Hakikat filsafat
Hakikat filsafat
A.
Pengertian filsafat
Filsafat berasal dari
bahasa Yunani, philosophia, philo
yang berarti cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin dan karena itu lalu
berusaha mencapai yang diinginkan itu; sophia artinya kebijakan dalam arti
pandai, pengertian yang mendalam, cinta pada kebijakan (Ahmad Tafsir, 2001: 9).
Filsafat memang dimulai dari rasa ingin tahu.
Keingintahuan manusia
ini kemudian melahirkan pemikiran. Manusia memikirkan apa yang ingin diketahuinya.
Pemikiran inilah yang kemudian disebut sebagai filsafat. Dengan berfilsafat
manusia kemudian jadi pandai. Pandai artinya juga tahu atau mengetahui dengan kepandaiannya
manusia harusnya menjadi bijaksana. Bijaksana adalah tujuan dari mempelajari
filsafat itu sendiri.
Istilah filsafat
pertama kali digunakan oleh Pythagoras. Dia mengatakan bahwa manusia dapat
dibagi menjadi tiga golongan . Pertama, manusia yang mencintai
kesenangan, kedua, manusia yang mencintai kegiatan, ketiga, manusia
yang mencintai kebijaksanaan. Pengertian ketiga dari Pythagoras tentang manusia
ini yang kemudian memberikan gambaran tentang pengertian filsafat yaitu
kebijaksanaan
Filsafat memiliki berbagai jenis pengertian pokok
antara lain :
1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan
sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas;
2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan
dasar serta nyata;
3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan
pengetahuan: sumber, hakikat,
keabsahan, dan nilainya (Loren Bagus, 2000:242).
Filsafat merupakan
kegiatan pikiran. Pikiran manusia ini menerawang dan menelaah segala yang ada
di alam semesta. Penelaahan ini melahirkan pengertian tentang realitas itu,
tentang segala itu. Upaya mengetahui segala itu dilakukan secara sistematis,
artinya menggunakan huukum berpikir. Pikiran filosofis ini mencari hakikat segala sesuatu itu sampai ke
pengertian yang paling dasar, paling dalam.[1]
Menurut Rassel
(2004:xiii), filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi
dan sain. Filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang secara
definitif belum jelas pengertiannya.Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah dunia
ini terbagi menjadi dua: jiwa dan materi, apakah jiwa dan materi itu?, apakah alam
semesta ini mempunyai maksud terrtentu? Apakah alam semesta ini sedang bergerak
ke suatu tujuan? dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah
pertanyaan-pertanyaan filsafat.
Dalam hal ini,
pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawan filsafat hampir sama dengan pertanyaan
atau jawaban yang ada dalam teologi atau agama. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
adalah pertanyaan yang mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia. Sedangkan hubungannya
dengan sain terlihat ketika filsafat mempertanyakan alam ini, maka jawaban filosofis
muncul. Jawabam filosofis ini kemudian diselidiki, dipertanyakan lagi maka semakin
mendetil jawaban itu. Maka muncullah ilmu yang merupakan jawaban detil atau jawaban
yang lebih praktis.
Sedangkan menurut Harun
Nasution (1987:3) , filsafat berasal dari kata Yunani yang tersusun dari dua kata, yaitu: philein, artinya cinta dan sophos,
artinya hikmat (wisdom). Jadi,
filsafat adalah cinta kebijakan (hikmah) atau kebebasan. Senada dengan Harun Nasution,
Tobrani (2008:2-3) mengemukan pendapat bahwa filsafat berarti cinta kebenaran (al-haq) dan kebijaksanaan (al hikmah).[2]
Penggunaan istilah
“cinta” bukan istilah lain misalnya penemu, pemilik dan penjaga, menggambarkan
sikap rendah hati para filusuf akan keterbatasannya dalam usaha menggapai
kebenaran dan kebijaksanaan. Walaupun telah
berpikir secara sistematis, radikal dan universal, ia tetap belum bisa
menemukan, menjangkau, memiliki, menguasai kebenaran dan kebijaksanaan dengan
sesungguhnya. Ia hanya mendapatkan kebenaran dan kebijaksanaan secara relatif
dan temporal.
