  pada  pencapaian  grade  atau  pembatasan target, orientasi belajar hanya pada mata kuliah  indivdual  secara  terpisah,  proses  belajar bersifat pasif, serta penggunaan teknologinyang terpisah dari proses pembelajaran.

Dari aspek perilaku keseharian juga bayak kekurang puasan terhadap siswa. Banyak orang mengeluh dengan adanya siswa yang kurang sopan  terhadap  guru  maupun  orang  tua,  banyak siswa tidak lagi mau membantu orang tua dalam mengerjakan tugas sehari-hari di rumah. Begitu besar pengaruh media sosial dan telekomunikasi pada  generasi  muda. 

Mereka  cenderung  untuk berhura-hura merayakan kelulusan UN dengan pesta  sexs  dan  minuman  keras,  undangan  pesta berbikini,   mencoret-coret   baju   seragam   dan konfoi  merayakan  kelulusan.  Bahkan  tawuran massal telah menjadi hal yang lumrah bagi siswa dan mahasiswa. Yang lebih parah tawuran tersebut  diikuti  pengrusakan  fasislitas  umum  dan jatuhya korban jiwa.

Disamping itu terjadi ketidakpuasan berjenjang. Kalangan industri sering mengeluhkan  tentang  ketidaksiapan  atau  mutu sarjana, diploma, dan lulusan SMK yang dianggap telah memenuhi harapan dunia kerja. Pihak Perguruan Tinggi  mengeluhkan  lulusan  SMA, pihak SMA mengeluhkan lulusan SMP dan pihak SMP mengeluhkan lulusan SD4.

Padahal,  sumberdaya  manusia  yang  diperlukan  dalam  pasar  kerja  saat  ini  adalah  mereka yang  mampu  mencari  solusi  masalah  berdasarkan   konsep   ilmiah,   memiliki   keterampilan team work, mempelajari bagaiaman belajar yang efektif, berorientasi pada peningkatan yang terus menerus dan tidak dibatas oleh target tertentu.  Saat  ini  banyak  lembaga  industri  (BUMN, Swasta  dan  Pemerintah)  menetukan  standart tertentu terhadap lulusan pendidikan formal un-tuk  bekerja  di  lembaga-lembaga  tersebut.

 Penguasaan  bahasa  asing,  keterampilan  komputer dan  pengalaman  kerja  merupakan  persyaratan utama  yang  diminta.  Sementara  ijazah  yang diperoleh  selama  menempuh  pendidikan  formal  kurang  lebih  selama  20-25  tahun  terabaikan begitu saja. hal inilah merupakan salah satu indikasi  bahwa  lulusan  pendidikan  kita  belum layak  pakai.

 Dari  kenyataan  ini  terlihat  adanya kesenjangan  anatar  tujuan  yang  ingin  dicapai dalam menghasilkan output pendidikan formal dengan  pengelolaan  pendidikan,  termasuk  didalamnya pengelolaan pembelajaran. Pemerintah  dalam  upayanya  memperbaiki sistem   pendidikan   nasional   memberlakukan standarsasi  pendidikan  nasional. 

Kualitas  pendidikan antara lain menghasilkan ujian nasional sebagai  tolak  ukur  untuk  menentukan  nasib anak.  Dengan  materi  ujian  berupa  bahasa  Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris dan mata pelajaran  jurusan.  Maka  untuk  mengantisipasi rendahnya  angka  ketidaklulusan,  maka  beberapa mata pelajaran dikurangi jam belajarnya, termasuk  didalamnya pendidikan Agama.

Lantas dimanakah  fungsi  pendidikan  nasional  untuk membentuk  manusia  yang  bertaqwa  pada  Tuhannya, jika mata pelajaran agama tidak dimasukkan dalam materi ujian nasional?

Adanya  problem  pembelajaran  di  Indonesia, menurut penulis terjadi karena beberapa faktor.  Dalam  hal  ini  penulis  akan  membatasi  penyebab terjadinya problem pembelajaran karena tiga  faktor; pertama  faktor  pendekatan  dalam pembelajaran, kedua dari faktor perubahan kurikulum dan ketiga faktor kompetensi guru.

B.       Probematika Ekonomi

Masalah ekonomi, terutama kesenjangan pendapatan dan kemiskinan telah melanda Indonesia sejak dulu, bahkan cenderung meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin pada Maret 2006 sebanyak 39,05 juta atau 17,75 persen dari total 210 juta penduduk. Penduduk miskin bertambah empat juta orang dibanding yang tercatat pada Februari 2005. Selain itu juga terdapat sebanyak 10 juta orang pengangguran di negara ini.

Jumlah 39 juta orang miskin tersebut bisa dipastikan sebagian besar adalah orang Islam. Padahal Islam mengajarkan bahwa setiap Muslim adalah saudara, dan belum sempurna iman seorang Muslim sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya. Sebagai agama mayoritas di negara ini, sudah menjadi tanggung jawab umat Islam untuk memberantas kemiskinan yang terjadi di negeri yang kaya akan sumber daya alam ini.

