“Konsep Konseling Menurut pandagan Ilmu Tasawuf”


                  “Konsep Konseling Menurut pandagan Ilmu Tasawuf”

Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah swt. kepada seluruh umat manusia melalui Nabi Muhammad saw. yang ajaran-ajarannya bersumber dari al-Quran dan al-Hadits. Dalam Islam terdapat pedoman dan tuntunan bagi setiap kehidupan agar manusia mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Islam adalah agama yang sejak awal diturunkannya diterima dan diamalkan oleh masyarakat urban, atau masyarakat perkotaan di Makkah dan Madinah. Yakin diterima suatu lapisan masyarakat yang mampu berfikir rasional dan logis, mampu membedakan dan menarik garis pemisah yang tegas antara Islam dan yang bukan Islam.[1]
        Sebagai agama yang kaffah, Islam terdiri dari tiga komponen, yakni :akidah, syariah dan tasawuf. Dari segi akidah, Islam memperkenalkan konsep tauhid atau keesaan Tuhan. Selama 13 Tahun Nabi Muhammad saw. bersosialisasi di Makkah menawarkan konsep teologi La ilaha illallah, tiada tuhan selain Allah. Selain penegasan secara teologis, pernyataan keimanan ini berdampak pada sosial politik, yaitu penolakan terhadap berbagai bentuk perbudakan, penjajahan dan intimidasi yang melanggar kebenaran dan hak asasi manusia. Karena dalam Islam, manusia dibangun atas dasar kebersamaan, kebebasan dan persamaan derajat.[2]
            Selanjutnya syariah, syariah adalah jalan yang berupa ketentuan dan ketetapan Tuhan sebagai arah kehidupan manusia untuk merealisasikan kehendak Tuhan. Seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, haji hingga jihad di jalan Allah. Menurut Said Aqil Siradj, syariah bisa diartikan sebagai jalan kehidupan yang baik, yaitu nilai-nilai agama yang diaplikasikan secara fungsional dan dalam makna konkrit untuk mengarahkan kehidupan manusia. Maka syariah Islam adalah tuntunan Islam yang meliputi aspek kehidupan manusia, yakni mulai dari moralitas, seruan pada penegakan hukum, keadilan, menciptakan keadilan, dan upaya meningkatkan sumber daya manusia.[3]
            Ajaran Islam yang sempurna menuntut setiap umat Islam untuk mengamalkan ajaran-ajaran keagamaan secara sempurna. Parameter kesempurnaan ajaran Islam dapat dilihat dari seberapa jauh kemampuan seseorang menyeimbangkan akidah, syariah dan tasawuf.[4] Gambaran singkat mengenai akidah dan syariah sudah dijelaskan, lalu bagaimana dengan tasawuf.?
          Pada masa Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya sebutan atau istilah tasawuf belum pernah ada. Tasawuf baru dikenal pada pertengahan abad II  Hijriah, dan pertama kali oleh Abu Hasyim al-Kufy (w 250 H), meskipun  sebelum itu telah banyak ahli yang mendahuluinya dalam  zuhud, wara’, tawakal dan dalam mahabbah.[5] Tasawuf sebagai khasanah keilmuan Islam lahir sebagai produk sejarah Islam, setelah melalui pasang surut sejarahnya dan telah berhasil menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
            Secara historis, tasawuf merupakan bentuk perlawanan terhadap semakin tidak menentunya kondisi dibidang keagamaan, strata sosial hingga politik kala itu. Sepeninggal Rasulullah saw. kehidupan umat Islam kian mengkhawatirkan. Konflik politik di kalangan para sahabat hingga munculnya kerajaan-kerajaan baru dalam Islam terus bertambah. Pada saat itu umat Islam berada pada apa yang disebut al-fitnah al-kubra, malapetaka yang besar.[6]
   Disaat yang bersamaan, muncul kemudian beberapa orang dari tabi’in (orang-orang setelah generasi sahabat) yang mampu bertindak kearah yang lebih jernih dan bersikap netral terhadap kondisi politik. Kelompok ini dipelopori oleh Hasan al-Basri, Abu Hanifah serta Sufyan Tsauri. Mereka memilih bertindak  yang lebih menentramkan batin, dengan membangun semacam doktrin bahwasannya cara yang tepat untuk berada di jalan yang benar adalah kembali pada tuntutan al-Quran.