Sedangkan yang hakiki
tetap tidak terjangkau. Ia milik yang Maha Mutlak, Maha Adil, Maha Bijaksana yaitu
Allah Swt. Manyadari akan
keterbatasannya itu maka filosof hanya berharap, kagum, dan cinta yang
sedalam-dalamnya kepada kebenaran dan kebijaksanaan yang hakiki itu. Perilaku
inilah yang merupakan kebijaksanaan (wisdom,
hikmah).
Filsafat melahirkan
kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah sikap terhadap dunia bahwa dirinya dan
dunia ini adalah ciptaan Yang Maha Kuasa. Kesadaran ini membawa filosof naik ke
wilayah kesadaran yang lebih tinggi, tidak hanya kesadaran material atau
kesadaran semu. Dengan dimilikinya kebijaksanaan ini, para filosof menjadi
orang-orang yang paling mengerti dan tahu akan hakikat hidup dan kehidupan.
Filsafat juga disebut the mother of science, induk dari ilmu
pengetahuan. Menurut Will Durant, filsafat ditamsilkan pasukan marinir yang
merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantri. Pasukan infantri tersebut
adalah ilmu pengetahuan. Setelah itu ilmu lah yang merambah hutan, membelah
gunung, menyelami lautan dan seterusnya. Setelah penyerahan dilakukan maka
filsafat pun pergi.
Filsafat bagaikan azan
dan ilmu bagaikan shalat (Tobroni, 2008:3). Filsafat juga disebut the supreme art, pengetahuan tertinggi,
atau the art of life, pengetahuan
tentang hidup. Ia bagaikan puncak gunung tertinggi sehingga dapat dengan jelas
dan secara terpadu melihat realitas dibawahnya.
Menurut Handerson
sebagaimana dikutip oleh Burhanudin Salam (2002:33) mengatakan bahwa filsafat
dapat berarti sebagai pandangan hidup. Misalnya Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa Indonesia. Di Jerman, dibedakan antara filsafat dengan pandangan
hidup. Pandangan hidup adalah welt-anschauung. Filsafat diartikan suatu pandangan
kritis sampai ke akar-akarnya mengenai segala sesuatu yang ada.
Harald Titus,
mengemukakan bahwa filsafat dalam arti sempit adalah science of science. Tugas
utama filsafat adalah memberikan analitis secara kritis terhadap asumsi-asumsi
dan konsep sain, dan mengadakan sistematisasi sains. Dalam pengertian
yang lebih luas, filsafat berusaha mengintegrasikan pengetahuan manusia
dari berbagai lapangan pengalaman manusia yang berbeda-beda dan
menjadikan suatu pandangan komprehensif tentang alam semesta, hidup, dan
makna hidup.[3]
Dari pendapat Titus di
atas, filsafat adalah kegiatan manusia terutama aspek berpikirnya. Pemikiran
manusia ini kemudian menjadi pengetahuan bagi manusia untuk menjalani hidup di
dunia ini. Filsafat dengan demikian dapat menjadi pandangan hidup manusia.
B.
Kegunaan
filsafat
Kegunaan belajar filsafat pada peradaban dunia
mutakhir ini adalah karena dunia sedang dilanda krisis peradaban dan ilmu pengetahuan
dengan indikator sebagaimana dinyatakan oleh para ahli: (i) The End of Ideology
(Daniel Bell 1971); (ii) The End of History and The Last Man (F. Fukuyama,
1997); (iii) The Death of Education (Neil Postman, 2000); (iv) The Death of
Science (John Horgan, 1997).[4]
Krisis ilmu pengetahuan
ditandai oleh: (i) tidak ada temuan baru setelah temuan C. Darwin dan A.
Einstein. Semua temuan dan teori baru merupakan turunan teori- teori Evolusi
Darwin dan teori Relativitas Einstein; (ii) Ilmu dengan teori-teorinya gagal
atau tidak mampu menjelaskan gejala alam dan non-alam (gagal menjelaskan krisis-krisis
kemanusiaan); (iii) terjadi krisis moralitas dan kejahatan dalam dunia ilmu
yang terus meluas.