 Jumlah angka kemiskinan ini merupakan persoalan yang seolah tidak terselesaikan bahkan terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini diperburuk lagi dengan terus meningkatnya harga-harga kebutuhan bahan pokok sementara pendapatan masyarakat cenderung tetap. Kasus gizi buruk dan busung lapar akan terus terjadi di daerah-daerah akibat ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pemberantasan kemiskinan harus menjadi agenda bersama umat Islam Indonesia.

Kita tidak bisa hanya berpangku tangan dan menuntut pemerintah untuk mengatasi kemiskinan yang jumlahnya terus meningkat. Program-program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah cenderung menjadi program yang rawan akan korupsi, kolusi, nepotisme sehingga sasaran program pemberantasan kemiskinan lebih sering salah sasaran dan memperbesar angka kemiskinan baru.

Melihat realitas tersebut, maka umat Islam harus berjihad melawan kemiskinan. Umat Islam harus bahu membahu untuk menuntaskan angka kemiskinan tersebut. Islam mempunyai tanggung jawab untuk memerangi kemiskinan di Tanah Air.

C.      Problematika psikologi

Proses modernisasi seringkali mengagungkan nilai-nilai yang bersifat materi dan mengabaikan unsur-unsur spiritualitas dalam hidup dan kehidupannya. Secara tidak langsung memberikan sikap hidup yamg materialistis pada masyarakatnya, mereka lebih mementingkan kehidupan duniawi dari pada ukrawi, seperti yang ditulis Ahmad Mubarak bahwa sebenarnya zaman modern ditandai dengan dua ciri; yaitu;

(1). Penggunaan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan manusia; (2). Berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai wujud dari kemajuan intelektual manusia.3 Kondisi ini menghantarkan manusia kepada suatu kehidupan yang serba maju dalam berbagai bentuk kehidupan.

 Era Globalisasi menunjukan kehidupan manusia yang bebas dan terbuka terhadap informasi dan teknologi, seolah-olah tidak ada batas antara satu kota dengan kota lain, atau satu wilayah dengan wilayah lain, kondisi demikian memberikan identitas baru kepada masyarakat. Hal ini digambarkan David Korten ada tiga krisis yang akan dihadapi manusia secara global.

 Kesadaran akan krisis ini sudah muncul sekitar tahun 1980-an, yaitu: kemiskinan, penangganan lingkungan yang salah serta kekerasan sosial. Gejala tersebut akan menjadi mimpi buruk kemanusian abad ke-21 ini

Krisis yang melanda masyarakat dunia turut pula merubah nilai-nilai keagamaan, sehingga hubungan antara agama dengan kebudayaan semakin merenggang, karena nilai-nilai agama semakin memudar dalam bersikap dan perbuatan mereka.

Nilai- nilai kebudayaan yang bersumber pada ajaran suatu agama berobah menjadi nilai-nilai sosial yang sekuler; terjadilah pergeseran nilai-nilai yang sakral kepada nilai yang profan. Masalah-masalah ini yang selalu menimbulkan berbagai permasalahan kejiwaan manusia dalam hidupnya.

Djamaluddin Ancok mengutip pendapat Frederick H. Kanfer dan Arnold P. Goldstein tentang definisi gangguan kejiwaan adalah kesulitan yang dihadapi oleh seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri.

Selanjutnya, Djamaluddin Ancok menulis ciri-ciri orang yang mengalami gangguan jiwa adalah; Pertama, hadirnya perasaan cemas (anxiety) dan perasaan tegang (tension) di dalam diri. Kedua, merasa tidak puas (dalam artian negatif) terhadap perilaku diri sendiri. Ketiga, perhatian yang berlebih-lebihan terhadap problema yang dihadapi.

Keempat, ketidakmampuan untuk berfungsi secara aktif di dalam menghadapi problem 5 Pada lembaran lain, Djamaluddin ancok menjelaskan bahwa penyebab ganggun kejiwaan itu bermacam-macam; Pertama, bersumber dari dalam dirinya sendiri, seperti tidak berfungsinya komponen kejiwaan pada dirinya, faktor organik, kelainan sistem syaraf, dan gangguan pada otak.

Kedua, gangguan kejiwaan yang bersumber dari luar diri penderita, disebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan orang yang bersangkutan, baik dalam bentuk kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikis. Sedangkan Henry A. Murray menyimpulkan bahwa terjadinya gangguan jiwa dikarenakan orang tidak dapat memuaskan macam-macam kebutuhan jiwa mereka

Zakiah Daradjat, psikolog Indonesia mengemukan gangguan kejiwaan adalah kumpulan dan keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berkenaan dengan fisik maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut disebabkan oleh sakit atau

rusaknya bagian-bagian anggota badan, meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat pada fisik

Kemudian, untuk dapat mengatasi gangguan jiwa yang bersumber dari dalam diri penderita adalah melalui pengobatan dengan bantuan medis dan paramedis. Sedangkan untuk mengatasi gangguan kejiwaan yang datang dari dalam diri penderita adalah dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu.