         Hal ini menyebabkan sahabat-sahabat yang lain mau berfikir, berikhtiar membangkitkan kembali ajaran Islam, kembali ke masjid, kembali mendengarkan kisah-kisah mengenai targhib dan tarhib, mengenai keindahan hidup zuhud dan sebagainya. Ini lah benih tasawuf yang paling awal.[7] Pada abad berikutnya sekitar abad pertama bagian kedua hijriah, muncul Hasan al-Basri (w 110 H) dengan ajaran khauf  atau mempertebal takut kepada Allah. Yang melakukan gerakan memperbaharui hidup kerohanian di kalangan muslimin. Dalam ajaran-ajarannya sudah mulai dianjurkan mengurangi makan (ju’), menjauhkan diri dari keramaian dunia (zuhud), mencela dunia (dzammu al-dunya), seperti keluarga, harta dan jabatan.[8] Kemudian pada akhir abad pertama hijriah, Hasan al-Basri  diikuti oleh Rabi’ah al-Adawiyah (w 185 H), seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran mahabbah (cinta kepada Allah).
       Kemudian tasawuf pada perkembangan berikutnya mempunyai corak yang berbeda dengan sebelumnya. Tasawuf pada abad ini mulai membicarakan fana’ (ekstase) yaitu leburnya hamba didalam keagungan Tuhan. Orang yang sudah membicarakan mengenai lenyap dalam kecintaan dan bertemu dengan Nya. Tokoh tasawuf dalam abad ini diantaranya adalah Pangeran sufi yaitu Syaikh Abu Yazid al-Busthami  (261 H). Ia adalah sufi yang pertama kali menggunakan istilah  fana’  (lebur atau hancurnya perasaan). Kemudian setelah al-Busthami, muncul al-Hallaj yang ajarannya dianggap asing oleh para masyarakat dikala itu. Yang akhirnya beliau pun dihukum gantung oleh penguasa di zaman tersebut. Diantara perkataannya adalah “Jika ada sesuatu yang menyentuhNya, maka menyentuh Aku”.[9]
        Selanjutnya, al-Ghazali (450 H), ia merupakan pembela tasawuf sunni yang berdasarkan doktrin Ahl Sunnah Wal Jama’ah. Ia mengajukan kritikannya terhadap syathahat dan berpendapat bahwasannya ajaran tersebut kurang memperhatikan kepada amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami dan mengemukakan kesatuan dengan Tuhan. Kemudian menganggap ungkapan tersebut merupakan hasil dari pikiran yang kacau, hasil imajinasi sendiri. Tetapi, bukan berarti al-Ghazali menolak secara sepenuhnya ajaran tasawuf yang dibawa oleh al-Hallaj dan al-Busthami. Namun, al-Ghazali menawarkan teori baru tentang ma’rifat (baca: bertasawuf), tanpa diikuti dengan penyatuan dengan Tuhan. Jalan menuju ma’rifat adalah paduan antara ilmu dan amal, sementara yang dihasilakan adalah moralitas. Al-Ghazali memiliki jasa besar dalam dunia Islam, dialah seorang sufi yang mampu memadukan dan meredakan ketegangan antara tasawuf, fiqih dan ilmu kalam.
          Pada perkembangan tersebut tasawuf mengalami puncaknya, sedemikian berkembang sehingga hampir menyamai madzhab. Banyak perubahan–perubahan yang terjadi terhadap ajaran yang sebelumnya dianggap menyimpang dari Islam. Apalagi ditambah dengan kedatangan Junaid al-Baghdadi yang meletakkan dasar-dasar ajaran tasawuf dan tarekat, cara mengajar dan belajar tasawuf, syaikh, murid, dan murad, sehingga dia bergelar Syaikh al-Thai-fah (ketua rombongan suci).