Dengan belajar filsafat
semakin menjadikan orang mampu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar
manusia yang tidak terletak dalam wewenang metode-metode ilmu khusus. Jadi, filsafat
membantu manusia mendalami pertanyaan asasi manusia tentang makna realitas dan
ruang lingkupnya. Kemampuan itu dipelajari melalui dua jalur, yaitu secara
sistematik dan secara historis.
Kegunaan filsafat dapat dibagi dua, yakni kegunaan
secara umum dan secara khusus. Kegunaan secara umum dimaksudkan manfaat yang
dapat diambil oleh orang yang belajar filsafat dengan mendalam sehingga mampu
memecahkan masalah-masalah secara kritis tentang segala sesuatu. Kegunaan
secara khusus dimaksudkan untuk memecahkan suatu objek di Indonesia. Jadi,
khusus diartikan terikat oleh ruang dan waktu, umum dimaksudkan tidak terikat
oleh ruang dan waktu.[5]
C.
Cabang-cabang filsafat
Cabang filsafat yang
diuraikan pada bagian ini adalah: (i) Epistemologi; (ii) Metafisika; (iii)
Logika; (iv) Etika; dan (v). Estetika. Epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang bersangkut paut dengan
teori pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani yang
terdiri dari kata, yaitu episteme
(pengetahuan) dan logos
(kata, pikiran, pendapat, percakapan, atau ilmu). Jadi, Epistemologi berarti kata,
pikiran, percakapan tentang ilmu pengetahuan.
Metafisika berasal dari
bahasa Yunani meta physhika (sesudah fisika). Kata metafisika ini
juga memiliki berbagai arti. Metafisika dapat berarti upaya untuk
mengkarakteris- tikkan eksistensi atau realita sebagai suatu keseluruhan. Namun
secara umum metafisika adalah suatu pembahasan filsafat yang komprehensif
mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang ada.
Logika. Secara etimologi,
logika adalah suatu pertimbangan akal atau pikiran yang dinyatakan dalam
bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut juga logike episteme atau logica scientica yang berarti ilmu logika, namun
sekarang hanya disebut logika saja. Etika.
Etika sering kali disebut sebagai filsafat moral. Istilah etika
berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani-ethos dan ethikos.
Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan, tempat yang biasa.
Ethikos berarti
susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik.
Estetika adalah cabang
filsafat yang membahas tentang seni dan keindahan. Istilah estetika berasal
Yunani- aisthesis, yang berarti pencerapan indrawi, pemahaman intelektual, atau
pengamatan spiritual. Adapun istilah art
(seni) berasal dari bahasa Latin ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu, dan
kecakapan.[6]
D.
Ruang
lingkup filsafat
Seperti halnya
pengetahuan, maka filsafat pun dapat ditentukan ruang lingkupnya yang dipilahkan
dalam dua objek yaitu, objek material (lapangan) dan objek formalnya (sudut
pandangnya). Objek material filsafat ialah segala sesuatu yang dipermasalahkan
oleh filsafat.
Menurut Prof. DR. M.J. Langeveld: "....
bahwa hakikat filsafat itu berpangkal pada pemikiran keseluruhan sarwa sekalian
secara radikal dan menurut sistem".
Maka keseluruhan sarwa itu ada. Ia adalah pokok dari yang dipikirkan orang
dalam filsafat Ada juga pemikiran itu sendiri yang terdapat dalam filsafat
sebagai alat untuk memikirkan pokoknya; Pemikiran itu pun adalah bagian dari
keseluruhan, terdapat dalam filsafat sebagai alat dan sebagai keseluruhan sarwa
sekalian.