Menurut Abraham H. Maslow, pelopor psikologi Humanistik dalam need-hierarchy theory (teori hirarki kebutuhan) menjelaskan bahwa: “Kebutuhan manusia itu pada dasarnya bertingkat-tingkat mulai dari tingkat yang paling bawah sampai ke tingkat yang paling tinggi. Kebutuhan pada tingkatan yang lebih tinggi tidak mungkin timbul sebelum kebutuhan yang lebih mendasar terpenuhi.

Selanjutnya Abraham menegaskan bahwa tingkatan kebutuhan manusia itu adalah; Pertama, kebutuhan fisiologis; kedua, kebutuhan rasa aman (safety); ketiga, kebutuhan akan rasa kasih sayang; keempat, kebutuhan akan harga diri; dan kelima, kebutuhan akan aktualisasi diri 8 Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut orang tidak akan melangkah kepada kebutuhan berikutnya, jika kebutuhan-kebutuhan sebelumnya belum terpenuhi, dan begitulah seterusnya tahapantahapan yang dilalui manusia dalam memenuhi kebutuhan- kebutuhannya.

Keinginan atau hasrat untuk dapat memenuhi kebutuhan menjadi motivasi bagi manusia untuk berusaha atau bekerja untuk mendapatkannya, sehingga timbul otoritas manusia dalam menetapkan langkah-langkah yang diambil untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada umumnya, celah-celah seperti ini yang sering menimbulkan penyimpangan, penyelewengan dan tindakan yang melanggar hukum.

Hal ini terjadi karena belum terpenuhi tingkatan-tingkatan kebutuhan mereka sehingga timbul kekecewaan-kekecewaan atau timbulnya frustrasi dalam hidupnya, akhirnya membawa mereka kepada gangguan jiwa (neurose) atau gejala-gejala penyakit jiwa (psychose).

D.      Problematika politik

Politik merupakan hal yang tidak terlepas dari kekuasaan sehingga dalam berpolitik dibutuhkan penguasa yang dipercaya oleh rakyat dan untuk rakyat. Politik memiliki sistem politik yang di dalamnya yang memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan (interrelated) dan saling bergantung (interdependent). Sedangkan politik berarti berbagai macam kegiatan yang terjadi di dalam suatu Negara yang berkaitan dengan proses menetapkan tujuan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut.

Politik merupakam pembahasan yang tidak terlepas dari pembentukan Negara. Negara membutuhkan seorang pemimpin untuk menyelamatkan umat. Memanglah dalam Al quran maupun hadis tidak ditemukan secara gamblang konsep tentang Negara.  Hal ini tentu bisa dimaklumi karena konsep Negara atau nation-state seperti sekarang ini baru muncul pada abad ke-16 yang dikemukakan oleh Nicolo Machiavelli.  Namun demikian, bukan berarti bahwa konsep Negara itu tidak ada sama sekali dalam Islam. Secara substantif, terdapat sejumlah ayat Alquran dan hadis yang menunjukkan adanya pemerintahan pada umat Islam.[1]

Permasalahan politik di Indonesia sering mengalami pasang surut. Pasca reformasi, keikutsertaan warga negara dalam arena politik menampakan gejala kelesuan yang diindikasikan pada penurunan kualitas serta kuantitas partisipasi politik. Dalam pelaksanaan pemilihan umum misalnya. Dibeberapa daerah di Indonesia masih bermasalah terkait tingginya tingkat golongan putih (golput) akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja partai politik maupun figur yang ditawarkan.

Pelaksanaan partisipasi politik masih terancam penggunaan politik uang (money politics) dalam mempengaruhi proses pemilihan seseorang. Untuk menangani semua permasalahan tersebut pemerintah harus mengurangi angka golput, memberikan sanksi tegas pihak money politics,

 Sehingga kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan figur pemimpin turut meningkat.  Menurut Rusadi Kantaprawira pendidikan politik adalah sebagai upaya meningkatkan pengetahuan politik rakyat agar mereka dapat berpartisipasi 2 secara maksimal dalam sistem politiknya, sesuai faham kedaulatan rakyat atau demokrasi bahwa rakyat harus menjalankan tugas partisipasi.

 

 

Daftar Pustaka

Afifah, Nurul. "Problematika Pendidikan di Indonesia." Elementary: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar 1, no. 1 (2017): 41-47.

Murtopo, Ali. "PERAN PEMERINTAH MENANGGULANGI PROBLEMATIKA EKONOMI MASYARAKAT MELALUI REORIENTASI ZAKAT." Jurnal Syariah 7, no. 2 (2019).

Hamali, Syaiful. "PSIKOLOGI AGAMA: Terapi Agama Terhadap Problematika Psikis Manusia." Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama 9, no. 2 (2014): 1-20.

Ng. Philipus, Sosiologi dan Politik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004)

Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2011)

Kantaprawira, Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia (Model Suatu Pengantar). Bandung. Sinar Baru Algensindo

 

 



 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN "KEPRIBADIAN MENYIMPANG"

TEORI BELAJAR SOSIAL DAN TIRUAN

KESEHATAN MENTAL " TRAUMA"

Translate