            Ada beberapa pendapat mengenai asal kata tasawuf. Sebagian menyatakan berasal dari kata “shafa”, yang artinya bersih, suci atau jernih. Bahwasannya tujuan tasawuf itu untuk menjernihkan hati manusia dari kotoran – kotoran hawa nafsu basyariyah (dunia). Ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata “shuffah” artinya serambi masjid Nabawi di Madinah tempatnya para sahabat Muhajirin yang hendak tinggal di Madinah dan tidak punya keluarga. Adalagi yang berpendapat berasal dari kata “shufanah”, sebutan nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir. Juga berasal dari kata “shuf”, artinya bulu domba, orang sufi mengenakan pakaian yang sederhana ia tidak menghiraukan urusan luar yang penting hatinya.[10] Terakhir ada yang mengatakan berasal dari bahasa Yunani “theosofi” artinya ilmu ketuhanan.
       Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan pendapat tersebut dikarenakan adanya perbedaan sudut tinjauan. Yaitu dari sudut cara, pakaian, dan hasil serta hubungan antara Khalik dan makhluk.
           Secara terminologis, tasawuf  adalah “mencari yang hakikat, dan putus asa terhadap apa yang ada di tangan makhluk. Barangsiapa yang bersungguh-sungguh dengan kefakiran, maka belum sungguh-sungguh dalam bertasawuf”, definisi ini dikemukakan oleh Ma’ruf al-Karkhy (w 200 H). Kemudian tasawuf menurut Sahal al-Tustury (w 283 H), yakni “seorang sufi ialah orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus dengan manusia, dan memandang sama antara emas dan kerikil”.[11] Untuk mencapai tujuan tasawuf seorang dituntut melakukan latihan kesungguhan riyadlah-mujahadah untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah).
          Dalam praktiknya, tasawuf ini lazim ditempuh melalui pelatihan spiritual yang terformulasikan dalam maqamat ruhaniyah (tahapan spiritual). Yakni kedudukan hamba yang hanya mempersembahkan jiwa raganya di hadapan Allah swt. Sebenarnya jalan menuju itu tidak dapat dipastikan secara matematis, setiap sufi memiliki pengalaman ruhani sendiri-sendiri. Meski demikian, para ahli tasawuf secara umum membakukan pada tujuh maqamat, yaitu tobat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakal, dan ridla atau syukur.[12] Kemudian al-Ghazali berpendapat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin, bahwasannya maqamat dalam bertasawuf itu ada delapan , yaitu taubat, sabar, zuhud, tawakal, mahabbah, ma’rifah, dan syukur.[13]
       Perilaku-perilaku diatas yang termasuk dalam maqamat sebenarnya merupakan akhlak yang mulia. Semuanya dilakukan seorang sufi setelah lebih dahulu membersihkan dirinya dengan bertaubat dan menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Hal itu merupakan proses takhalli yakni membersihkan diri dari sifat buruk dengan bertaubat dan menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji ini yang dinamakan proses tahalli. Sebagai konsekuensi logis dari perolehan maqamat tadi, seorang sufi akan mengalami ahwal.
Ahwal menurut Said Aqil Siradj yakni kondisi spiritual yang menyelimuti qalb, bersifat spontan, dan merupakan ekspresi ketulusan seorang sufi dalam mengingat Allah. Kehadiran ahwal semata-mata atas anugerah dan rahmat dari Allah swt, bukan diperoleh atas usaha manusia. Diantara ahwal adalah : al-muraqabah (visi), al-qurb (kedekatan), al-mahabbah (cinta), al-khauf (takut), ar-raja’ (harapan), asy-syauq (kerinduan), al-uns (harmonis), al-musyahadah (persaksian), dan al-yaqin (keteguhan).[14]
            Tasawuf yang apabila dipraktikkan dengan benar dan tepat akan menjadi metode yang efektif dan impresif untuk menghadapi tantangan zaman. Bagi kaum sufi, apa pun zamannya atau bagaimana kondisi di dunia akan dihadapi dengan hati yang dingin, pikiran yang jernih, menilai dengan objektif dan penuh ketenangan.[15] Lantas kemudian, masih relevan kah dunia tasawuf menjawab tantangan zaman seperti sekarang ini ? Sebagian ahli mengatakan masa modernisasi. Modernitas, sejak kemunculannya yang ditandai dengan renaissance  sekitar abad 17, disamping memiliki dampak positif yang hebat, juga mendatangkan efek negatif yang tidak kalah dahsyatnya. Sisi positifnya telah banyak diakui dan kita dinikmati seperti meningkat pesatnya sains dan teknologi, semakin menyempitnya dunia dalam cakupan komunikasi yang semakin tunggal, sistem informasi yang makin mengalami percepatan yang kian melangit dan tentunya berubahnya dunia ke dalam satu sistem tunggal satelit, yang meniscayakan adanya dunia maya (cyber space) melalui internet.[16]
      Awalnya banyak orang terpukau dengan modernitas, mereka menyangka bahwa dengan modernisasi itu akan membawa kesejahteraan. Tetapi berbeda dengan kenyataan bahwa modernisasi yang serba gemerlap memukau itu ada gejala yang dinamakan the agony modernisation, yaitu adzab sengsara yang disebabkan modernisasi.[17]. Dalam menikmati itu semua, manusia lupa dengan jati diri yang sebenarnya, secara tidak sadar justru diperbudak oleh modernitas-sains yang semakin melingkupi dan memenjarakan jiwanya.  