DR. Oemar Amin Hoesin menulis
tentang lapangan penyelidikan filsafat sebagai berikut: "Oleh karena
manusia mempunyai pikiran atau akal yang aktif maka ia mempunyai kecenderungan
hendak berpikir tentang segala sesuatu dalam alam semesta, terhadap segala yang
ada dan yang mungkin ada. Objek seperti ini disebut sebagai objek material
filsafat".[7]
DR. Mr. D.C. Mukler menulis,
"Tiap-tiap manusia yang mulai berpikir tentang diri sendiri dan tentang
tempatnya dalam dunia, akan menghadapi beberapa persoalan yang begitu
penting".Louis Kattsoff menulis
bahwa "Lapangan kerja filsafat itu bukan main luasnya, yaitu meliputi
segala sesuatu apa saja yang ingin diketahui manusia".
DR. A.C. Ewing dalam
bukunya, the Fundamental Questions of Philosophy, tentang
pertanyaan-pertanyaan pokok filsafat ialah truth (kebenaran), matter (materi),
mind (budi), the relation of matter and mind (hubungan materi dan
budi), space and time (ruang dan waktu), cause (sebab), freedom
(kemerdekaan), monism versus pluralism (monisme lawan Pluralisme)
dan god (Tuhan).
AL-Kindi ahli pikir pertama
dalam filsafat Islam yang memberikan pengertian filsafat di kalangan umat Islam
dan membaginya menjadi tiga,yaitu: (i) Ilmu fisika sebagai tingkatan rendah;
(ii) Ilmu matematika sebagai tingkatan menengah; dan (iii) Ilmu Ke-Tuhanan
sebagai tingkatan tertinggi.
Setelah menguraikan
tentang ruang lingkup kajian filsafat dari para ahli, maka kita dapat menarik
kesimpulan bahwa objek material dari filsafat itu adalah segala sesuatu
(realita). Adapun mengenai objek formal filsafat, adalah bersifat non fragmentaris,
karena filsafat mencari pengertian realita secara luas dan mendalam.
Sebagai konsekuensi
pemikiran ini, maka seluruh pengalaman manusia antara lain: etika, estetika,
teknik, ekonomi, sosial, budaya, religius dan lain-lain. Dalam hal ini
pemikiran filsafat menuntut bahwa seorang ahli filsafat adalah seorang pribadi
yang berkembang secara harmonis dan memiliki pengalaman secara authentik yang
diperoleh dari dunia realita. [8]
Jadi objek formal
filsafat itu bersifat mengasaskan atau
berprinsip dan oleh karena
mengasas, maka filsafat itu mengkonstatir prinsip-prinsip kebenaran dan
ketidakbenaran.
E.
Karakteristik pemikiran berfilsafat
Karakteristik atau
ciri-ciri pemikiran kefilsafatan antara lain: (i) pemikiran yang bebas dan
sebebas bebasnya; (ii) pemikiran yang rasional dan kritis; (iii) pemikiran yang
esensial; (iv) pemikiran yang abstrak; (v) pemikiran yang radikal; (vi)
pemikiran yang holistic, (vii) pemikiran yang kontinu; (viii) pemikiran
yang "inquiry"; (ix) pemikiran yang questioning; (x) pemikiran
yang analisis dan diskonstruksi; (xi) pemikiran spekulatif; (xii) pemikiran
yang inventif; dan (xiii) pemikiran yang sistematik.
Berfilsafat berarti
melakukan suatu pemikiran bebas dan sebebas-bebasnya sebagai lawan dari
otoriterisme, ke- percayaan, agama ideologi, dan pemikiran yang tertutup. Ilmu
pengetahuan membutuhkan kebebasan berpikir yang sangat luas baik dalam kelas maupun
di luar kelas, dalam rangka mencari hakikat pengetahuan dan kebenaran Kebebasan
akademis harus menjadi kebebasan berpikir yang luas.
Pendidikan dan proses
pembelajaran dalam lembaga pendidikan di Indonesia belum menjamin dan
memberikan kesempatan adanya kebebasan berpikir kepada peserta didik atau
mahasiswa. Dengan filsafat, kita memiliki peluang (probability) untuk
mengembangkan kebebasan berpikir yang seluas-luasnya.[9]
Daftar pustaka
Adib, H. Mohammad.
"Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan."
(2011).
Hermawan, A. Heris. "Filsafat Pendidikan Islam."
(2009).
Komentar
Posting Komentar