        Manusia modern menjadikan kerja dan materi sebagai aktualisasi kehidupannya. Ia akan berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya demi terpenuhi hasrat “memiliki” dengan cara apapun. Peradaban manusia modern semakin terlihat ingin menguasai, mendominasi dan mengeksploitasi. Maka gejala-gejala yang dapat kita saksikan dari modernisasi ini seperti meningkatnya angka kriminalitas disertai dengan tindak kekerasan, begal, penyalahgunaan obat terlarang (narkoba), pemerkosaan, korupsi, prostitusi, bunuh diri, gangguan jiwa, kenakalan remaja dan lain sebagainya. Dikemukakan para ahli, bahwa gejala psikososial diatas disebabkan karena semakin modern suatu masyarakat semakin bertambah intensitas dan eksistensinya dari berbagai disorganisasi dan disintegrasi sosial masyarakat.[18]
           Sementara itu, menurut Erich Fromm manusia modern akan semakin cemas, gelisah, dalam hubungan dengan dirinya disebabkan ketidakmampuannya untuk mencukupi keinginan dari spiritual dan menjadikan ia membenci dirinya sendiri.[19] Dengan kata lain, disadari atau tidak bahwa sekarang ini dunia mengalami masalah yang sangat memprihatinkan berupa mewabahnya penyakit mental atau yang disebut krisis spiritual sebagai penyakit eksistensi (exixtential illnes). Bagi manusia modern problem spiritualitas merupakan hal yang tidak mudah dipecahkan begitu juga. Perbedaan antara ruh dan jasad dalam pandangan manusia modern hanya ada dalam logika saja, tidak dalam realitas, karena ia adalah sebuah unit dari psikosomotik.[20]
      Penyakit spiritual ini terjadi sebagai akibat dari eksistensi diri yang mengalami alienasi (keterasingan) diri, baik dengan dirinya sendiri, dengan lingkungan sosial, maupun keterasingan dengan Tuhan Yang Maha Pencipta. Kondisi seperti itu diakibatkan karena manusia modern punya kehendak untuk memutuskan begitu saja komunikasinya dengan Tuhannya dan bahkan dengan sengaja melakukan pemberontakan dan pembangkangan terhadap Tuhan. Manusia sudah terlalu banyak melanggar rambu-rambu Tuhan.[21]
            Semua permasalahan diatas merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui jawabannya. Jawaban atas kegelisahan manusia bisa dijawab oleh agama yang diwakili oleh dimensi esoteris dalam agama, yakni tradisi tasawuf atau sufisme. Ada sebuah ungkapan, bila unsur jasmaniah akan berkembang atau hidup apabila diberi amunisi berupa materi dalam hal ini makanan yang sifatnya kasat mata, lain halnya dengan unsur rohaniah yang bisa berkembang dan bermakna apabila diberi amunisi berupa sesuatu yang bersifat imateri yakni ajaran Agama yang berasal dari Tuhan.
Selain tasawuf sebagai jalan untuk mencari pemecahan masalah, manusia juga berusaha mencari penyelesaian melalui bimbingan konseling. Bimbingan merupakan proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli kepada individu menggunakan cara yang ada, berdasarkan norma-norma yang berlaku, sedangkan konseling adalah pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien.[22]
Bimbingan dan Konseling merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang berkembang pesat sekarang ini yang dilandasi psikologi sebagai pendukung utamanya. Perkembangan ini terkait dengan usaha untuk memahami kehidupan manusia serta membantu dalam memecahkan berbagai problema hidupnya. Dalam perkembangannya, Bimbingan dan Konseling tidak bisa lepas dari nilai-nilai spiritual, karena hanya mengandalkan psikologi sebagai ilmu yang mempelajari psikis manusia belum mampu mencapai hasil yang maksimal. Bimbingan dan Konseling Religius telah disadari sebagai hal penting oleh banyak pakar konseling baik barat maupun Indonesia. Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa dalam memasuki kehidupan yang bertujuan akhir memperoleh kebahagiaan dunia akhirat, individu cenderung untuk menata kehidupan berlandaskan nilai-nilai spiritual[23]
Berkaitan dengan Bimbingan Konseling Religius pada dasarnya semua agama memiliki pola-pola Bimbingan dan Konseling yang berbeda-beda dalam usaha mengatur pemeluknya tentang bagaimana menghadapi kehidupan di dunia dan akhirat. Hal ini didasarkan pada nilai-nilai atau norma-norma yang bersumber dari Tuhan (kitab suci). Demikian dalam bimbingan konseling Islam yang merupakan proses pemberian bantuan terhadap individu, agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[24]




            [1]Abuddin  Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 15
            [2] Said Aqil Siradj,Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi, (Bandung: Mizan, 2006), h. 26
            [3]Ibid., h. 28
            [4]Ibid., h. 30
            [5]Amin Syakur dan Masyarudin, Inteletualisme Tasawuf: Studi Intelektalisme Tasawuf al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 11
            [6]A. Aziz Masyuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, (Surabaya: IMTIYAZ, 2011), h. 17
            [7]Amin Syakur dan Masyarudin, Op. Cit., h. 18
            [8]Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Sala: Ramadlani, 1985), h. 90  
            [9]Amin Syakur dan Masyarudin, Op. Cit., h. 22-23
            [10]Syaikh Abdul Qadir Isa, Haqaiq Tasawwuf: Hakikat Tasawuf, (Qisthi Press, 2010), h. 8-9
            [11]Amin Syakur dan Masyarudin, Op. Cit., h. 14
            [12]Said Aqil Siradj, Op. Cit., h. 93
            [13]Abuddin Nata, Op. Cit., h. 194        
            [14]Said Aqil Siradj, Op. Cit., h. 93
            [15]Ibid., h. 51
            [16]Muhammad Sholihin, Sufi Modern Mewujudkan Kebahagiaan, Menghilangkan Keterasingan, (Jakarta: Elek Media Komputindo, 2013), h. 17
            [17]Amin Syakur (dkk), Tasawuf dan Kritis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 7
            [18]Ibid.
            [19]Erich Fromm, Lari Dari Kebebasan, terj. Khamdani. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 118-119
            [20]Abdul Muhayyan, dalam Amin Syakur (ed.), Peranan Tasawuf Dalam Menanggulangi Krisis Spiritual, (Semarang: IAIN Walisongo Press, 2011), h. 21 
            [21]Moenir Nahrowi Tohir, Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meniti Jalan Tuhan, (Jakarta: As-Salam, 2012), h. 5
[22] Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan Konseling, (Jakarta: Rieneka cipta, 1999), h. 99
[23] Ali Murtadlo, Bimbingan dan Konseling dalam Perspektif Sejarah, (Lt : Ilmu Dakwah 2002), h. 28
[24]Aunur Rahim faqih, Bimbingan Konseling Dalam Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 5

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN "KEPRIBADIAN MENYIMPANG"

TEORI BELAJAR SOSIAL DAN TIRUAN

KESEHATAN MENTAL " TRAUMA"

Translate